PART EIGHTEEN

55 4 2
                                    

Kiara menatap cowok yang baru saja keluar dari rumahnya. Dari kamarnya, ia melihat Arya yang menampakkan wajah sedih, menyesal, dan kecewanya. Kiara ingin menangis rasanya membayangkan hidupnya yang berat. Hidupnya yang harus membuatnya jauh dari seseorang yang baru kemarin ia suka, hidupnya yang membuat ia harus merasa kecewa pada Arya.

Ia segera menutup tirai jendela kamarnya ketika Arya mendongak melihat dirinya. Kiara memegangi dadanya dimana jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Bunyi motor Arya membuat Kiara kembali mengintip lewat tirai jendela mendapati Arya yang sudah pergi meninggalkan rumahnya. Ia tidak tahu bagaimana bisa disaat hatinya sudah sepenuhnya kecewa, tapi masih ada secercah rasa rindu padanya?

Dirinya sudah mati-matian menolak perasaan rindu yang bergejolak dihatinya dan hampir mengalahkan rasa benci serta kecewanya pada Arya. Ia menggeleng kuat, berusaha menghilangkan Arya dari pikirannya saat ini karena itu adalah hal yang membuang waktu berharganya untuk memikirkan Arya.

Ia segera menutup tirai jendela kamarnya ketika Arya mendongak melihat dirinya. Kiara memegangi dadanya dimana jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Bunyi deru motor Arya kembali membuat Kiara mengintip lewat jendela mendapati Arya yang sudah pergi meninggalkan rumahnya. Ia tidak tahu bagaimana bisa disaat hatinya sudah sepenuhnya kecewa, tapi seakan rasa rindu telah mengalahkan beribu sakit di hati.

***

"Lo..ngapain disini?"

"Gue sengaja dateng buat ketemu sama lo, Ar. Kita perlu bicara"

Arya mengedarkan pandangan ke sekeliling sekolah yang terlihat ramai. Ia kemudian menarik Didi ke arena gudang sekolah, satu-satunya tempat sepi yang jarak terjamah oleh anak-anak sekolah. Arya menghempaskan Didi tanpa kekasaran. Emosi yang seketika muncul setiap melihat ia coba untuk meredakannya.

"Selamat ya Ar, udah lulus" ucap Didi mengulurkan tangannya.

"Thanks" Arya menyambut uluran tangan Didi. Hanya sekejap kemudian ia melepaskannya, "Ada apa?"

"Gue udah denger semuanya. Kejadian 1 tahun lalu, gue minta maaf. Gara-gara gue lo jadi—"

"Telat" sambar Arya sebelum Didi menyelesaikan kalimatnya. Sambil menguyah permen karet ia bersikap acuh pada cowok di depannya.

"Iya tau Ar. Gue emang pengecut, yang bisanya lari dari masalah. Sejak saat itu hidup gue selalu dipenuhi rasa bersalah dan gue hampir gila karena perasaan itu. Gue mohon Ar, maafin gue dan ayo kita selesaikan semuanya. Biar gue dateng ke rumah Dimas buat jelasin kalo sebenernya lo itu gak salah.." pinta Didi.

"Percuma. Sama Mba Mitha gue udah dianggap kotoran sama dia. Dia udah benci banget sama gue. Percuma kalo kita kesana dan jelasin kalo sebenernya itu bukan salah gue" kata Arya yang kini wajahnya sudah memerah.

"Oke. Tapi setidaknya kita udah nyoba buat jelasin ke keluarga Dimas kalo gue..gue yang udah mempengaruhi lo supaya lo ngajak Dimas ikutan balapan itu dan gue..yang sebenernya udah nyerempet Dimas sampe dia jatuh. Dan gue yang udah ngejebak lo sampe akhirnya gue pergi ke luar negeri karena gue gak mau di penjara" jelas Didi menunduk menyesali perbuatannya.

Arya mengepalkan tangannya, berbalik. Ketika kepalannya sudah siap untuk meninju wajah Didi, Arya kemudian mengalihkan kepalannya ke tembok tepat di sebelah wajah Didi yang sudah pasrah menerima segala pukulan dari Arya. Karena ia pantas menerimanya.

"Tadinya gue emang dendam banget sama lo. Si bangsat yang udah bunuh sahabat gue dan si bangsat yang udah ngejebak gue supaya dia bisa lari dari masalah dan membiarkan gue di benci sama orang-orang yang gue sayang. Bahkan bokap nyokap gue yang dulu selalu percaya sama gue, sekarang tega ngebuang gue ke Jakarta. Gara-gara lo, gara-gara lo bangsat!" emosi Arya membuncah.

"Pukul gue..atau kalo perlu bunuh gue. Gue munafik—"

"Lo emang munafik! Dan lo emang pantes dapet pukulan dari gue. Tapi seseorang udah ngajarin gue untuk berhenti menyelesaikan masalah pake kekerasan. Dan oke, gue terima ajakan lo buat jelasin semua ini. Dan lo bener-bener harus membuat keadaan balik kayak dulu. Dimana gue gak perlu ngerasa takut lagi buat dateng ke Bandung!"

Didi mengangguk yakin. Kemudian ia membuang nafas setelah Arya menjauhkan tangannya dari tubuhnya. Dan tanpa mereka sadari, seseorang sudah terisak sambil menutup mulutnya di balik tumpukan kardus yang menjadi penghalang antara mereka.

***

Kiara melewati koridor sekolah memperhatikan banyak siswa-siswi kelas 12 yang kemarin baru merayakan kelulusan. Kini mereka datang sudah memakai pakaian bebas untuk mengambil beberapa berkas yang diperlukan untuk mendaftar perguruan tinggi. Kiara memperhatikan sekeliling, takut ada Arya yang belum mau ia temui.

Ia mendapat perintah dari guru olahraga untuk mengambil 2 bola voli di gudang sekolah karena akan diadakan penilaian untuk kelasnya. Hari ini Kiara kebagian jadwal piket. Dan karena hanya ia yang belum melaksanakan kewajiban kelas yang selalu di sunnahkan oleh kebanyakan murid itu, akhirnya ia yang bertugas mengambil bola itu.

Kiara melangkahkan kakinya. Pertama kalinya ia menginjakkan kaki di gudang sekolah yang terlihat gelap dan bernuansa horror.

"Deket tumpukkan map-map di keranjang sebelah kanan" gumam Kiara mengulang kata-kata Pak Harto tadi.

Setelah menemukan, Kiara tersenyum dan berjongkok untuk mengambil bola tersebut.

"Percuma. Sama Mba Mitha gue udah dianggap kotoran sama dia. Dia udah benci banget sama gue. Percuma kalo kita kesana dan jelasin kalo sebenernya itu bukan salah gue"

Gerakan Kiara yang hendak bangun dari jongkoknya terhenti ketika mendengar suara seseorang yang ia kenal. Kiara kembali berjongkok dan mengintip lewat celah diantara tumpukan kardus. Iya, ada Arya disana sedang mengobrol dengan seseorang yang wajahnya tidak bisa Kiara lihat karena terhalang meja usang di depan kardus.

"Oke. Tapi setidaknya kita udah nyoba buat jelasin ke keluarga Dimas kalo gue..gue yang udah mempengaruhi lo supaya lo ngajak Dimas ikutan balapan itu dan gue..yang sebenernya udah nyerempet Dimas sampe dia jatuh. Dan gue yang udah ngejebak lo sampe akhirnya gue pergi ke luar negeri karena gue gak mau di penjara"

Kiara yang tengah mendengarkan, kini terkejut mendengar penjelasan lawan bicara Arya. Ia menutup mulutnya dan memegangi dadanya yang terasa sesak.

"Ini maksudnya apa sih" gumam Kiara menggelengkan kepalanya tak percaya, namun juga ada secercah rasa bahagia karena bukan Arya lah pelaku sebenarnya. Tapi,ia masih belum mengerti.

"Tadinya gue emang dendam banget sama lo. Si bangsat yang udah bunuh sahabat gue dan si bangsat yang udah ngejebak gue supaya dia bisa lari dari masalah dan membiarkan gue di benci sama orang-orang yang gue sayang. Bahkan bokap nyokap gue yang dulu selalu percaya sama gue, sekarang tega ngebuang gue ke Jakarta. Gara-gara lo, gara-gara lo bangsat!"

Kiara semakin di buat melongo mendengar penjelasan dari Arya dan si lawan bicaranya itu. Ia menggeleng kuat dan setetes air mata jatuh mengenai celana olahraganya. ia memejamkan matanya untuk sekedar meredakan segala perasaan yang berkecamuk di hatinya. Tapi, tidak bisa. Air mata masih saja terus turun. Kiara membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri agar isakannya tidak terdengar.

"Arya gak salah. Ini bukan salah Arya" Kiara terus merapalkan kalimat itu dalam hatinya.

Ia kemudian bangun dari jongkoknya dan pergi meninggalkan gudang setelah ia mengusap air matanya dan meredakan perasaannya.

"Lama banget sih Ra. Gue udah kayak orang ilang nungguin lo di—loh mana bola nya?" seru Divka histeris lebay yang tidak di tanggapi oleh Kiara. Kiara hanya terus berjalan menuju toilet untuk sekedar membasuh muka agar lebih tenang.

"Arya gak salah. Ini bukan salah Arya.

*****

HUAHH AKHIRNYAAA UPDATE JUGA!

Terimakasih yang sudah setia menunggu cerita yang makin kesini makin nggak jelas ini <3

F A T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang