4. Nadine Terus!

1.5K 342 63
                                    

Semenjak Jihoon mengatakan bahwa ia menyukai gadis yang menjadi dirinya sendiri, kepercayaan  diri Nadine menjadi meningkat. Dia menjalani harinya dengan lebih baik, bahkan terlalu over. Jihoon benar-benar memberikan dampak yang sangat besar untuk Nadine. Bahkan gadis itu berhasil membuat tim bisbolnya menang pada lomba kali ini.

Tim bisbol putri menang pada kejuaraan tingkat kota. Dan Nadine yang mempunyai peran besar untuk pertandingan hari ini. Beberapa kali ia menghasilkan homerun untuk timnya. Membuat sang lawan mulai menyerah ketika menyadari bahwa Nadine yang memukul bola.

Berbeda pada saat latihan waktu itu, Nadine meningkat dengan pesat. Membuat banyak orang bertanya-tanya ada hal apa yang membuat gadis itu mempunyai motivasi besar seperti ini. Semua orang tidak tahu, tapi Minghao tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pasti ada hubungannya dengan Jihoon, karena Nadine sangat menyukai laki-laki itu.

Jihoon juga mulai sedikit terbuka pada Nadine ketika gadis itu menyapanya. Dia tidak jarang memperbolehkan Nadine untuk masuk ke dalam ruang musik, mengingat gadis itu ingin mendengarkan suara piano yang Jihoon mainkan. Membuat banyak orang bertanya-tanya dengan apa yang terjadi pada Jihoon.

Termasuk Minghao.

Laki-laki itu terkejut ketika ia menyadari bahwa ada Nadine di dalam ruang musik. Memperhatikan Jihoon yang sedang asyik menekan tuts piano, memainkan sebuah lagu yang akan ia mainkan dalam perlombaan yang akan datang. Gadis itu tidak berniat mengganggu, dan Jihoon juga tampak tenang seolah tidak terganggu dengan kehadiran Nadine.

Minghao mengintip lewat kaca jendela. “Buset dah, Nadine pake pelet apaan bisa bikin Jihoon mau deket sama dia?”

Minghao asyik bergumam seorang diri. Memperhatikan dua sejoli yang tampak tidak sadar kalau mereka sedang diawasi.

Jihoon menghentikan permainannya. Menatap ke arah Nadine yang sejak tadi memasang wajah kagum kepada seniornya itu. “Kenapa?”

“Kak Jihoon keren. Aku ngeliat kakak main piano berasa liat tangan kak Jihoon kayak melayang gitu.”

Jihoon tertawa. Ucapan polos nan lugu yang berhasil membuat Nadine menjadi kikuk. Baru kali ini ia melihat Jihoon yang tertawa seperti ini. Rasanya seperti sebuah mimpi ia bisa berduaan dengan Jihoon yang sangat galak.

Jihoon sendiri juga tidak mengerti kenapa ia bisa bersikap manis seperti ini pada Nadine. Awalnya ia benci, tapi setelah Nadine mengatakan bahwa ia benar-benar ingin dekat dengan Jihoon, laki-laki itu bahkan tidak bisa berkata-kata. Keteguhan hati Nadine membuat pertahanan Jihoon mendadak hancur. Keyakinan Nadine begitu besar, dan Jihoon hanya tidak mau membuat gadis itu terluka.

“Kenapa lo mau deketin gue?” tanya Jihoon. Matanya mengerjap pelan. Rasa penasaran tentu saja selalu terbayang di dalam benaknya. Tentang banyak juniornya yang sering menyatakan bahwa mereka kagum dengan Jihoon, dan mencintai Jihoon karena ia tampak keren saat memainkan piano.

Jihoon hanya ingin dicintai lewat dirinya sendiri, bukan karena kelebihannya.

Nadine masih diam saja mendengar ucapan Jihoon. Dia bingung, apa yang harus ia jawab pada kakak kelasnya itu.

Jihoon tersenyum kecil. “Pasti karena lo suka permainan piano gue, ya? Atau karena gue punya bakat di bidang musik? Atau karena gue ketua klub vokal? Atau-“

“Aku suka sama kak Jihoon bukan karena apa yang kakak miliki. Aku suka karena aku kagum dengan semua yang ada di diri kakak. Kak Minghao suka cerita, kalo kak Jihoon suka ngerelain barang-barang kesukaan kakak buat dia, atau sifat kakak yang terlalu setia kawan. Kak Minghao cerita banyak tentang kak Jihoon.”

“Oh, ya? Dia cerita apa aja?”

“Kak Jihoon pernah nungguin kak Minghao di halte bus waktu kalian masih kecil, Cuma buat nungguin kak Minghao yang lagi main bisbol di sekolahnya. Karena kakak tau, kalo kak Minghao nggak bawa payung. Dan itu cerita yang bikin aku suka sama kakak. Aku nggak peduli tentang kakak yang sering dikatain jutek atau galak, karena aku yakin kak Jihoon pasti punya sisi lembut yang orang lain nggak tau. Meskipun aku juga belum pernah ngeliatnya, sih.”

Benar saja, pipi Jihoon memerah.

Semburat merah yang hadir di sana ia sembunyikan sebisa mungkin. Jihoon memang langsung membuang muka setelah Nadine mengatakan hal itu. Ada perasaan menyesal di dalam diri Jihoon ketika ia pernah membuat Nadine menangis. Bukankah gadis ini memang berniat baik pada Jihoon?

“Jadi, aku bakal bikin kak Jihoon jadi bucin aku. Kakak tinggal nunggu aja, oke?”

Jihoon tersenyum kecil. Kenapa ia benar-benar menantikan hal itu? Jatuh cinta lagi pada seseorang yang memiliki nama Nadine?

-Ciao Jihoon-

“Lo keren ya Hoon, bisa bikin anak orang panas dingin.”

Jihoon mengangkat sebelah alisnya. Dia tidak mengerti dengan apa yang Minghao katakan. Memang, laki-laki itu sering mengatakan hal-hal yang aneh, bahkan Jihoon sama sekali tidak mengetahui maksud dari perkataannya.

Mereka pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul enam. Jalan yang mereka lewati semakin ramai, karena langit mulai menenggelamkan matahari yang sudah bersedia memberikan sinarnya. Lampu-lampu menerani sebagian jalan, dan jangan lupakan beberapa suara klakson kendaraan yang sangat mengganggu.

Mereka pulang dengan berjalan kaki, bus yang mereka tumpangi baru saja pergi dalam hitungan detik. Langkah ringan mereka memasuki kompleks perumahan yang tampak sepi. Tentu ini ada sebuah kewajaran, Jihoon dan Minghao tidak aneh sama sekali. Mereka memang tinggal di kompleks perumahan yang sama.

“Apaan, dah?”

Minghao menyikut lengan Jihoon. “Awalnya lo bikin Nadine nangis kejer. Sekarang lo malah bikin dia senyum-senyum gaje. Lo apain dia, sih?”

Ah, rupanya itu yang membuat Minghao penasaran.

Sebenarnya tidak ada yang Jihoon lakukan untuk Nadine. Dia bahkan tidak bisa ingat apa yang sudah membuat Nadine berubah seperti ini. Memangnya Nadine berubah karenanya?

“Nggak ngapa-ngapain. Lo apaan, sih?”

Minghao langsung melempar senyum aneh ketika Jihoon mulai menyanggah ucapannya. Wajah Jihoon yang memerah menjadi sasaran Minghao untuk menggoda sahabatnya itu. Setelah sekian lama, akhirnya Minghao melihat wajah Jihoon yang tersipu malu seperti ini. Andai Minghao membawa ponselnya, dia tentu akan mengabadikan momen langka ini. Kapan lagi Jihoon bisa bersemu merah?

“Anjay, muka lo kok merah?” kekeh Minghao. “Gue nggak ngapa-ngapain padahal. Nanya doang lo apain si Nadine.”

“Kan gue udah bilang kalo gue nggak ngapa-ngapain.”

“Ya kalo gitu, nggak usah sewot, dong. Gue kan nanya baik-baik.”

Menyebalkan juga ternyata mempunyai sahabat seperti Minghao.

Mereka sudah tiba di depan rumah Minghao. Rumah besar yang didominasi cat berwarna biru laut. Rumah mereka hanya berbeda blok, Jihoon masih harus menempuh tiga blok setelah rumah Minghao untuk sampai ke rumahnya. Memang cukup jauh, tapi mereka malah bisa bersahabat seperti ini.

Mata keduanya beralih pada beberapa mobil boks besar yang membawa banyak barang. Beberapa orang mulai bekerja sama untuk menurunkan barang-barang yang terdapat di sana. Ke dalam sebuah rumah yang terletak tepat di hadapan rumah Minghao. Fokus Minghao dan Jihoon tentu saja tersihir oleh kejadian orang pindahan yang ternyata menarik perhatian mereka.

Namun, perhatian Minghao bukan beralih pada siapa yang menjadi tetangga barunya. Tapi pada seorang gadis yang turun dari sebuah mobil sedan mewah yang terparkir di depan rumah itu. Seorang gadis yang benar-benar tampak familiar. Minghao sangat mengenal siapa gadis itu, tak terkecuali Jihoon.

Sebuah desisan pelan keluar dari bibir Jihoon, dia tentu tahu siapa gadis itu. Gadis yang ia benci selama ini.

Kenapa Jihoon kembali terjebak oleh gadis yang terus membayangi pikirannya?

“Hoon, bukannya itu Nadine, ya? Nadine yang ada di masa lalu lo itu!”

-Ciao Jihoon-





























Hm hm hm hm hm

Makin gaje ternyata

Ciao Jihoon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang