170°

7.3K 419 20
                                    

Setelah berpikir panjang, akhirnya Giselle setuju untuk ikut dengan Marshella ke Kanada. Ia percaya dengan ucapan Michael bahwa cinta memerlukan perjuangan. Dan kali ini Giselle yang akan berjuang. Sesulit apapun medan yang akan ia tempuh, ia akan berusaha untuk mendapatkan Hansel-nya kembali.

"Aku dengar kamu seorang pramugari," ucap Marshella seraya mengubah posisi kursinya agar lebih nyaman.

Giselle mengangguk.

"Wah pas banget ya! Suaminya pilot, istrinya pramugari," balas Marshella dengan begitu bersemangat. Nyatanya hidup tidak semudah itu. Giselle sadar kalau perjalanannya mungkin akan sulit.

"Aku boleh tanya sesuatu?" tanya Giselle.

"Sure."

"Apa di dekat rumahmu ada hotel? Aku bingung harus tinggal dimana."

Marshella yang mendengarnya hanya tertawa renyah. "Gak usah repot-repot, kamu bisa tinggal di rumah kami."

"Tinggal dengan kalian? Apa itu gak terlalu berlebihan?"

"Tidak, Hansel jarang pulang ke rumah jadi kamu bisa tidur di kamarnya," ujar Marshella dengan santainya. Sayangnya ucapan itu berhasil membuat mata Giselle melebar.

Baru saja Giselle ingin menolak dan menawar agar bisa tinggal di hotel saja, tetapi Marshella sudah menutup kedua matanya. Rencana Giselle menguap begitu saja menjadi hembusan napas panjang. Giselle membuka jendela pesawat di sampingnya. Melihat awan yang berkilauan saat terpapar cahaya matahari sore merupakan kegiatan favoritnya saat di pesawat.

Sebentar lagi mereka akan sampai di kota Toronto yang dikenal sebagai kota seribu etnis setelah menempuh 23 jam perjalanan. Sungguh melelahkan. Giselle belum pernah melakukan penebangan selama ini sebelumnya. Biasanya ia hanya terbang ke negara-negara Asia yang tak membutuhkan banyak jam perjalanan demi menjalankan tugasnya.

Suara pramugari terdengar dari speaker yang berada di sudut-sudut pesawat. Giselle langsung mengenakan sabuk pengamannya yang ia lepas selama perjalanan tadi. Berbeda dengan Marshella yang tidak melepas sabuk pengamannya sama sekali. Wanita itu begitu idealis. Semua yang ia lakukan begitu hati-hati, Giselle yakin Marshella adalah orang yang penuh perhitungan dalam mengambil keputusan.

"Sorry, Miss. Close the window, please."

Giselle mengangguk canggung lalu menutup jendela di sampingnya. Ia merutuki sikap bodohnya sendiri, padahal jelas-jelas ia tahu kalau jendela harus ditutup saat pesawat hendak mendarat. Kadang Giselle berpikir kalau ia tidak pantas menjadi seorang pramugari.

Dan akhirnya pesawat mereka mendarat sempurna di bandara internasional yang terletak di pusat kota. Seluruh penumpang dianjurkan untuk tetap duduk sampai pesawat benar-benar berhenti. "Marshella," panggil Giselle berusaha membangunkan Marshella.

Marshella langsung bangun, ia sangat peka dengan suara di sekitarnya. "Sudah sampai ya?"

Giselle mengangguk. Beberapa penumpang pesawat lain sudah bangkit berdiri dan mengambil barang-barang mereka di rak atas. Marshella dan Giselle juga melakukan hal yang sama. Mereka berjalan mendahului penumpang yang lain, Giselle sampai bingung mengapa mereka mendapat perlakuan khusus seperti itu bahkan mereka juga mendapat pengawalan dari pihak bandara.

"Memangnya kamu selalu dikawal seperti ini?" bisik Giselle. Karena pengawalan itu, mereka jadi pusat perhatian seluruh penumpang. Giselle merasa tidak nyaman.

"Gak juga, ini karena ayahku berada di sini."

"Ayahmu? Itu berarti ayah..."

"Ya, ayah Hansel juga. Jangan terkejut ya, ayah kami memang terlihat menyeramkan, tetapi sebenarnya dia baik," Marshella melambaikan tangannya saat mereka berhadapan dengan seorang pria paruh baya dengan beberapa pengawal di sekelilingnya.

My Aviator [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang