Pancar berdiri dengan punggungnya bersandar pada besi pembatas jembatan. Tangannya bersedekap di depan dada, tubuhnya sedikit miring ke arah kiri. Sudut bibirnya membentuk lekukan, sebuah senyuman samar. Pandangannya tidak terlepas dari perempuan yang tengah berdiri di sampingnya. Ia tidak menyangka ternyata Tuhan masih menyayanginya, padahal dulu sekali ia pernah melupakan Tuhan. Meskipun harus menunggu lama, akhirnya ia menemukan kebahagiaannya.
"Mas, kenapa nggak cerita kalau memang ada jembatan seperti ini di sini? Ini persis banget dengan yang di mimpi."
Pancar terkekeh mendengar protes perempuan yang telah menjadi istrinya itu. Hampir dua minggu ia menikah dengan Naina, ia sudah hafal dengan kebiasaan istrinya. Naina seorang perempuan kritis, yang akan protes jika ia tidak tahu tentang suatu hal, atau Pancar menutupi sesuatu. Pancar kembali memandangi Naina. Ia masih asyik memperhatikan pemandangan di depan dan bawahnya. Wajah itu terlihat bahagia, tidak seperti dua bulan lalu saat Pancar melihat foto yang Naina kirim.
"Mas!"
Naina mengagetkan Pancar yang tengah larut dalam lamunan.
"Ya tapi kan Mas membawamu ke sini sekarang."
"Ih, itu kan aku yang minta duluan tadi waktu kita masih di Pantai Nongsa. Coba kalau nggak, pasti kita nggak akan berada di sini sekarang."
Pancar ingin tertawa geli melihat wajah cemberut Naina, tapi ia menahannya.
"Iya tapi kan Mas udah cerita ada jembatan di sini. Jembatan Barelang kan terkenal, masa iya kamu nggak tahu?"
Naina masih memasang wajah cemberutnya. Bibirnya manyun.
"Udah ah ngambeknya, jelek banget mukanya kalau lagi kayak gitu."
Pancar mencolek ujung hidung Naina. Yang diperlakukan seperti itu malah memasang wajah galak, lalu memukul lengan Pancar.
"Hahahha. Galak bener sih Sayang, pantes nggak ada yang berani melamar kamu."
Bukannya berhenti, Pancar malah menggoda Naina. Sejak bersama Naina, ia punya kebiasaan baru. Menggoda istrinya yang suka memasang muka jutek saat digoda. Entah mengapa Pancar suka memandangi wajah itu. Pancar masih tergelak melihat kelakuan Naina, hingga istrinya itu kembali memukul lengannya, menyuruhnya diam.
"Na, kamu nggak takut lagi kan sama Mas?"
Pancar memang sudah menceritakan kepada Naina tentang siapa dirinya. Bahwa mereka sebenarnya sudah beberapa kali bertemu, meskipun kesan yang diberikan oleh Pancar saat pertemuan itu tidak baik sama sekali menurutnya. Bukannya menjawab, Naina hanya mengangkat bahu. Pancar berusaha mencari jawaban dengan memperhatikan ekspresi wajah Naina, namun tidak ada apapun. Raut wajah itu terlihat biasa saja. Lalu Pancar merapatkan tubuhnya ke arah Naina, merubah posisinya seperti Naina, menghadap air di depannya. Tangan kanannya meraih pinggang Naina dan memeluknya erat. Lalu ia membisikkan sesuatu di dekat telinga istrinya.
"I'll save you with my bloods."
Naina tidak menyahut. Ia hanya menyandarkan kepala di bahu Pancar.
Ia kembali mengingat momen dua minggu lalu, saat Pancar mengucapkan janji seumur hidup waktu ijab qabul pernikahan mereka berlangsung. Saat itu Naina meneteskan air mata. Bukannya tidak bahagia, tetapi ia tidak menyangka bahwa semudah itu jodoh datang kepadanya. Secepat itu ia akan menikah, padahal sebelumnya ia tidak pernah membayangkannya sama sekali. Ternyata Tuhan masih menyayanginya, padahal selama ini Naina kadangkala masih lalai untuk bersyukur.
Pertama kali bertatap muka langsung dengan Pancar, Naina sedikit terkesiap. Samar-samar ia masih mengingat wajah tidak asing yang sering muncul beberapa tahun lalu. Namun perasaan takut itu menghilang saat Pancar perlahan menceritakan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Menuju Jodoh [Completed]
Ficción GeneralNaina adalah seorang mahasiswi sebuah kampus ternama di daerah Depok. Ia hanyalah seorang mahasiswi polos yang berusaha menjalani hari-hari semasa kuliahnya dengan baik. Pergi ke kampus setiap hari dan mengerjakan setiap tugas. Kehidupannya berjalan...