Kuntilanak Isteri Lurah
Apa yang dikisahkan ini terjadi pada 2001 lalu, akan tetapi kejadian itu tidak dapat dilupakan begitu saja. Sebut saja namaku Widya. Sempat tidur dengan kuntilanak dan mengobrol, itu aku alami saat mengadakan bakti masyarakat yang ada di Wonosobo Jawa Tengah. Bersama delapan temanku satu angkatan, siswa Kesehatan Masyarakat mengadakan bakti masyarakat selama 25 hari. Kelompokku mendapat tugas di sebuah desa yang berada di kaki gunung yang terkenal dengan telaga tiga warna. Sebuah desa di antara gunung yang masih aktif dengan temperatur suhu yang sangat dingin, membuat kami harus memakai mantel dan baju hangat, guna melawan hawa dingin. Di hari Minggu sore, kami telah sampai kedesa yang dituju, walaupun harus berjalan kaki lebih dari satu jam. Sambutan warga desa membuat kami senang dan bersemangat, maklumlah melihat kondisi desa tersebut sangat terpencil, biasanya kalau ada orang melahirkan hanya ditolong dukun desa. Akan tetapi memang keadaan yang membuat demikian adanya, semuanya serba minim, sangat jauh dari kehidupan perkotaan, akan tetapi rasa kekeluargaan dan kegotong royongan sangat kental di desa ini. Jam 19:00 kami bercengkrama dengan Lurah dan para penduduk desa, rencananya pagi harinya kami akan diajak keliling desa, untuk melihat aktivitas warga desa. Setelah hari mulai larut malam ditambah rasa lelah membuat kami masing-masing tertidur pulas. Kokok ayam pagi membangunkan kami, rasa dingin hawa pegunungan, begitu menusuk sendi-sendi badan. Sesaat aku keluar rumah, di halaman pendopo kelurahan terlihat para warga desa hilir-mudik menuju sungai untuk cuci dan mandi. Memang penduduk desa tersebut, mendapatkan air dari aliran air pegunungan yang didapat dari saluran selang atau pipa plastik, akan tetapi tidak semua warga desa memilikinya. Untunglah kepala desa tempat kami tinggal memiliki bak penampung air, sehingga kami tidak perlu jauh-jauh ke sungai. Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut banyak hal telah kami lakukan, mulai dari memberi penyuluhan arti kesehatan, pengobatan gratis, membuat pos posyandu dan lain sebagainya. Akan tetapi akhir-akhir ada yang aneh pada diri Lurah, di antara teman-teman kami kepala desa tersebut selalu memberi perhatian yang lain kepadaku. Mungkin aku bisa menyadari dan maklum karena istri Lurah tersebut tidak ada, meninggal karena sakit demam tinggi. Pernah suatu ketika Lurah itu mengutarakan isi hatinya kepadaku, supaya aku menjadi pengganti istrinya, akan tetapi semua itu aku tanggapi biasa-biasa saja. Bahkan teman-temanku mendukung, agar aku mau jadi istri Lurah tersebut. "Kalau aku jadi kamu mau, jadi istri pak Lurah, orangnya gagah, ganteng dan uangnya banyak hahah!," canda Linda teman seangkatan. "Sudahlah, tak usah dipikir, yang penting masa depan terjamin, apa yang kurang dari Pak Lurah, materi cukup, rumah bagus, pengin apa-apa tinggal bilang," timpal Agus temanku. Di hari-hari berikutnya tetap saja Lurah desa itu berusaha mengambil simpati dariku. Bahkan perhatiannya aku anggap berlebihan, aku tak ingin Lurah desa itu kecewa dan tersinggung, aku tidak ingin kawin dulu, bagaimana kecewanya kedua orang tuaku apabila aku buru-buru, mereka telah susah payah membiayaiku untuk menjadi orang yang berhasil, apalagi kedua orang tuaku hanya petani miskin. Tiga hari lagi masa tugas bakti di desa selesai, entah kenapa badanku panas dingin, rasa pusing menyerang kepalaku, mungkin akibat cuaca yang tidak mau bersahabat. Padahal malam itu ada acara perpisahan di balai desa yang sekaligus pamitan kepada warga desa. Akan tetapi kondisi badanku tidak memungkinkan. Biarlah aku di rumah saja istirahat, kulihat Pak Lurah juga teman-temanku cemas melihatku. "Sudahlah, kalian pergi aja, nanti kalau ada apa-apa aku miscall saja," pintaku pada mereka. Akhirnya temanku dan Lurah berangkat menuju balai desa, sementara aku ditemani mbak Siti pembantu Pak Lurah. "Mbak, aku mau tiduran dulu, jika mau nonton teve, nonton saja, nanti kalau perlu aku panggil," kataku pada Siti pembantu Lurah. Aku rebahkan tubuhku di ranjang, sebuah tabloid wanita kubaca, sesaat terdengar suara. "Mbak Widya, suka dengan Pak Lurah ya," katanya lirih. "Hm., aku hanya simpati saja," jawabku. "Jujur saja mbak," katanya lagi. "Jujur sih, suka juga, cuma aku tak mau kawin sekarang, lagian aku tak ingin kedua orang tuaku kecewa," timpalku. "Aku ikhlas kok, mbak Widya jadi penggantiku," katanya lagi. Kata-kata terakhir itu mengagetkan, aku pikir yang tadi berbicara denganku itu Siti, pelan-pelan aku arahkan mataku di samping ranjang, Ya Tuhan, terlihat wanita dengan wajah meleleh, rambut berurai tak karuan, sebagian muka rusak, memandangku dengan sorot mata seakan-akan marah. Jantungku terasa copot, badan menggigil, wajah perempuan itu hanya beberapa sentimeter di mukaku, rintihan dan desiran keluar dari mulutnya. Sekuat tenaga aku melompat dari tempat tidur, lari sekuat tenaga, akan tetapi aku menabrak dinding batu di sebelah kiri kamar, kemudian aku tak ingat apa-apa lagi. Begitu terbangun kulihat Lurah dan teman-temanku telah ada di sampingku. Menurut ceritanya, tadi aku ditemukan pingsan tergeletak di lantai. Rasa pusing masih terasa di kepalaku. Pagi harinya aku diantar dua temanku menuju kota Wonosobo untuk periksa. Dalam perjalanan aku ceritakan kisah semalam bertemu dengan hantu kuntilanak, ternyata temanku yang lain juga pernah ketemu dengan hantu itu. Menurutnya, barang siapa yang dekat dengan Lurah pasti ditemui hantu kuntilanak, kami pun coba-coba menerka, jangan-jangan kuntilanak itu istri Lurah yang sudah meninggal, bisa jadi istri Lurah tidak setuju apabila ada wanita yang dekat dengan Lurah tersebut. Akan tetapi semua itu tetap menjadi kisah misteri tersendiri bagi aku dan temanku yang lain.