Bagi Jihoon, memperbaiki hubungannya dengan Minghao merupakan salah satu hal penting yang harus ia lakukan.
Bagaimana tidak, hari-harinya tanpa Minghao begitu hampa hingga Jihoon sendiri bingung apa yang harus ia lakukan. Dia tidak bisa melakukan apapun seorang diri, harinya terasa sepi tanpa tingkah konyol serta candaan Minghao yang terkadang selalu membuat Jihoon merasa kesal. Tapi siapa sangka, kalau tingkah laku Minghao tersebut itulah yang sangat Jihoon rindukan dari sahabatnya.
Laki-laki itu bersikeras untuk mengajak Minghao berdamai. Melupakan semua perdebatan sengit mereka beberapa waktu yang lalu, Jihoon pun berinisiatif untuk meminta maaf pada Minghao. Tanpa gengsi dan rasa malu, karena Jihoon sendiri juga mengakui kalau masalah itu ditimbulkan oleh dirinya sendiri.
Setelah ia melakukan hal gila dengan berlutut di hadapan Minghao, Jihoon berhasil membuat sahabatnya luluh dan memintanya untuk berdiri. Minghao masih punya hati nurani, tentu saja dia sangat tidak suka ketika Jihoon berlutut dan meminta maaf padanya. Karena bagi Minghao, kesalahan Jihoon masih bisa ia maafkan tanpa perlu Jihoon berlutut di kakinya.
Setelah saling berdiam diri selama sepuluh menit, Jihoon hendak mengajak Minghao berbicara. Namun baru saja Jihoon membuka mulutnya, Minghao sudah memotong dengan kalimat sarkas yang membuat Jihoon merasa tertohok.
"Lo nyamperin gue ke sini cuma buat minta bantuan, kan? Lo minta bantuin gue biar lo baikan sama Nadine."
Meskipun pernyataan itu benar adanya, tapi Jihoon mengakui bahwa ia juga menginginkan hubungannya membaik dengan Minghao maupun Nadine. "Nggak juga, lo jangan salah paham lagi."
"Terus?"
"Lo nggak sadar? Lo adalah orang pertama yang gue samperin setelah gue ngebuat masalah. Gue bener-bener mau minta maaf ke lo."
Minghao berdecak. Kalau boleh jujur, dia sedikit iba dengan kedatangan Jihoon hari ini. Sahabatnya datang dengan wajah memerah dan penyesalan yang begitu besar. Minghao percaya bahwa Jihoon pasti sudah merasa bersalah karena perbuatannya sendiri.
"Gue tau kalo gue egois banget. Nggak mau bikin Hanin sakit, tapi gue juga mau Nadine ada di sisi gue." Jihoon menunduk dalam. "Gue serakah. Dan gue juga sadar kalo dengan ngelibatin Nadine, itu juga nyakitin lo, Hao. Makanya orang pertama yang gue datengin itu lo. Karena bagi gue, lo yang lebih penting."
Tanpa sadar, senyum Minghao mengembang. Senyum tipis yang sengaja ia samarkan agar Jihoon tidak melihatnya, sangat terharu dengan apa yang Jihoon ungkapkan dengan penuh kejujuran.
Minghao tahu, kalau Jihoon tidak pernah berpikiran sejahat itu. Jihoon yang ia kenal sejak kecil, bahkan terlalu lembut dan tidak tega untuk menyakiti orang lain. Apalagi sahabatnya sendiri. Jihoon memang tidak bisa terlalu lama bertengkar dengan Minghao.
"Jadi, gue mau lo-"
"Udah udah, jangan dilanjutin lagi. Gue merinding dengernya." Minghao berpura-pura merasa jijik ketika menyadari Jihoon akan melanjutkan ucapannya. "Gue geli, anjir. Lo ngomong kayak gitu berasa kayak ngomong sama pacar."
Jihoon malah mengangkat sebelah alisnya, hendak menggoda Minghao. "Ya kan lo emang berharga banget di hidup gue. Lo itu segalanya."
"JIJIK, ANJENG. ENYAH LO!"
Jihoon tertawa lebar. Inilah yang ia rindukan dari sosok Minghao. Beberapa caci maki dari bibir tipis sahabatnya yang selalu membuat Jihoon tersadar, kalau Minghao adalah orang yang benar-benar mengerti dirinya.
Meskipun Jihoon tidak pernah bisa mengerti apa yang Minghao mau.
-Ciao Jihoon-
KAMU SEDANG MEMBACA
Ciao Jihoon [✔]
Fiksi Penggemar[ 4th Ciao Seventeen Series ] Bagi Jihoon, hidupnya hanya diisi oleh dua hal. Musik dan Piano. Jihoon tidak pernah merasakan apa itu cinta sejak ia kecil. Hidupnya hanya diisi oleh sentakan keras dan tuntutan dari kedua orang tuanya. Menjadikan ia t...