125°

5.7K 361 18
                                    

Sudah tiga jam lebih Giselle menunggu Reza tetapi pria itu tak kunjung datang. Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 8 malam, itu berarti taman hiburan ini akan segera ditutup. Para pengunjung yang tadi mengerumuni permainanpun kini telah bersiap untuk pulang setelah terhibur oleh semua permainan di sana. Berbeda dengan Giselle yang sama sekali belum menikmati satu permainanpun, ia hanya mengelilingi taman itu seraya mencari keberadaan Reza.

Akhirnya Giselle memutuskan untuk berhenti mencari dan menaiki wahana bianglala, setidaknya hanya permainan itu yang mungkin bisa mengobati rasa sedih dan lelahnya. Ia duduk di dalam salah satu kabin sambil memeluk dirinya sendiri yang mulai merasa kedinginan.

Tiba-tiba ponsel Giselle berbunyi, ia berharap panggilan itu berasal dari Reza tetapi ternyata yang menepon adalah sebuah nomor asing. Giselle mengangkat panggilannya tanpa berpikir panjang.

"Halo?"

"...."

Tak ada jawaban dari seberang telepon. "Halo, ini siapa ya?"

Giselle masih tak mendapatkan jawaban apapun. "Kalau gak mau ngomong apa-apa kenapa harus telepon?"

Giselle menghela napas, rasanya hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Ia salah karena menduga bahwa hari ini akan jadi hari yang indah, karena pada dasarnya tidak ada satupun keindahan yang tercipta.

"Kamu gak mau bicara?" tanyanya lagi terdengar frustasi. "Baiklah, biarkan aku yang bicara."

Giselle menarik napas panjang, seolah mengumpulkan banyak energi untuk meluapkan perasaan hatinya saat ini. "Aku sedang berada di taman hiburan," ucap Giselle. Ia tidak peduli siapapun orang yang sedang menelepon dan mendengar suaranya saat ini. Ia hanya merasa perlu membagi bebannya dengan orang lain, siapapun itu.

"Tadinya aku bersama kekasihku, tapi entah dimana dia sekarang setelah mendapat sebuah panggilan. Aku sudah menunggunya selama 3 jam lebih dan sudah berkali-kali aku mengelilingi taman ini, tapi aku belum berhasil bertemu dengannya. Miris bukan?" suara Giselle jelas mengisyaratkan bahwa ia kecewa.

"Saat ini aku sedang berada di salah satu kabin bianglala, pemandangan dari sini sangat indah. Sangat amat indah, aku bahkan tidak pernah menyangka ada pemandangan seindah ini."

Suara Giselle terdengar bergetar, ia benar-benar merasa sendiri saat ini. Rasanya seperti ada kekosongan di dalam hatinya yang tak bisa diisi oleh semua keindahan yang ada di dunia ini. "Aku gak tau kenapa aku merasa sedih seperti ini, aku yakin penyebabnya bukan karena kekasihku. Karena walaupun dia ada di sampingku, aku tetap merasa kosong. Seperti ada sesuatu yang hilang dari diriku."

Giselle meremas jemarinya kuat-kuat. "Aku merasa seperti membutuhkan sesuatu, tetapi aku gak tahu apa yang aku butuhkan. Apa yang harus aku lakukan?"

Giselle menunduk, menjatuhkan wajahnya pada lututnya dan membiarkan ponselnya terjatuh ke lantai kabin. Ia terisak seraya memukul dadanya yang terasa sesak. "Sakit," ucapnya terdengar pedih.

"Kenapa aku harus menangis kalau aku tidak merasa sedih tentang apapun juga?" isaknya. Giselle-pun tidak mengerti kenapa ia sampai menangis tersedu-sedu seperti itu. "Apa aku sudah gila? Bagaimana mungkin aku memiliki rasa sakit sebesar ini dalam hatiku? Bahkan rasa sakitnya lebih besar daripada saat aku kehilangan kekasihku beberapa tahun yang lalu."

"Ah aku pasti memang sudah gila! Seharusnya aku tidak berbicara dengan keheningan, aku memang sudah tidak normal beberapa hari ini."

"Giselle," panggil seseorang membuat Giselle mendongakkan kepalanya. Ia melihat sosok pria yang berdiri di samping kabinnya. Pria itu menatap Giselle sendu dan membuka pintu kabin itu perlahan.

My Aviator [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang