13. Masa Lalu Kita

1.2K 279 36
                                    

"Makasih kak, udah pernah ngasih aku kesempatan untuk bisa kenal kakak lebih deket."

Wajah mungil itu tenggelam dibalik punggung Minghao. Kembali menyembunyikan wajahnya agar Jihoon tidak bisa melihat air mata yang terus mengalir. Nadine masih terisak, tangannya meremas ujung seragam Minghao karena tidak kuat dengan apa yang ia rasakan hari ini.

Sengaja mengekor Minghao dan Jihoon yang menuju atap sekolah, Nadine terus melangkahkan kakinya ketika ia mengetahui Minghao menarik tangan Jihoon untuk membicarakan sesuatu. Dia sedikit khawatir karena Minghao memasang wajah penuh amarah, pasti ada suatu hal yang tidak Nadine ketahui.

Dan di sinilah ia sekarang, di atap sekolah, menyaksikan perdebatan antara dua sahabat yang saling mengutarakan isi hati mereka. Minghao yang tidak suka dengan sikap Jihoon, dan pernyataan jujur Jihoon mengenai perasaannya terhadap Nadine dan Hanin.

Bagaimana bisa laki-laki itu menyukai dua orang gadis dalam waktu yang bersamaan?

Sakit hati. Ya, Nadine memang merasakan hal sesakit itu. Bagai ribuan panah yang menembus jantungnya, mendengarkan ucapan Jihoon saat dimana laki-laki itu jujur jika ia menyukai Nadine hanya sebatas ingin melupakan Hanin yang terus bersarang di otaknya. Ini benar-benar diluar dugaan.

"T-tadi aku liat kak Hanin kayaknya khawatir banget sama kak Jihoon. Mending kakak samperin dia terus nanya keadaannya kenapa. A-aku izin pergi, kak..."

Langkah kecil itu mulai terdengar meninggalkan atap sekolah. Dengan isak tangis yang masih terdengar, memperlihatkan bahwa Nadine benar-benar kecewa dengan apa yang ia dapatkan. Ini terlalu sakit, ini memang pengalaman cinta Nadine yang pertama.

Jihoon memekik pelan ketika Minghao sudah beranjak dari tempatnya untuk menyusul Nadine. Tidak ada satu orang pun yang ingin mengetahui maksud dan alasan Jihoon yang sebenarnya. Namun, Jihoon mengakui kalau ia benar-benar sudah keterlaluan.

Pintu atap terbuka. Memperlihatkan seorang gadis dengan rambut digerai panjang, menghampiri Jihoon untuk menanyakan tentang kondisi laki-laki itu. Si gadis begitu khawatir, apalagi ketika melihat mata Jihoon yang berkaca-kaca menandakan bahwa ia hampir saja menumpahkan air mata.

"Jihoon..." Gadis itu memekik pelan. "Jangan nangis, disini ada Nadine. Hanindya Nadine, temennya Jihoon waktu kecil."

Kenapa?

Kenapa harus kembali pada orang yang sama?

-Ciao Jihoon-

"Kalo buat Jihoon, panggilnya Nadine aja boleh, hehe.”

Mata anak laki-laki itu bergetar ketika melihat seorang anak perempuan yang ditangannya terdapat sebuah biola. Jihoon dengan gugup menyambut uluran tangannya, mungkin saja gadis itu bisa merasakan tangan Jihoon yang berkeringat. Menandakan bahwa ia benar-benar terlihat gugup.

Hari ini adalah hari dimana Jihoon mengikuti kontes piano. Dia tampil dengan begitu lihai layaknya pianis terkenal, ditambah iringan biola yang dimainkan oleh ibunya sendiri. Menambah kesan dalam pertunjukan Jihoon sebelumnya. Apalagi, Jihoon mendapatkan banyak dukungan dari Minghao yang sengaja bolos dari latihan bisbol hanya untuk mendukung Jihoon. Hari ini benar-benar begitu istimewa.

Namun, semuanya bertambah istimewa dengan kehadiran Hanindya Nadine, seorang violinis pengiring dari peserta lain yang tidak sengaja bertemu dengannya di ruang tunggu. Hanindya yang begitu penasaran dengan sosok Jihoon, langsung menghampiri laki-laki itu dan mengajaknya sedikit berbincang.

“Aku suka main biola. Piano dan biola itu pasangan serasi, kan?”

Mata Jihoon kembali berkaca-kaca. Bibir mungil yang menjawab pertanyaan Jihoon tentang tujuan Hanin bermain biola, membuat Jihoon merasa terjatuh akan pesonanya mulai hari ini.

Ciao Jihoon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang