The Truth {Chapter 17}

537 71 26
                                    

"Aku menyukaimu, bagaimana?"

Kukira kata-kata itu hanya mitos bagi orang seperti Hibari.

Tapi sekarang ini... dengan mataku aku melihat mulutnya bergerak, dengan telingaku aku mendengar dia berbicara, dan dengan hatiku aku tahu dia tidak bercanda.

"Wa...Wahahah! Kau ini kalau bercanda garing!" aku tertawa palsu.

"Kau tahu aku bukan orang yang akan bercanda dengan hal seperti itu," Hibari memotong tawaku.

Aku yang tadinya memasang tawa paslu yang lebar pun terdiam. Aku kembali menghadap pemandangan luas Kota Namimori.

Untuk sesaat, desiran angin musim dingin mengisi keheningan yang kami buat. Napas kami berdua mulai mengeluarkan awan putih yang tipis, dan entah kenapa itu membuat wajah Hibari begitu terlihat melembut.

"Apa maksudmu 'bagaimana'?" tanyaku kemudian dengan tenang.

"Menurutmu?" Hibari malah bertanya balik.

"Aku yang bertanya disini," ujarku kesal, "kalau aku juga punya perasaan yang  sama memangnya kau mau apa?"

"Apa lagi..." Hibari menggantung kalimatnya.

Entah kenapa menjeda kata-katanya seperti itu membuat jantungku berdegup kencang. Kenapa aku sangat penasaran dengan kalimatnya?

"Aku ingin kau..." Hibari kembali menjeda, "menikah denganku."

"Sudah kuduga--tunggu... apa?" aku menengok pada Hibari dengan wajah datar.

"Menikah denganku," katanya lagi menatapku serius.

"Umm... maaf, sepertinya aku lupa membersihkan telinga dan kata-katamu jadi terdengar ngawur..." aku seakan-akan mengorek telinga dengan kelingking, "bisa tolong ulangi?"

Hibari mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya--cincin.

"Me-ni-kah," ejanya sambil menunjukkan cincin perak itu.

"Tunggu! Menikah?! Kenapa menikah?!" aku akhirnya berseru.

"Hm? Apa salahnya?" Hibari memasang wajah bingung.

"Biasanya orang akan minta pacaran dulu, tapi kenapa kau malah melamar??" tanyaku heran.

"Kalau bisa menikah kenapa harus pacaran?" Hibari semakin membuat wajah heran.

"Mungkin kalau menikah.... ini terlalu cepat," aku hanya bisa bingung dengan pemikiran Hibari.

Hibari memasukkan kembali cincin tadi ke dalam sakunya. Dia lebih pengertian kali ini.

"Meski begitu... aku senang," kataku dengan pelan tapi masih bisa didengar olehnya.

Tiba-tiba, sebuah tangan yang dingin menyentuh tanganku yang membeku. Entah kenapa meski tangan kami berdua dingin, saat bersentuhan rasanya begitu hangat.

Hibari menatapku dengan tatapan dalamnya. Seperti terhipnotis, aku tidak bisa lepas dari pandangan lembutnya itu. Tatapan yang sebelumnya tidak pernah kulihat. Tiba-tiba dia menarik tanganku ke sampingnya.

"Uwah!" keterkejutanku tidak sampai situ. Hibari menempelkan bibirnya padaku. Rasanya seperti merasakan puding yang membeku. Dingin, namun lembut.

Perasaan ini begitu berbeda dengan ciuman beberapa hari yang lalu.

Beberapa saat kemudian, dia menjauhkan wajahnya. Aku tidak bisa berkata apapun saking malunya. Namun aku tidak bisa berpaling dari tatapan matanya.

Tapi...

Beberapa hari kemudian...

#Author P.O.V

"Aku bingung," Hibari yang sedang menulis dokumen memecah keheningan ruang KomDis. Dino lagi-lagi dipanggil Hibari dan Kusakabe juga menemani Dino duduk di sofa.

Cloudy Heart {Hibari x Reader}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang