Part 24

1.5K 61 0
                                    

"Gimana, Ris? Dapet nggak?"

Naina mendengarkan dengan seksama, menempelkan ponsel dengan rapat ke telinga. Ia menunggu Faris yang sedang melihat pengumuman tes seleksi magister yang diadakan beberapa waktu lalu. Di seberang hening. Tak ada suara apapun.

"Ris?"

Masih tak ada suara apapun. Naina gelisah, namun tetap tidak mematikan ponselnya, hingga beberapa menit kemudian ia mendengar suara tawa.

"Aku berhasil, Na."

Naina tersenyum lebar. Sebenarnya ia sudah menduga kalau Faris pasti akan lolos tes seleksi. Selain karena sudah ada surat rekomendasi dari ketua jurusannya, pacarnya itu juga merupakan sosok yang pintar.

"Jadi, kapan kamu akan ke Depok?"

Naina tidak sabar menunggu momen itu. Momen saat ia dan Faris bisa menjalani hubungan seperti pasangan lain, bisa pergi bersama dan minta diantar atau dijemput saat ia pergi ke suatu tempat.

"Ciiee ada yang tidak sabar nih tampaknya."

"Ih, apaan sih Ris? Biasa aja kali."

Naina yakin saat ini pipinya sudah berubah warna menjadi kemerahan. Untung saja Faris tidak melihatnya. Ia memang teramat gembira, namun tidak mau mengakuinya langsung di depan Faris. Selain malu, harga dirinya juga harus dijaga.

"Permisi, Neng Naina."

Saat Naina masih asyik mengobrol dengan Faris, tiba-tiba ia mendengar suara seseorang di depan pintu kamarnya. Ia mengerutkan kening. Siapa yang malam-malam begini datang bertamu? Ia belum beranjak dari duduknya, dan suara itu terdengar kembali. Seperti suara laki-laki. Apakah Pak Gino? Akhirnya Naina berdiri, setelah sebelumnya ia meminta Faris untuk menunggunya sebentar. Ia tidak mematikan ponselnya. Dan Naina pun membuka pintu kamarnya. Benar saja, penjaga kos tempatnya tinggal itu berdiri sambil tersenyum di depan pintunya.

"Ini, Neng."

Pak Gino mengulurkan tangan. Sebuah bungkusan plastik. Apakah itu? Makanankah?

"Makanan lagi, Pak?"

Pak Gino menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Dengan ragu-ragu ua menjawab pertanyaan Naina.

"Saya tidak tahu, Neng. Tapi rasanya panas."

Naina menerima bungkusan plastik itu. Pak Gino sudah hendak melangkah pergi meninggalkannya setelah mengucapkan permisi, namun Naina memanggilnya kembali.

"Ini dari siapa, Pak? Yang kemarin-kemarin itu juga dari siapa?"

Pak Gino lagi-lagi terlihat salah tingkah.

"Maaf ya, Neng."

Jawaban Pak Gino membuat Naina bengong. Hah, jawaban apa itu? Pak Gino pasti mendengar pertanyaannya, tapi mengapa menjawabnya seperti itu? Naina ingin bertanya lebih jah, tapi urung dilakukannya, hingga akhirnya Pak Gino berlalu meninggalkannya. Naina masuk dengan cepat ke dalam kamarnya. Ia teringat tadi tidak mematikan ponselnya yang masih tersambung dengn Faris.
"Ris?"

"Siapa, Na?"

Naina bingung mau menjawab apa. Apakah ia harus mengatakannya kepada Faris?

"Naina? Siapa tadi?"

"Ehm, itu, penjaga kosan, Ris."

"Laki-laki? Ada perlu apa malam-malam dia datang?"

Naina menggigit bibir bawahnya. Ia bisa merasakan nada suara lain mulai terdengar berbeda. Harusnya tadi ia tidak mengatakannya. Tapi, Naina juga tidak mau berbohong. Karena sudah kepalang basah, akhirnya ia menceritakan semuanya kepada Faris.

"Sebenarnya, Ris, sudah beberapa kali ada orang yang mengirim makanan kepadaku. Tapi aku tak tahu siapa."

"Kamu tak tahu? Yang benar, Na? Mana mungkin bisa seperti itu?"

Nah, benar kan. Pasti akan seperti ini. Naina hafal bagaimana respon Faris kalau menyangkut soal laki-laki lain dan sesuatu yang mencurigakan seperti ini.

"Aku tak tahu, Ris. Beneran."

"Tapi kamu makan kan? Dan apa itu yang dikirimkan?"

"Semuanya makanan kesukaanku."

Terdengar Faris menghela napas panjang.

"Aku kecewa sama kamu, Na."

Hanya berakhir seperti itu, lalu Faris mematikan telepon tanpa berpamitan kepada Naina. Naina hanya bisa terdiam. Meskipun ia sudah terbiasa diperlakukan Faris seperti ini, namun entah mengapa setiap kali terjadi, hatinya masih saja terasa sakit. Naina meletakkan kantong plastik yang dari tadi masih berada di tangannya. Ia enggan membukanya, mengingat bagaimana pertanyaan Faris yang terdengar menyalahkannya.

****

Pancar berjalan pelan melewati kos berpagar warna krem. Ia terlihat bercakap-cakap dengan seorang laki-laki separuh baya yang hendak keluar dari dalam pintu pagar. Ia mengangguk kepada laki-laki tersebut, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Saat melewati kos Naina, ia teringat pasti gadis itu belum makan malam. Naina biasanya melupakan jam makan malam, kadang-kadang sudah lewat jam sembilan malam ia baru terlihat keluar mencari makan. Pancar akhirnya membeli ayam bakar dan jus alpukat di warung langganan Naina, kemudian kembali lagi ke kos gadis itu, menemui Pak Gino. Mungkin ini yang terakhir kali bisa ia lakukan untuk Naina. Karena ia harus menunggu hingga beberapa tahun lagi setelah hari ini.

Sementara itu, laki-laki separuh baya yang ditinggalkan oleh Pancar menggeleng-gelengkan kepala. Ia tidak mengerti. Mengapa ada orang yang berbaik hati seperti laki-laki muda yang baru saja pergi itu, namun tidak mau jika ia memberitahukan identitasnya kepada gadis yang sering dikiriminya makanan?

Jalan Menuju Jodoh [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang