18. Pergi Untuk Kembali

1.1K 254 31
                                    

"Sebelumnya, kamu ngebelain aku, Hoon. Kenapa sekarang kamu balik lagi jadi nggak peduli gini sama aku?"

Jihoon menekan tuts pianonya dengan amarah. Berusaha untuk tidak mendengar setiap kata yang keluar dari bibir perempuan itu. Jihoon berusaha sebisa mungkin mengabaikan ucapan Hanin, perempuan yang sempat mengisi hatinya sebelum ia merasa dikhianati.

Jihoon sama sekali tidak merasa terkejut dengan kedatangan Hanin ke ruang musik. Malahan, dia malah sengaja mengabaikan Hanin dengan cara memainkan piano tanpa gangguan siapa pun. Jihoon menikmati setiap nada yang keluar. Berusaha sebisa mungkin agar tidak mendengar jeritan Hanin yang terus memanggil namanya.

Namun, permainan piano Jihoon terhenti ketika Hanin dengan lancang membalikkan tubuh Jihoon agar laki-laki itu mau menatap matanya. Rasanya begitu berbeda saat Jihoon mencoba menyelam di dalam diri Hanin. Tidak ada rasa tertarik maupun ingin melindungi, hanya ada bagaimana cara agar ia bisa terlepas dari jeratan Hanin.

"Apa dengan cara gue ngebelain lo artinya gue peduli?" seru Jihoon sambil melepaskan genggaman Hanin. "Lo pikir, gue bakal luluh semudah itu?"

Perempuan itu berdecak pelan. Dia masih berusaha mencoba membujuk Jihoon agar laki-laki itu jujur akan perasaannya. Karena menurut Hanin, Jihoon tidak mungkin membelanya hanya karena kasihan. Pasti ada satu alasan yang ia sembunyikan!

"Hoon, jujur..." Hanin menatap lamat-lamat mata Jihoon. "Kamu masih suka kan sama aku?"

Kamu masih suka kan sama aku?

Omong kosong macam apa yang sudah gadis itu ucapkan? Apakah ia tidak sadar bahwa itu sudah memancing amarah Jihoon? Bukankah seharusnya Hanin sudah tahu kalau Jihoon adalah orang yang bertemperamen?

"Aku tau, kamu ngobohongin perasaan kamu sendiri. Kamu masih sayang sama aku dan cuma manfaatin Nadine biar kamu ngelupain aku. Jujur aja, Hoon! Kamu pasti ngelakuin itu, kan?" sentak Hanin. Dia menjatuhkan air matanya.

Namun, Jihoon hanya membalas sentakan itu dengan sebuah senyum tipis yang begitu misterius. Bukannya merasa iba, tapi Jihoon benar-benar ingin mengusir Hanin dari ruang musik. Jihoon hanya tidak kuat melihat drama-drama ala anak SMA yang sering ia lihat di televisi. Ini bahkan bisa dibilang lebih dari sekedar drama.

"Kamu ngelakuin kayak gini kayak kepincut lagi sama Nadine, kan? Aku kurang apa dari cewek pemain bisbol itu, hah?"

Jihoon bangkit dari duduknya untuk meninggalkan Hanin. Kepalanya serasa ingin pecah dengan tingkah laku Hanin yang begitu berlebihan. Awalnya ia berniat untuk meninggalkan perempuan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Tapi, ada satu kalimat yang tiba-tiba keluar dari bibir Hanin. Kalimat yang berhasil membuat Jihoon kalang kabut dan segera keluar dari ruang musik dengan dada yang begitu memburu. Dia panik, bahkan terdengar tidak siap untuk mengetahui kebenaran. Di dalam hatinya terus bertanya-tanya.

"Kalo seandainya Nadine pergi ninggalin kamu, apa kamu mau balik ke aku, Hoon? Apa Nadine harus pergi dulu biar kamu ngeliat aku?"

Apa Nadine beneran mau pergi? Tapi, kenapa dia harus pergi?

-Ciao Jihoon-

Seperti yang Minghao tahu, ada sebuah keganjilan sejak Jihoon memberikan sekotak bekal pada Nadine kemarin siang.

Wajah Jihoon yang sebelumnya terus memberikan senyuman di tiap menit, sekarang harus tertekuk kesal setelah ia keluar dari ruang musik. Minghao tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu, sesekali ia berniat mengajak Jihoon untuk berbicara. Hanya sekedar untuk menanyakan bagaimana kondisinya hari ini. Tapi, Jihoon lebih memilih bungkam dan diam seribu bahasa.

Minghao kira, hubungan antara Jihoon dan Nadine mulai membaik akibat insiden kotak bekal di lapangan bisbol. Apalagi ketika Minghao tidak sengaja melihat Jihoon yang memeluk erat tubuh mungil Nadine, serta mengatakan bahwa gadis itu tidak boleh pergi dari sisinya, Minghao bisa mengambil kesimpulan bahwa hubungan mereka sudah membaik dan kembali seperti semula.

Kekhawatiran Minghao semakin terlihat ketika Jihoon yang diam-diam keluar dari ruang musik dengan wajah yang memerah. Dia memang sering memperhatikan Jihoon yang sibuk dengan pianonya. Namun, dia sama sekali tidak menyangka ketika mendapati Hanin yang ada di belakang Jihoon. Dengan air mata yang jatuh, seolah meminta belas kasihan dari Minghao yang sudah melihatnya.

"Lo sadar nggak, sih? Kalo gue sayang banget sama Jihoon?"

Minghao tercekat. Tangannya mengepal kuat meskipun Hanin terus terisak hebat. Minghao biasanya akan selalu iba dan tidak suka melihat seorang perempuan menangis. Tapi untuk kali ini, ada sebuah pengecualian di dalam catatan Minghao mengenai Hanin.

"Nadine itu mau pergi. Dia itu mau pergi ninggalin Jihoon. Kenapa dia nggak percaya sama gue? Kenapa dia harus ngejar cewek yang bakal ninggalin dia, hah?"

"Harusnya lo sadar, kalo Jihoon nggak ngarepin lo sama sekali."

Gadis itu tersentak. Dia menelan salivanya dengan kasar. Bukan, bukan ini jawaban yang Hanin tunggu dari bibir Minghao. Bukankah seharusnya Minghao mengatakan bahwa Hanin tetap harus berjuang mengejar Jihoon?

"Lo sadar nggak, sih? Dia nggak suka sama lo. Dan kejadian saat dimana dia ngebelain lo dan ngejar lo daripada Nadine, itu cuma karena dia kasian sama lo. Dia nggak suka lo dikasarin. Mana tega sih cowok ngeliat cewek dikasarin orang lain? Gue pun nggak tega liatnya, Nin."

Minghao melanjutkan ucapannya. "Dan untuk dimana Jihoon yang bilang kalo dia suka sama kalian berdua, itu emang bener. Tapi, hatinya udah buat Nadine untuk saat ini. Dan nggak ada tempat buat lo lagi."

Hanin mendekat dengan wajah yang penuh air mata. Tangannya bahkan sudah siap untuk menampar Minghao jika laki-laki itu sudah membuat hatinya semakin terluka. Apa-apaan dengan pernyataan konyol itu?

Hanin tetap tidak percaya dengan semua yang Minghao katakan. Itu hanyalah sebuah omong kosong belaka yang Minghao rencanakan agar Hanin menjauh dari Jihoon.

"Pembual! Nggak mungkin, lo nggak usah aneh-aneh!"

Minghao mencoba meyakinkan Hanin mengenai ucapannya. "Nggak mungkin gimana? Lo bisa apa kalo Jihoon emang sukanya sama Nadine?"

"Tapi, gue bilang kalo Nadine itu mau pergi! Dia mau pergi ninggalin lo, termasuk Jihoon!" sentak Hanin.

"Nggak usah ngarang, Nin. Gue tau lo kecewa karena Jihoon, tapi nggak gini juga-"

"Apa yang kak Hanin bilang itu bener, kak. Aku emang mau pergi."

Suara lembut itu langsung membuat Minghao dan Hanin menoleh. Gadis dengan kuncir kuda itu tidak bisa menatap kedua pasang mata Minghao dan Hanin secara bersamaan. Dia hanya menunduk, menutupi wajahnya yang sudah banjir akan air mata.

"Aku mau pergi ke Prancis. Aku bakal pindah ke sana. Dan nggak tau aku bakal balik atau nggak."

Isakan tangis terdengar. Nadine menggigit bibirnya untuk menahan tangis agar tidak terdengar oleh yang lain. Tapi, semuanya begitu sia-sia ketika Minghao mendekat dan menepuk bahu Nadine. Mencoba memberikan sebuah dukungan pada gadis yang sudah berhasil membuat sahabatnya berubah 180 derajat.

Semuanya begitu rumit. Sebuah kisah yang sama sekali rumit kembali hadir di kepala Minghao. Entah mengapa ingin rasanya Minghao menunju wajah Jihoon yang sudah mempermainkan dua orang gadis yang sangat menyukainya. Tapi kalau Minghao pikir, ini benar-benar menyakitk untuk ketiga pihak.

Minghao tersentak ketika ia menyadari ada seseorang yang datang mendekat. Menarik lengan Nadine hingga gadis itu merintih kesakitan. Semua alur yang terekam dengan jelas di pikiran mereka masing-masing. Sosok yang terlihat kecewa dengan semua pernyataan yang tadi ia dengar.

"Katanya lo nggak mau ninggalin gue? Janji kita yang kemarin gimana, Nad?"

Semuanya mematung ketika sosok itu muncul tidak jauh dari tempat mereka sebelumnya.

-Ciao Jihoon-

Ciao Jihoon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang