Part 20

1.9K 69 0
                                    

"Aku ada rencana mau melamar seseorang, Dik."

Naina menoleh, kedua matanya membulat. Tidak salah dengarkah? Naufal tiba-tiba mau menikah? Dan apa perlunya ia memberitahu hal itu padanya?

"Kamu dengar yang kukatakan barusan, Dik?"

Naufal kembali bertanya, dan memandangi Naina heran. Gadis itu tidak juga menanggapi perkataannya, malah terlihat melamun. Matanya memandangi air danau yang ada di depannya. Tangannya memegang besi tepian jembatan. Saat ini mereka berdua tengah berada di jembatan teksas, sebuah jembatan yang menghubungkan Fakultas Teknik dengan FIB.

"Bagus dong, Mas. Siapa calonnya? Aku kenal nggak?"

"Bagus? Yakin kamu nggak apa-apa, Dik?"

Naina mengerutkan kening. Pertanyaan macam apa ini?

Naufal berkata tanpa ragu.

"Kamu tahu kan, aku bisa saja menunggu kamu. Paling hanya beberapa tahun lagi. Tak masalah bagiku."

Naina tersenyum tipis. Rupanya ke situ arah pembicaraan mereka. Naufal belum berubah ternyata. Apa yang diharapkan dari dirinya? Jelas-jelas ia sudah mendorong laki-laki itu menjauh darinya, meskipun diabaikan oleh Naufal.

"Wait. Aku mau bertanya satu hal, Mas. Apakah kamu mencintainya? Dan apakah perempuan itu juga mencintaimu."

Kali ini Naufal tersenyum mendengar pertanyaan Naina.

"Dia menyukaiku, katanya. Aku harus menikah, karena kamu tidak mau ditunggu."

"No, no, no. Aku sudah berkali-kali bilang soal itu, Mas. Bahkan sejak pertama kali kita saling kenal kan?"

Naina tidak mau disalahkan, dan tidak mau dijadikan alasan atas keputusan Naufal. Mana bisa orang menikah karena sesuatu yang konyol seperti apa yang dibilang oleh Naufal?

"Aku cuma mau kamu melihat perempuan itu. Kalau kamu oke, setuju, aku akan langsung melamar ke orang tuanya. Dan cinta masalah gampang. Toh, dia sudah beruntung karena aku akan memilihnya, bukan?"

Kali ini Naina tergelak. Ia menggelengkan kepala beberapa kali. Tidak habis pikir dengan kepercayaan diri Naufal yang sangat tinggi, dan bila orang lain tidak tahu, akan disimpulkan sebagai sebuah kesombongan.

"Udah ah, berhenti menertawakanku. Pergi ambil kamera di dalam mobil, Dik. Aku ingin memotretmu. Latar belakangnya bagus."
Naina berusaha sekuat tenaga menghentikan tawanya. Sungguh, Naufal adalah laki-laki paling konyol yang pernah ia temui. Namun mendengar rencana Naufal, entah mengapa rasanya hati Naina lega. Seperti sebuah beban berat diangkat dari sana. Setidaknya kini ia tidak lagi perlu merasa bersalah atas perasaan Naufal.

Naina dan Naufal berjalan pelan, beriringan menuju tempat mobil diparkir, setelah sebelumnya mereka mengambil beberapa foto. Sedikit ragu, Naufal bertanya tentang hal yang sangat ingin Naina hindari.

"Bagaimana hubunganmu dengan cowok yang kamu ceritakan dulu itu?"

Naina menghentikan langkahnya. Naufal ikut berhenti dan memandang Naina dengan seksama. Terlihat perubahan ekspresi yang mencolok di wajah gadis itu. Naufal tahu pasti ada yang salah. Ia menghela napas dalam.

"Jujur, sebenarnya berat bagiku untuk menikah. Kamu mau berjanji padaku, Dik?"

Naina mengangguk.

"Meskipun nanti aku sudah menikah, jangan pernah sungkan ya kalau ada apa-apa. Kalau ada sesuatu yang pengen kamu ceritakan, cerita aja."

Setelah itu tidak ada percakapan apapun yang terdengar. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Naufal mengantar Naina kembali ke kosan, lalu ia langsung kembali berkendara ke Jakarta.

Jalan Menuju Jodoh [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang