Hampir saja Naina menjatuhkan kunci saat ia membuka pintu kamar. Tangannya gemetar. Napasnya sedikit memburu. Dengan agak keras ditutupnya cepat pintu kamar, dan ia bersandar di balik pintu sambil mengatur napas. Lalu ia terduduk begitu saja di lantai. Ritme jantungnya masih tak beraturan, namun ia berusaha tenang.
Perlahan dibukanya bungkusan makanan yang ia beli tadi. Ia makan dengan sedikit tergesa. Hanya butuh waktu lima belas menit hingga semua makanannya habis. Naina bergegas mencuci peralatan makan, membersihkan badan, dan beranjak tidur. Malam ini ia tidak lagi sempat memikirkan Faris.
Hari masih sedikit gelap. Naina terbiasa bangun pukul lima pagi. Selesai salat subuh, ia membersihkan kamar, lalu menjerang air untuk membuat susu. Naina tidak terbiasa memakan nasi saat sarapan. Ia lebih sering makan roti. Atau kadang-kadang jika sedang mau sedikit repot, ia membuat mie gelas atau pop mie. Namun kali ini ia hanya memilih segelas susu untuk menghangatkan badannya. Ditatanya buku dan segala peralatan yang akan ia bawa ke kampus hari ini. Setelah semuanya siap, Naina lalu mandi.
Baru pukul 07.30 saat Naina keluar dari kosnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling saat akan melalui gang menuju jalan raya. Tidak ada yang mencurigakan. Tak tahu mengapa, tapi instingnya mengisyaratkan agar ia waspada. Mungkin kejadian semalam masih memengaruhi pikirannya. Entahlah. Naina berjalan agak santai lalu berhenti sebentar di sebuah warung yang ada di pojokan setelah keluar gang. Warung langganannya, tempat ia membeli air minum botol atau sekedar susu kotak.
Naina mengambil satu botol air mineral ukuran sedang, lalu mengeluarkan satu lembar uang lima ribuan dan diberikannya kepada Ibu penjaga warung. Saat ia menunggu uang kembalian, ekor matanya menangkap sesuatu di belakangnya. Dengan sigap ia langsung menoleh. Namun tidak ada siapapun. Hanya beberapa mahasiswa lain yang berjalan hendak ke kampus maupun membeli sarapan. Ia menggelengkan kepala, lalu berjalan kembali setelah menerima uang kembalian.
Hanya sekitar seratus meter yang harus ia tempuh sebelum memasuki pintu belakang kampus. Sambil berjalan Naina sedikit mengawasi keadaan sekitar. Pintu belakang kampusnya tidak besar, namun sangat ramai oleh lalu lalang kendaraan yang keluar masuk maupun pejalan kaki. Selain itu juga karena letak pintunya yang pas di pertigaan jalan. Saat sedang antri dengan pejalan kaki lainnya, mata Naina menangkap sebuah seringai tak asing. Terlihat seorang laki-laki berjalan di antara keramaian. Laki-laki tersebut mengenakan kaus abu-abu agak lusuh. Celana dan topinya sama lusuhnya. Namun ada yang aneh. Sandal yang dikenakan oleh laki-laki tersebut terlihat bagus. Yang jauh lebih anehnya lagi, ia membawa sebuah karung goni serta besi panjang. Naina mengerutkan kening. Seorang pemulungkah?
Diperhatikannya sekali lagi laki-laki asing tersebut. Saat tengah mengamati, tiba-tiba matanya bertemu dengan mata tajam yang berbalik menatapnya. Laki-laki tinggi dan kurus itu tersenyum samar, lalu menganggukkan kepala kepada Naina. Sontak Naina mengalihkan pandangan. Ia urung memasuki pintu belakang kampus, dan berbelok ke pangkalan ojek, memanggil tukang ojek. Tidak ada keberanian lagi untuknya berjalan kaki sampai di halte bus kampus terdekat. Lebih baik ia cepat meninggalkan tempat ini. Ketika tukang ojek bergerak membawanya ke kampus, ia masih sempat mengamati sekitar. Tidak tampak lagi seorang pemulung aneh yang baru saja ia lihat. Ia bernapas lega, bersyukur dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Menuju Jodoh [Completed]
Ficción GeneralNaina adalah seorang mahasiswi sebuah kampus ternama di daerah Depok. Ia hanyalah seorang mahasiswi polos yang berusaha menjalani hari-hari semasa kuliahnya dengan baik. Pergi ke kampus setiap hari dan mengerjakan setiap tugas. Kehidupannya berjalan...