Part 11

2.5K 91 0
                                    

"Ngapa lo senyum-senyum begitu? Kagak kesambet kan?"

Naya yang baru datang langsung duduk, bergabung dengan Zia, Sinta, dan Naina yang tengah makan siang di kantin Fakultas sambil mengobrol.

"Apaan sih lo Nay, kagak seneng apa kalau temen lo bahagia?"

Naina memandang Naya, masih terukir senyum di wajahnya.

"Jiah...ini anak beneran kesambet kayaknya nih. Inget kagak lo kemarin muka lo udah mirip asem gitu. Mana suka gak konek gitu kalau diajak ngomong."

Naya geleng-geleng kepala mengingat kelakuan temannya kemarin-kemarin. Ia tidak menyangka hari ini perubahan sikapnya bisa jauh drastis begini.

"Dia lagi jatuh cinta Nay. Lo kagak tau? Ke mana aja lo?"

Sinta memandang Naya miris. Kok bisa-bisanya si Naya tidak tahu keadaan temannya. Padahal mereka sering bersama-sama. Tidakkah ia peduli dengan temannya?

"Udahlah. Kalian ini ribut amat sih. Makan aja cepet. Ntar telat lagi kita masuk lab."

Zia menengahi teman-temannya yang saling ejek. Naya hanya mengangkat bahu dan memakan ayam kecap pesanannya yang baru datang. Begitu juga dengan Sinta yang hanya melanjutkan makannya dalam diam. Sejenak Zia melirik Naina. Sahabatnya itu tengah asyik memandang layar ponsel, sambil sesekali mengetikkan sesuatu. Sepertinya ia sedang sibuk mengirim pesan kepada seseorang. Tanpa perlu bertanya Zia sudah tahu. Ia hafal betul kebiasaan Naina semenjak berhubungan denga Faris.

"Eh, ke mana kita sore ini? Nongkrong yuk."

Hampir pukul empat sore ketika Sinta, Naya, dan Zia selesai salat ashar di musholla Fakultas.

"Margo atau Detos? Atau ke ITC aja kita yuk cari sandal."

Zia mengusulkan. Naya dan Naina memilih diam.

"Ah, males nge-mall gue. Makan es campur aja yuk di Margonda."

Mata Sinta berbinar. Mungkin ia sedang membayangkan bagaimana segarnya es campur ketika membasahi kerongkongannya yang sangat kering di sore yang panas ini.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Naina merasakan ponselnya bergetar di dalam saku celana. Ia segera mengeluarkan, dan dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak, ia menjawab telepon yang baru saja masuk. Teman-temannya saling pandang, lalu mereka memandang Naina. Yang dipandangi justru tidak memberikan petunjuk apapun.

"Assalamualaikum. Iya, udah keluar kelas kok Mas."

Naina diam sejenak. Mungkin lawan bicaranya di telepon sedang mengatakan sesuatu. Zia mengernyit. Apakah Faris?

"Oh gitu. Sekarang sedang di mana, Mas? Oh, udah selesai ngajarnya? Langsung ke kampusku? Oh iya, okelah. Aku tunggu di halte ya. Waalaikumsalam."

Sinta menoleh ke arah Zia. Naya memutar bola matanya. Mereka tengah menerka siapa gerangan yang menelepon Naina. Tidak mungkin Faris. Batin Zia. Laki-laki itu tinggal di kota lain.

"Eh, sorry ya. Gue kagak bisa ikut kayaknya. Ada janji mau ketemu orang."

Naina memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Ia bersiap berdiri dan melangkah pergi setelah selesai memakai sepatunya. Namun perkataan Naya membuatnya berhenti.

"Mau ketemu siapa lo? Cowok?"

"Eh, kenalan kok Nay. Iya sih cowok."

Teman-temannya saling pandang. Sudah hampir tiga semester mereka berteman, dan baru kali ini mereka mendengar Naina punya janji dengan seorang laki-laki.

"Udah ah. Gue duluan ya. Bye."

Naina mengacuhkan tatapan teman-temannya yang meminta penjelasan. Ia berjalan cepat meninggalkan musholla, melewati kantin, lalu menghilang di belokan samping gedung departemen sebelah. Baik Zia, Naya, maupun Sinta tampaknya punya pemikiran yang sama. Dengan gerakan yang tak kalah cepat dengan Naina, mereka menyusul gadis itu menuju halte.

Jalan Menuju Jodoh [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang