14. Crying Hoon

1.3K 278 64
                                    

"Gue..." Bibir Minghao mengatup rapat. Sebisa mungkin ia tidak mengalihkan pandangan matanya dari Nadine, "suka sama lo."

Seperti ada yang mengganjal di dalam hatinya sejak lama. Minghao begitu lega karena ia berhasil menyatakan apa yang sudah ia rasakan. Menyukai Nadine sejak gadis itu pertama kali menginjakkan kakinya di klub bisbol, bukanlah perkara yang mudah bagi Minghao. Apalagi ketika ia harus mengetahui bahwa si gadis malah menyukai sahabatnya sendiri.

Laki-laki itu semakin berani untuk bertindak. Tangannya terulur untuk menghapus banyak jejak air mata yang terlihat di pipi merah Nadine. Wajah sembab yang sudah nampak sedari tadi, malah membuat Minghao merasa gemas untuk tidak bertindak lebih jauh. Kalau bisa, bahkan dia sudah menahan untuk tidak memeluk Nadine erat-erat.

Dan untuk Nadine sendiri, mendapatkan pengakuan cinta dari dua orang sahabat adalah sebuah masalah besar yang kembali menghampiri dirinya. Bukan bermaksud untuk menolak, namun hatinya masih milik Jihoon hingga saat ini. Nadine masih belum bisa melupakan Jihoon semudah itu.

"Kak-"

"Gue udah suka sama lo, Nad. Gue sayang banget sama lo."

Nadine semakin tidak enak untuk mengatakannya. Tangannya digenggam erat, dagunya diangkat naik oleh Minghao agar ia tidak mengalihkan pandangannya dari laki-laki berdarah Cina itu. Minghao hanya ingin gadis itu tahu bahwa ia benar-benar tulus memberikan perasaannya untuk Nadine.

Nadine adalah segalanya.

Minghao tersentak ketika Nadine melepaskan tangan Minghao secara paksa. Ada rasa kecewa yang terbesit di dalam dirinya. Bukan, ini bukan seperti yang Minghao harapkan. Yang Minghao mau adalah Nadine yang menerima dirinya untuk saat ini. Bukan sebuah penolakan.

"Kak, aku cinta sama kak Jihoon."

Minghao berdecak. "Kenapa sih lo selalu mandang ke arah dia? Masih ada orang lain yang ngarepin lo, Nad!"

"Sama kayak kakak, aku udah suka sama orang lain dari waktu yang lama. Nggak semudah itu aku bisa ngelupain kak Jihoon. Meskipun dia udah nyakitin aku."

Minghao tidak suka ketika seorang gadis sudah menangis di depan matanya. Ini adalah sebuah kelemahan terbesar Minghao setelah ibunya. Dia benar-benar tidak suka melihat gadis menangis, terlebih itu adalah gadis yang ia sukai.

"Kalo gue nunggu lo-"

"Jangan nunggu aku, kak! Aku nggak janji bakal bisa ngasih hati aku ke kakak atau nggak." Nadine dengan takut menatap mata Minghao yang memerah. "Karena kak Jihoon masih ada di hati aku."

-Ciao Jihoon-

Berkali-kali Jihoon salah menekan tuts piano.

Dia terus menggerutu ketika tangannya tidak berhasil menghasilkan nada yang dia mau. Dia mengutuk semua partitur yang berjejer rapi, mengatakan bahwa mereka bukanlah sebuah benda yang Jihoon butuhkan di dalam hidupnya.

"ARGH!"

Jihoon menjerit sambil memukul pianonya dengan keras. Air mata langsung keluar dan ia terisak hebat sambil terus menggumamkan satu nama. Nama yang sudah ia sakiti untuk yang kesekian kalinya. Jihoon mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia begitu jahat bisa menyakiti hati serapuh itu?

Nadine yang polos harus kembali merasakan kejamnya hati Jihoon. Gadis yang sudah memberikan warna di dalam hidupnya mulai menghilang akibat tingkah lakunya sendiri. Bisa-bisanya ia melakukan sebuah tindakan konyol yang berhasil menyakiti banyak pihak, termasuk sahabatnya sendiri.

Ciao Jihoon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang