Bab 18. Jogja

38.4K 5.6K 635
                                    

Aduuhh...kalian ini sungguh tidak sabaran sekali. Ini dilanjut...dilanjut. Kemaren lagi sakit terus ada yang bikin sensi setiap hari jadi males banget buat ngetik. Kalo lama update harap mengerti kebutuhan authornya ya. Makasih. Ini THR buat kalian.

Oh ya...minal aidin walfaizin ya semuanya. Mohon maaf lahir batin.

Happy reading...

Bab 18. Jogja

====o0o====

Ratna masih duduk di kursinya sambil memegang cangkir berisi teh yang belum tersentuh sama sekali. Matanya menatap kosong jarum jam, detik demi detik berlalu sejak panggilan telepon ke Pandu terputus. Entah apa yang terjadi pada laki-laki itu, ponselnya tiba-tiba mati setelah terdengar suara benturan yang cukup keras.

Kecelakaan...

Hanya itu yang terpikir oleh Ratna saat ini. Dan ia sama sekali tidak tahu bagaimana kondisi Pandu karena ponsel laki-laki itu tidak bisa dihubungi. Mungkin terlindas mobil atau terlempar?

Ratna memejamkan matanya, mendesis ngeri saat membayangkan hal itu. Perlahan air matanya jatuh membasahi pipi dan seketika itu juga otaknya menjadi tumpul. Ia tidak tahu Pandu di mana dan bagaimana keadaannya saat ini. Ia tidak tahu...tidak tahu...

"Ratna, kamu yakin Pak Pandu kecelakaan?" Suara Pak Deden menarik Ratna kembali ke kesadarannya.

Ratna menoleh, menatap mata-mata orang yang berkumpul mengelilinginya. Setelah mendengar teriakannya tadi, orang-orang mulai berdatangan karena penasaran. Mereka mencoba menenangkan Ratna sekaligus menghibur, bahkan Nurul-lah yang memberikannya teh hangat untuk menenangkan diri.

Ia menggelengkan kepalanya. "Saya dengar jelas suara keras seperti tabrakan, Pak. Tapi, saya nggak yakin Pak Pandu kecelakaan." Ia mencoba untuk terlihat tenang, meski hatinya sangat kacau saat ini. Ia kembali menatap layar ponselnya, menunggu kabar dari Erina.

Bagaimana keadaan Erina? Karena panik, ia langsung menelepon Erina tanpa memikirkan dampak yang mungkin terjadi pada gadis itu. Erina sedang hamil, pasti terkejut mendengar kepanikan Ratna.

Bagaimana ini? Erina juga belum kasih kabar. Bersamaan dengan pemikiran itu, ponsel Ratna berdering. Cepat-cepat diangkatnya setelah melihat nama Erina di sana.

"Halo, Rin?"

"Na, gue jemput lo ya sekarang. Tunggu di loby."

"Mas Pandu gimana?" tanya Ratna seraya berdiri dan menyambar tasnya.

"Pokoknya ke loby dulu ya. Jangan panik, oke?"

Ratna terdiam dan menarik napasnya panjang. Itu kalimat yang mengartikan sebaliknya. Seperti dulu ketika ibunya mengajaknya berbicara serius tentang perceraian. "Neng harus selalu inget ya kalau Mamah sama Papah sayang sama Neng. Biar pun kita nggak tinggal bertiga lagi, Neng masih bisa terus ketemu sama Mamah sama Papah. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik aja." Dan nyatanya, semua nggak baik-baik aja. Awal mula perkataan, "jangan panik, duduk dulu," menandakan adanya musibah.

Ya Allah. Semoga tebakan gue salah.

Ratna langsung berlari ke arah loby setelah pamit pada Pak Deden. Tak lama berada di loby ia melihat mobil Abi berhenti di depan tangga pintu depan. Ratna langsung menghampiri mobil itu dan duduk di bangku belakang. "Gimana, Rin? Mas Pandu nggak apa-apa kan?" tanyanya lagi.

JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang