Kiara mengumpulkan lembar jawabannya dari soal kenaikan kelas matematika. Ulangan kenaikan kelas tinggal 3 hari lagi, setelah itu beban akan segera sirna dari pundak para siswa-siswi dan liburan telah menyapa di ujung sana.
"Mampus itu soal persis banget sama yang di kasih guru. Nyesel gue gak belajar yang itu. Arggghh!!" Divka merengek sambil menendang-nendang sepatu entah milik siapa di depan ruang ulangan kenaikan.
Kiara yang memang sejak seminggu lalu bersikap aneh di mata Divka, kini malah semakin aneh seperti tersihir sesuatu yang Divka pun tak tahu apa itu. Pasalnya, sejak seminggu lalu saat mengambilkan bola voli di gudang, Kiara berubah menjadi pendiam yang super diam. Hanya bicara seperlunya saja.
"Ra lo jangan diem aja dong. Gue ngeri tau gak? Sejak keluar dari gudang sekolah lo mendadak aneh gini. Gue jadi parno sendiri kan.." Divka mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil tangannya mengusap lengan.
Kiara masih diam. Ia terpikir oleh kata-kata teman Arya seminggu lalu. pernyataan yang menohok perasaannya, menghadirkan sedikit kelegaan karena bukan Arya lah pelaku sebenarnya. Dan dalam masalah ini sebenarnya hanyalah sebuah kesalahpahaman selama setahun yang perlu diluruskan. Hati Kiara selalu sakit mengingat betapa berat penderitaan Arya yang harus menanggung semua ini sendirian, dan sulit mengungkapkan kebenaran ketika semua sudah terlanjur benci padanya.
"Bahkan bokap nyokap gue yang dulu selalu percaya sama gue, sekarang tega ngebuang gue ke Jakarta..."
Itu adalah kata-kata Arya yang menyakitkan. Bahkan Kiara pun tahu bagaimana perasaan Arya ketika mengucapkan kalimat menyakitkan itu. Lewat nada suaranya yang mampu menyayat hati Kiara.
'Gue harus temuin temen Arya' gumam Kiara.
"Div, lo duluan aja. Gue mau ketemu sesorang dulu. Sorry banget yaa.." Kiara memegang bahu Divka. Setelah mendapatrespon berupa anggukan dan senyuman miris Divka, Kiara segera pergi meninggalkan Divka.
Halte terlihat ramai. Kiara menyelinap diantara kerumunan orang-orang yang ada di halte. Ia mengingat-ingat badge sekolah cowok yang seminggu lalu menemui Arya di gudang sekolah. Ah, ya..
SMAN SEVIT JAKARTA.
Ia asing dengan nama sekolah itu. Ia bahkan tidak tahu di mana letaknya, tepatnya di daerah mana.
"Misi mba, mau tanya SMA Sevit itu di mana ya?" Tanya Kiara pada seseorang di sampingnya.
"Lupa sih. Tapi kalo lo mau kesana, pake bus yang biasa lewat sini aja.nanti lo bilang ke sopir busnya aja lo mau turun di Sevit" kata cewek itu kemudian Kiara mengucapan terimakasih.
***
'Ini sekolahnya? Iya ada tulisan SMAN SEVIT JAKARTA. Gede juga ya sekolahnya..' gumam Kiara.
Terlihat tak kalah ramai dengan sekolahnya. Banyak siswa-siswi yang hendak pulang atau ada juga yang tengah bersenda gurau di taman terbuka sekolah. Kiara kelabakan. Bagaimana bisa ia menemukan cowok itu diantara ratusan pelajar SMA Sevit ini? eh, siapa ya namanya kemarin?
Doni?
Diki?
Didit?
Ah, ya! DIDI!
"eh, misi. Mau Tanya tau Didi gak? Orangnya tinggi, segini.." Kiara mengangkat tangannya mengira-ngira tinggi Arya karena ia tidak tahu juga seperti apa sosok Didi itu. Ia hanya sempat melihatnya sedikit dan sekilas karena terhalang tumpukan kardus dan sebuah meja usang.
"Disini ada 2 tipe Didi. Didi yang pertama itu anak kelas 11 yang culun dan ingusan. Didi yang kedua itu anak kelas 11 juga anak baru banget pindahan dari luar negeri dan punya gaya preman. Lo cari Didi yang mana? Lo Cuma nyebutin tinggi, dan dua Didi itu tinggi semua" terang siswi berbandana pink di depan Kiara ini.
Aduh, mana Kiara tahu Didi yang mana yang bakal ia temui. Tapi masa iya Arya kemarin memaki-maki pake kata kasar ke orang culun? Dan masa iya orang culun sampe bisa bikin Dimas celaka>
"kalo diliat-liat lo nggak mungkin cari Didi opsi pertamaa. Jadi kemungkinan lo nyari Didi preman. Noh, dia ada di taman deket pohon paling rindang. Itu, yang lagi pegang gitar. Udah ya, gue mau pulang" ujar cewek tadi dan segera pergi tanpa mau mendengarkan Kiara mengucapkan terimakasih.
Kiara berjalan takut-takut mendekat ke arah gerombolan cowok-cowok yang tengah berkumpul di bawah sebuah pohon rindang. Ia mengenakan blazer hitam miliknya yang selalu ia bawa ke sekolah, agar ia tak ketahuan dari sekolah lain. Bisa bahaya jika ada yang tahu ada seseorang dengan badge sekolah berbeda. Bisa-bisa ia dikira penyusup.
"Misi..."
Ia tiba-tiba teringat Arya dan gerombolannya. Ia teringat dulu saat-saat canggung dan takut seperti ini ketika bertemu atau lewat di depan gerombolan paracowok-cowok yang terkenal 'nakal' di sekolah.
"Eh, cewek!" sahut salah satu dari kelima orang yang ada.
"Siapa ya? Kok kayak baru liat? Anak baru ya?" Tanya seseorang lagi.
"Nyari siapa neng? Cantik banget.." godaan lain pun muncul. Kiara segera menghentiaknnya,
"Didi. Iya, mau cari Didi" jawab Kiara mantap walau dengan dada yang berdebar takut.
Seseorang yang daritadi terlihat tenang sambil terus memainkan gitarnya, kini menoleh kea rah Kiara dan mengacungkan telunjuknya kea rah dirinya sendiri, "Gue?"
Kiara mengangguk walau ia tidak tahu apakah itu Didi yang dimaksud atau bukan.
"Asekk si Didi diem-diem ya.." ledek keempat temannya tanpa dihiraukan oleh si pemilik nama 'Didi' itu.
"Lo siapa? Dan ada perlu apa lo nyari gue?" Tanya Didi yang hanya dibalas 'diam' oleh Kiara yang kini tengah mempehatikan keadaan sekitar, a.k.a teman-teman Didi yang kini menatap Kiara semua.
"Woi, lo berempat bisa minggir dulu gak? Pulang gih sono!" Didi yang paham akan kecanggungan Kiara mengusir teman-temannya yang sempat merajuk namun menurut juga.
Kini hanya ada Kiara dan Didi yang duduk di bangku taman.
"Jadi lo yang namanya Kiara? Serius? Lo..pacar Dimas? Arya?" heboh Didi yang di tanggapi anggukan oleh Kiara.
"Lo kok bisa tau gue? Gue gak yakin Dimas yang cerita. Arya juga gak mungkin.." gumam Didi yang masih terdengar oleh Kiara.
"Gue denger lo sama Arya di gudang sekolah gue seminggu yang lalu" jawab Kiara.
Didi melotot, "Lo...denger semuanya? Berarti lo tau kalo.."
"Iya. Makanya gue kesini mau mastiin tentang apa yang lo dan Arya omongin waktu itu. Gue Cuma ngerasa...nyesel aja setelah denger pernyataan itu. Ini beneran kan? Arya itu gak salah? Bukan Arya kan?" Tanya Kiara menuntut.
Cowok di depannya ini menarik napas dalam-dalam dan menunduk sebentar,
"Jawab dong Di! Bukan Arya kan?" Didi menatap manik mata Kiara yang memancarkan harapan bahwa Didi akan mengatakan,
"Iya. Bukan Arya pelakunya. Kayak apa yang lo denger, gue adalah orang yang malam itu bener-bener pengin nyelakain Dimas karena gue iri sama dia. Dia punya segalanya, dia punya orang-orang yang sayang sama dia. Bahkan dia punya lo yang selalu dukung dia. Dulu, gue soulmate sama dia. Tapi gue iri karena orang-orang selalu memandang Dimas sama Arya. Bukan gue.." cerita Didi seiring dengan lemahnya cengkeraman tangan Kiara pada baju Didi.
"Lo gila!" umpat Kiara.
"Iya gue Cuma orang gila dengan ego yang besar. Orang gila yang tega nyelakain sahabat sendiri dan menjebak sahabat sendiri juga" kata Didi frustasi.
Kiara segera pergi meninggalkan Didi yang kini tertunduk lesu yang di hatinya kini dipenuhi rasa bersalah. Kiara kemudian memberhentikan sebuah bus yang membawanya pulang. Dalam perjalanan pulang ia terus menatap ponselnya yang menampilkan kontak Arya. Kemudian dengan sejuta keyakinan, ia mencoba mendial nomor Arya.
1 menit..
Tak ada jawaban.
"Arya aku minta maaf..." gumam Kiara dengan suara bergetar menahan tangis.
*****
-VEEN-
KAMU SEDANG MEMBACA
F A T E
Teen Fiction"Takdir memisahkan aku dengan dia untuk selamanya, dan takdir mempertemukanku dengan kamu untuk selamanya pula..."