Kejadian Menyeramkan di Rumah KakekAssalammualaikum, sahabat KCH. bertemu lagi dengan Mawar! Ini ceritaku yang kesekian. Kali ini aku akan menceritakan tentang kejadian-kejadian menyeramkan di rumah kakekku yang berada di Bandung. Rumah kakekku ini banyak sekali penghuninya. Tapi “mereka” adalah kiriman dari seseorang yang sangat menginginkan rumah dan kebun milik kakek. Maksudnya adalah agar kakek tidak kerasan tinggal di rumahnya, lalu menjualnya ke orang tersebut dengan harga murah.
Tapi karena tak berhasil orang itu terus menerus mengirimkan “mereka” ke rumah kakek. Dan memang rumah kakekku jadi sangat *singit alias menyeramkan. Tapi kakekku tetap menempati rumahnya, tidak takut melihat “mereka”. Kakekku ini orang pintar, jadi tidak takut. Aku akan menceritakan sedikit tentang “kondisi” rumah kakekku. Rumah kakek cukup besar, ada 3 kamar di lantai bawah, 1 ruang keluarga dan 1 ruang tamu.
Lalu ruang belakang ada ruang sablon yang sudah lama di pensiunkan. Ruang sablon ini walaupun siang tetap saja gelap, kalau di pasangkan lampu paling cuma bertahan 3-7 hari saja, terus mati. Lalu di sebelahnya ada dapur tempat memasak, lalu ruangan belakang di samping dapur ada ruangan lagi yang berisi sumur, kamar mandi dan loteng no 1 yang di perkhususkan untuk shalat.
Di tangga itu sering terlihat ada nenek-nenek dan wanita berambut panjang yang sering duduk di tangga. Lalu di samping rumah sebelah kiri adalah loteng no 2. Itu kamarku, di samping kamarku adalah kebun kakek yang nenghadap ke jalan raya. Di kebun itu ada pohon jambu air yang besar, yang di huni genderuwo, kuntilanak dan berbagai makhluk lainnya. Lalu ada pohon arben yang katanya di huni sesosok ular besar. (Kalo yang ini aku belum lihat langsung, tapi sepupuku yang lihat) semoga aku gak akan pernah melihatnya.
Di samping kebun juga ada “Lio” (tempat pembuatan bata merah). Lalu di belakang rumah kakek masih ada kebun, punya kakek juga. Ada pohon pete, jengkol dan nangka. Di kebun belakang ini mah jangan di tanya lagi ada apa saja, karena memang ada kuburan juga. Kuburan keluarga (gak tau deh keluarga siapa) yang pasti di pohon pete dan jengkol ini kalau malam pasti di huni burung besar banget dan juga banyak.
Aku menyebutnya burung “koreak”. Karena burung itu selalu berkicau *koreak-koreak, begitu. Tak jarang burung-burung itu hinggap di atap rumah, bahkan di atap kamarku. Suaranya membuat merinding. Burung itu pasti akan hilang menjelang matahari terbit. Lalu ada sungai citarum yang airnya tak mengalir. Warga desa menyebutnya sungai mati. Konon kata ibuku saat ibuku masih kecil di sungai mati itu ada ular naganya yang sering memangsa ternak milik warga.
Sekarang ular naganya tak pernah muncul karena wujudnya sudah terlalu besar untuk menampakan diri. Tapi setiap ada hewan ternak lewat di tepi sungai pasti hilang. Kelinciku juga termasuk dalam daftar korban dan di setiap sudut rumah kakek sudah pasti ada “itu” nya. Nah begitulah keadaan sekitar rumah kakekku. Nah langsung saja ke cerita. Ini pengalamanku 8 tahun yang lalu saat liburan di rumah kakek.
Saat itu sudah lewat tengah malam gak tau jam berapa. Aku tidur di loteng no 2 bersama adikku. Waktu itu aku bangun karena kebelet buang air kecil. Karena takut untuk ke toilet sendiri, aku membangunkan adikku tapi adikku tak mau bangun. Terpaksa aku beranikan diri turun ke bawah. Ruangan di bawah loteng kamarku gelap, karena lampu di matikan sebelum tidur. Aku meraba-raba dinding mencari saklar lampu.
Saat sudah menemukan saklar, tiba-tiba ada yang menyentuh jariku yang memegang saklar lampu. Sentuhan dingin dan hanya sekilas. Aku langsung merinding. Di tambah lagi suara burung-burung koreak membuatku takut. Saat aku memencet tombol saklar, lampunya tak menyala, lalu ku ulangi sampai tiga kali. Aku mulai merinding, dingin, gemetaran karena takut. Aku pejamkan mata dan membaca “Bismillahirrohmannirohim” lalu memencet tombolnya lagi, barulah lampunya menyala.
Aku bergegas menuju pintu penghubung ke kamar mandi. Setelah berdehem aku masuk ke kamar mandi yang hanya di terangi lampu bohlam kuning. Setelah selesai, saat akan membuka pintu penghubung ke loteng kamarku, tiba-tiba dari samping mataku seperti melihat seseorang yang duduk di tangga loteng no 1, tapi saat aku menoleh tak ada siapa-siapa. Aku langsung lari secepat mungkin menuju tangga kamarku. Saat di tikungan tangga aku menoleh ke bawah, dan astaghfirulloh.
Ada nenek-nenek memakai baju kebaya warna hijau dan menyamping warna coklat. Sedang berdiri menatapku, wajahnya banyak boroknya lalu si nenek tersenyum menampakan giginya yang berwarna hitam. Aku kaget dan ketakutan. Kakiku sama sekali tak bisa di gerakan, kaku sekali. Aku menangis dan berteriak sekencang-kencangnya sampai seisi rumah bangun semua. Lalu kakekku datang dan mengusir hantu si nenek. Aku di bawa ke kamar oleh tanteku dan di nasehati bahwa aku tak boleh takut dengan makhluk-makhluk seperti tadi dan jangan sampai mengganggu “mereka”.
Setelah itu tanteku turun kembali ke kamarnya. Tak lama setelah itu, saat aku hampir terlelap, ada yang mengetuk jendela kamarku yang menghadap ke kebun belakang rumah. Aku tak menggubrisnya. Tapi lama-kelamaan suara ketukan itu semakin keras. Aku ingat kata tanteku tadi bahwa aku tak boleh takut. Dengan jengkel aku mengambil spidol dan menyobek kertas buku gambar besarku lalu menulis “bismillahirrohmannurrohim Al-Umarrul Faruq” menggunakan tulisan arab.
Kata pak ustadz Al-Umarrul Faruq ini adalah sahabat Rosululloh yang sangat di takuti bahkan oleh para makhluk halus walau hanya mendengar namanya saja. Jadi aku menulisnya. Lalu aku menempelkan solasi di setiap sudut kertas agar dapat di tempelkan di jendela. Lalu aku melangkah ke jendela. Dan dengan keras aku memukul kaca jendela lalu membuka tirai sambil menutup mata dan menempelkan tulisanku. Lalu aku cepat-cepat menghambur ke atas kasur.
Ternyata adikku bangun saat mendengar gedoran di jendela. Lalu terdengar suara wanita menangis. Adikku langsung memelukku ketakutan. Singkat cerita, subuh pun datang. Setelah shalat subuh aku dan adikku turun ke dapur untuk membuat sarapan. Saat aku sedang mengambil roti di lemari atas dengan memanjat kursi. Adikku berada di bawahku menunggu roti yang sedang ku ambil sambil memegang nampan berisi susu hangat.
Adikku menghadap ke ruang sablon yang tak berpintu dan gelap. Tiba-tiba aku di kagetkan oleh suara gelas pecah dan teriakan adikku yang berlari. Aku heran kenapa adikku seperti itu. Lalu aku menoleh ke ruang sablon, dan astaghfirulloh. Ada mata besar sekali bersinar merah aku tak dapat melihat dengan jelas bagaimana wujudnya karena gelap. Aku langsung kaget dan reflek loncat dari kursi ke pintu yang berjarak 1 setengah meter. Lalu kakek ku turun dari loteng tempat shalat langsung menuju ruang sablon dan mengusir makhluk itu.
Sebenarnya rumah kakekku itu sudah di *siwer beberapa kali oleh kakek, ayahku juga orang pintar lainnya. Tapi kata rajanya “mereka” harus ada yang menebang pohon jambu air di kebun kakek, karena di situ sudah di jadikan istana bagi “mereka”. Dan tentu saja ada konsekuensi bagi si penebang pohon. Konsekuensinya adalah si penebang pohon harus ikut bersama “mereka” ke alamnya.
Dan tentu saja kakekku tidak akan tega menyuruh orang untuk menebang pohon jambu itu. Akhirnya sampai sekarang pohon jambunya masih berdiri kokoh di kebun, bahkan semakin besar. Nah sampai di sini dulu ya ceritanya. Nanti aku sambung lagi.