prolog

4.1K 474 47
                                    

Berkali-kali Minghao melempar bola kertas yang sudah ia buat sejak 15 menit yang lalu. Laki-laki itu mencoba mengusik Jihoon yang tampak asyik dengan partiturnya. Jihoon tidak bereaksi sama sekali ketika Minghao mencoba menarik perhatiannya. Lupakan, Jihoon sudah terlalu fokus dengan apa yang sudah ia kerjakan.

Menjadi seorang ketua klub vokal memang menjadi tugas yang cukup berat bagi Jihoon. Laki-laki itu dipaksa untuk mempersiapkan banyak hal. Mulai dari lomba, lagu, atau bahkan sebuah pertunjukan seni yang akan sekolah mereka gelar beberapa bulan yang akan datang.

Padahal dia ketua klub vokal, namun kepala sekolah mempercayainya untuk tugas berat semacam itu.

Jihoon malah membalas Minghao dengan bola kertas yang dibuat si laki-laki berdarah Cina itu sendiri. Matanya masih menatap ke partitur, benar-benar mengabaikan Minghao yang mencoba mengusik konsentrasinya.

"Lo ganggu gue, gue timpuk kepala lo!" ancam Jihoon tanpa melihat ke arah Minghao. Dia sudah amat sibuk mempersiapkan lagu baru yang akan menjadi penampilan spesial di puncak acara nanti.

Minghao menghela napas. Memang seharusnya dia tidak boleh mengganggu Jihoon jika laki-laki itu sedang sibuk dengan lembaran partiturnya. Tapi Minghao juga bosan, karena ini sudah menjadi jam ketiga Jihoon menghabiskan waktunya di ruang musik. Sedang mengetes tiap baris nada yang tersusun di atas kertas itu.

"Lo jangan kayak gini terus, Hoon. Lo harus istirahat sekali-kali." Minghao mencoba mendekat ke arah Jihoon yang masih sibuk. Namun, laki-laki itu malah menjauhi Minghao yang menuju alat musik piano yang terletak tak jauh dari tempatnya semula.

Minghao tentu tahu, seperti apa keseharian Jihoon. Laki-laki itu tidak bisa lepas dari piano besarnya meskipun ia sedang ada di rumah. Dia harus kembali berlatih bermain piano karena akan ada perlombaan tingkat kota. Jadi bisa kita simpulkan bahwa Jihoon benar-benar sibuk.

Dan sekarang, Minghao dipaksa Jihoon untuk pulang terlambat. Hanya sekadar mendengarkan Jihoon bermain piano untuk mencoba musik barunya. Entahlah, hanya Minghao yang betah jika Jihoon sedang dalam mode seperti ini.

"Menurut lo, ini enak nggak?" Jihoon mulai menekan beberapa tuts hingga mengeluarkan sebuah alunan musik yang begitu indah. Matanya terpejam ketika memainkan piano. Alat musik itu adalah sebagian dari hidup Jihoon, jika kalian ingin tahu.

Minghao mendesah. "Enak aja kata gue. Kan gue nggak ngerti itu apaan."

"Makanya hidup lo jangan kebanyakan ngejar cewek mulu." Jihoon mulai mengoceh panjang lebar. Jari-jarinya masih asyik menekan tuts. "Sekali-kali lo libur dari cewek dulu kenapa."

"Harusnya gue yang bilang gitu. Sekali-kali lo libur dari piano dulu kenapa. Gue pengen kita nikmatin liburan bareng. Ke mana gitu."

Tentu Jihoon mau. Siapa yang tidak mau lepas dari jeratan sebuah jaring besar yang menghambat pergerakanmu?

Tentu Jihoon mau ke luar dari dunia yang menyiksa seperti ini. Menikmati masa mudanya dengan normal, tanpa memikirkan banyak hal yang begitu berat. Apalagi untuk memenuhi semua yang orang tua inginkan.

"Mama gue pasti marah kalo sehari aja gue nggak megang piano," lirih Jihoon. "Lomba itu udah tinggal nunggu waktu. Gue harus menang."

"Apa perlu gue nyulik lo biar emak lo ngebolehin kita seneng-seneng?" celetuk Minghao sarkas.

"Ya, kali." Jihoon tertawa lebar. "Ya udah, lo dengerin ini dulu. Abis ini kita balik."

Minghao mengangguk semangat. Apapun untuk sahabatnya, Minghao rela saja jika harus mengorbankan banyak waktu di ruang musik hanya untuk menemani Jihoon.

PRANG!

Jihoon terkejut kerika mendapati salah satu jendela ruang musik sudah pecah berkeping-keping. Diliriknya sebuah bola bisbol yang tergeletak di sana. Pasti salah satu anggota klub itu tidak sengaja memecahkannya. Jihoon mengambilnya dengan kesal, lalu mulai menuju pintu keluar untuk memarahi si pelaku.

"M-m-maaf banget, kak. A-aku nggak sengaja."

Seorang gadis dengan rambut diikat ke belakang itu mulai meringis ketika melihat wajah Jihoon yang tidak bersahabat. Ini sudah kali ketiganya gadis itu memecahkan kaca ruang musik. Dan Jihoon yang harus bertanggung jawab.

Jihoon melempar bola bisbol itu tepat di depan wajah si gadis. "Kalo mukul itu pake tongkat, liatnya pake mata."

Gadis itu berdesis. "I-iya, kak. Maaf."

"Gue nggak punya waktu buat ngobrol sama orang kayak lo."

Gadis itu berdecih pelan. Bukan hal yang aneh jika Jihoon bersikap kasar seperti ini. Sudah kali ketiga Jihoon selalu berlaku kasar padanya, karena laki-laki itu hapal betul siapa yang sering memecahkan kaca jendela ruang musik.

"Nadine!"

Gadis itu menoleh. Dia langsung melempar bola bisbol itu pada orang yang memanggilnya tadi. Lalu, kembali mengarahkan pandangannya ke arah Jihoon yang sudah dalam mode garang.

"Aku bakal ganti kacanya."

"Ya emang lo harus ganti, nyet!"

Jihoon pun memberi kode pada gadis bernama Nadine itu untuk masuk ke dalam ruang musik, membicarakan tentang kaca jendela yang ia pecahkan tadi. Senyum kecil mampir di bibir Nadine. Gadis itu hampir memekik kegirangan tanpa Jihoon ketahui. Akhirnya dia berhasil berbicara dengan Jihoon lagi setelah sekian lama.

"Yes, berduaan lagi sama kak Jihoon!"

Nadine kecewa, karena ada Minghao di dalam ruang musik. Seniornya di klub bisbol yang sering menggoda anggota perempuan termasuk dirinya sendiri.

Aish!

-Ciao Jihoon-


















2018, ©turquoises_

4th Ciao Series

Ciao Jihoon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang