17. Love, the Only Word

1.1K 262 78
                                    

Helaan napas terdengar begitu berat.

Langkah kaki yang terseret sejak beberapa menit yang lalu, memperlihatkan seorang gadis yang berjalan dengan wajah tertunduk. Rambutnya yang panjang memang berhasil menyembunyikan wajahnya yang berderai air mata. Dia hanya tidak ingin semua orang tahu apa yang sedang ia rasakan.

Setitik air mata jatuh kembali. Napasnya memburu dan dia bahkan tidak sadar bahwa ia sudah berada di halte. Bus yang seharusnya ia tumpangi pun berlalu begitu saja. Meninggalkan gadis itu yang masih setia menangis sambil tertunduk. Ada satu alasan yang pasti tentang apa yang membuat gadis itu menangis.

Kamu mau ikut papa kan, dek? Papa butuh kamu

Hidup berdua saja dengan sang ayah memang bisa membuat Nadine tumbuh menjadi gadis tegar yang mandiri. Tidak pernah ia mengeluh tentang apapun yang ada di dalam keluarga kecilnya. Tidak punya ibu bukanlah alasan yang kuat untuk terus bersedih bagi Nadine.

Nadine kecil yang bahkan sudah bisa memasak telur saat ia masih duduk di kelas tiga sekolah dasar, membuat gadis itu tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat berkat didikan keras dari sang ayah. Anak perempuan satu-satunya yang menjadi harap keluarga, memang menjadikan Nadine sosok yang sulit untuk menentukan apa yang ia mau.

Seperti saat ini, dimana ia sedang bimbang untuk mengiyakan ajakan sang ayah untuk pindah ke Prancis. Negara itu bukanlah negara yang dekat dengan Indonesia, tentu saja Nadine akan merasa berat untuk meninggalkan semua kenangan yang ia buat di sini.

Termasuk Jihoon.

Namun, sesuatu tiba-tiba terlintas di benak Nadine. Tangannya begitu yakin ketika ia menekan layar ponselnya untuk membalas pesan sang ayah. Hatinya yang dingin seolah kembali membekukan perasaannya yang memudar untuk Jihoon.

Untuk apa Nadine memikirkan laki-laki itu lagi? Itu hanya membuang banyak waktu.

Iya pa, adek ikut papa. Kita bisa tinggal di Prancis bareng-bareng.

-Ciao Jihoon-

"Anjir lo kesambet apaan, Hoon?" Minghao hampir saja mengambil sepotong roti dari kotak bekal yang Jihoon bawa, sebelum akhirnya tangan laki-laki itu mendapat sebuah tamparan keras dari Jihoon.

Jihoon melotot galak. Dia buru-buru menutup kotak bekalnya agar Minghao tidak bisa mengambil makanan yang dengan susah payah ia buat seorang diri. Jihoon bahkan perlu melakukan pencarian di internet hanya untuk membakar tiga potong roti. Niatnya benar-benar sudah bulat ingin terus berjuang untuk seseorang.

"Celamitan lo, ah! Gue bikin ini tuh khusus buat Nadine." Jihoon sama sekali tidak peduli ketika Minghao merengek ingin meminta roti bakar yang ia buat. "Udah ya, gue mau ke lapangan."

Minghao menghela napas. Jihoon benar-benar berhati dingin jika itu menyangkut makanan. Matanya menatap langkah Jihoon yang mulai menjauh untuk segera memasuki lapangan. Sudah tiga hari lebih, Jihoon menjadi anggota klub bisbol. Tugas sebagai seorang pitcher membuatnya semakin percaya diri ketika ia menyadari bahwa Nadine sering menonton pertandingannya.

Jihoon semakin percaya diri ketika mendapati Nadine yang tengah duduk di kursi yang tidak jauh dari lapangan. Mungkin ia baru saja berisitirahat karena Jihoon bisa melihat jejak keringat yang begitu deras pada dahinya. Laki-laki itu terpana ketika gadis yang ia sukai mulai mengikat rambut, dengan sebuah karet rambut yang menjadi ciri khas Nadine jika ia sedang bertanding.

Langkahnya begitu mantap. Tidak peduli jika ia akan mendapatkan sebuah penolakan lagi, tapi Jihoon sama sekali tidak menyerah untuk mengambil hati Nadine kembali. Rasa cintanya pada Nadine membuat Jihoon mulai tersadar dengan semua perbuatan yang sudah ia lakukan. Dan Jihoon juga sudah bertekad kalau ia akan terus mengejar Nadine sampai gadis itu mau menerima hatinya.

Ya, Jihoon akan mengejar Nadine meskipun ia harus pergi sampai ke ujung dunia.

Jihoon duduk dengan jarak tiga kursi dari Nadine. Tangannya menggenggam erat kotak bekal yang ia bawa. Jantungnya berdetak lebih cepat, tiba-tiba saja ia merasa gugup ketika perempuan itu menyadari kehadirannya. Jihoon menelan salivanya dengan kasar. Apalagi ketika Nadine malah menatap ke arahnya dengan tatapan penuh tanya.

Nadine mengerutkan alisnya ketika sebuah sapu tangan berada tepat di hadapannya. Tangan Jihoon terulur untuk memberikan Nadine sapu tangan untuk menyeka keringat. Siapa sangka kalau gadis itu benar-benar banjir keringat hingga bajunya pun basah.

"K-keringetnya dilap dulu."

Nadine terlihat ragu untuk mengambil sapu tangan yang Jihoon berikan. Awalnya ia sudah berniat untuk menolak, dan pergi dari hadapan Jihoon. Sama sekali tidak peduli dengan kedatangan Jihoon yang lagi-lagi masih berharap permintaan maaf darinya.

Seulas senyum tercetak di bibir Jihoon ketika Nadine menerima sapu tangan darinya. Mata Jihoon bahkan terlihat berbinar ketika melihat Nadine yang sedang menyeka keringat menggunakan sapu tangan yang tadi ia berikan. Meskipun Nadine tidak menatap ke arahnya, tapi sudah cukup dengan perhatian yang gadis itu berikan. Itu sudah berhasil membuat Jihoon bisa tersenyum lebar seperti ini.

Kedengerannya gue kayak bucin banget...

"Makasih."

"Tunggu!'

Jihoon pun dengan gesit menahan Nadine yang hendak pergi setelah ia menyaksikan keringatnya. Tangan Jihoon menahan lengan Nadine dengan begitu cepat, hingga fokus keduanya langsung mengarah pada lengan milik Nadine.

Jihoon duduk mendekat. Bahkan ia sudah berada tepat di samping Nadine untuk saat ini. Laki-laki itu langsung membuka kotak bekal yang ia bawa, lalu diberikan kepada Nadine sebagai bukti bahwa ia sengaja menyiapkannya.

"Gue bikin ini buat lo, Nad." Jihoon tersenyum lebar. "Soalnya dulu kan gue sering dibikinin bekel sama lo."

Mata Nadine menyipit melihat isi kotak bekal yang Jihoon bawa. Roti bakar yang tampak sedikit hangus pun bisa ia lihat dengan jelas, bahkan selainya pun terlihat berantakan. Pasti Jihoon merasa kesulitan ketika ia menyiapkan roti ini untuknya.

"Cobain, ya. Gue udah bikin ini buat lo." Jihoon menyodorkan kotak bekal itu di hadapan Nadine. "Dibikinnya pake cinta."

Tanpa sadar, Nadine tersenyum. Mendengar celotehan konyol dari bibir Jihoon, membuat kondisi hatinya merasa lebih baik. Entah kenapa, Nadine sama sekali tidak berniat untuk cuek pada Jihoon. Dia bahkan menerima saja roti bakar yang Jihoon buat meskipun terasa agak pahit.

"Enak?"

Nadine mengangguk. "Ya, meskipun agak pahit."

Mata mereka bertemu. Jihoon tidak bisa menahan senyumnya ketika melihat sisa selai di sudut bibir Nadine. Dengan segera, laki-laki itu langsung mengambil tisu dari saku seragamnya dan menyeka sisa selai tersebut dari bibir Nadine.

Nadine hanya bisa mematung ketika tubuhnya ditarik untuk merasakan pelukan Jihoon. Laki-laki itu tidak peduli dengan selai roti yang sudah mengenai seragamnya, karena tujuannya hanya untuk Nadine dan membuat gadis itu mau memaafkan semua kesalahannya.

Nadine terkejut. Dia merasa malu saat Jihoon memeluknya yang sedang memakan roti. Kalau boleh jujur, wajah Nadine pun memerah akibat perlakuan Jihoon padanya hari ini. Semua perlakuan manis lewat tiga potong roti yang berhasil membuat Jihoon mendengar suara Nadine lagi.

Tapi, hatinya kembali teriris ketika Jihoon mengatakan satu hal yang tidak ingin Nadine dengar.

"Lo nggak boleh pergi kemana-mana, ya? Lo di sini aja sama gue. Gue yang akan berjuang buat lo. Tapi, lo harus janji kalo lo nggak boleh pergi, Nad."

Tanpa Jihoon tahu, Nadine hanya memerlukan 10 hari untuk pergi meninggalkannya sejauh mungkin.

-Ciao Jihoon-

Ciao Jihoon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang