Di malam hari yang dingin Diki berjalan dengan santai dan tenang. Pandangannya lurus tajam kedepan. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Kedua telapak tangannya menggengam dan diletakkan di saku celananya.
Di tengah jalan yang sepi, dia bertemu tiga orang yang terlihat jelas merupakan berandalan. Senyum yang bersifat merendahkan itu terpasang jelas di wajah mereka.
Dua orang dari mereka bertubuh tinggi, sekitar 180-an sentimeter. sedangkan yang satunya bertubuh pendek, namun masih lebih tinggi dari Diki yang hanya 162 sentimeter.
Seolah tidak melihat mereka, Diki tetap berjalan santai melewati tiga orang yang berdiri dengan tangan dirapatkan di dada mereka. Dia tidak mengubah sedikitpun tempo langkah yang ia tempuh sejak tadi.
Hanya suara langkah kakinya yang terdengar sebelum tepukan tangan yang kasar mendarat di pundaknya menghentikan langkahnya. Diki menutup matanya dan menghela nafas sebentar kemudian berbalik menghadap orang itu.
"Woi, bisakah kau lebih sopan sedikit pada kami? Apa-apaan ekspresi menjijikanmu itu?"
Orang dengan tubuh tinggi tersebut mengangkat kerah baju Diki dan mengomelinya.
"Kau akan membayar karena telah mengabaikan kami," kata yang lainnya dengan nada mengejek.
"Jadi, serahkan semua uangmu kalau masih ingin hidup! Setelah itu minta maaf pada kami atas sikapmu itu!" ancam yang satunya lagi.
Masih berusaha untuk tetap tenang, Diki mengatur nafasnya. Ia tetap tenang, berifikir dan mencoba meyakinkan dirinya agar tidak terbawa emosi.
"Baiklah akan kulakukan. Lepaskan dulu cengkeraman ini!"
"Jangan kabur, Bocah!" Si preman bertubuh tinggi melepaskan cengkeraman dari kerah baju Diki.
Tangan kirinya ia keluarkan dari kantong dan mengulurkan uang sejumlah 3000 Mol kepada preman tersebut.
"Heeh! Apa kau hanya punya segini, dasar bocah miskin!" Omelnya sambil merebut uang tersebut dengan kasar, badannya direndahkan setara tinggi tubuh Diki.
"Ya, aku hanya punya segitu dan aku minta maaf." Diki mengatakannya dengan nada datar.
"Begitukah caramu meminta maaf? Tidak sopan sekali. Seharusnya kau berlutut dan mencium kakiku, mengerti? lakukan sekarang!"
Kali ini Diki mengabaikan perintahnya. Ia membalas ucapan preman tersebut dengan keras, "Maaf karena hari ini aku harus mengakhiri hidup kalian!" seraya menusuknya dengan pisau lipat yang sudah digenggam dalam saku sejak awal. Matanya di pelototkan sebab ia tidak tahan lagi.
"Kk-Kau...."
Posisi yang sangat menguntungkan bagi Diki untuk langsung mengarah ke titik lemah lawan, yakni jantung. Tangan kanannya terus menekan pisau itu lebih dalam lagi, Dalam hitungan detik, si preman sudah tersungkur di tanah.
Lantas kedua preman lainnya terkejut sekaligus marah. Mereka sama sekali tidak mengira hal ini akan terjadi.
"Sialan! Beraninya kau..."
Dengan cepat, salah satu dari mereka mengeluarkan senjatanya yang juga merupakan pisau lipat. Dia segera mengayunkan pisaunya ke Diki. Namun, gerakan itu terlalu lambat baginya atau reflek bocah tersebut yang terlalu cepat sehingga usahanya ditangkis. Pisau vs pisau.
Setelah bunyi benturan dua pisau itu, Diki melompat mundur. Kedua kakinya sedikit ditekuk dengan kaki kirinya didepan. Tangannya kirinya menyeimbangkan posisinya.
Sedangkan preman lain yang lebih pendek nampaknya tidak membawa senjata. Ia hanya terpaku dengan ekspresi marah bercampur panik. Tetapi tidak berlangsung lama, ia kemudian mundur beberapa langkah untuk menjauh dari pertarungan.
Tanpa menunggu lama, Diki kembali menyerang. Dia mengincar pinggang bagian kiri lawan. Gerakannya sangat cepat nyaris tidak dapat diprediksi.
Walaupun sempat bergerak untuk menghindar, nampaknya si tubuh besar sudah terlambat. Ginjalnya sudah teriris sehingga dia merasakan rasa sakit yang luar biasa diikuti dengan teriakan histeris. Ia menjatuhkan pisaunya dan berlutut sambil memegangi lukanya. Kini darahnya mengalir di tangannya.
Satu yang tersisa menyaksikan temannya yang sedang kesakitan. Ingin rasanya segera lari agar tidak terjadi hal yang sama padanya. Mengambil langkah seribu dan bergumam dalam hati "Monster... Bocah itu tidak diragukan lagi... .Monster!" dengan perasaan takut dan panik.
Diki memalingkan pandangannya dari preman pengecut beralih ke preman yang dia lawan. Baru saja dia mau mengeluarkan pedangnya yang tersembunyi di punggungnya di balik pakaian khasnya. Namun, tampaknya tidak perlu lagi.
"Cih, apa yang kulakukan? Aku berlebihan lagi."
Setelah berkata seperti itu, Dia mengeksekusi sekali lagi hingga preman itu benar-benar mati. Setelah itu ia mengambil uang yang telah diberikannya pada yang sudah tewas terlebih dahulu.
"Orang mati tidak bisa menggunakan uang, bukan?"
Dia bergumam sendiri sambil membersihkan senjatanya dari darah dengan baju mayat yang berada tepat dihadapannya, mayat yang ia bunuh sendiri.
"Lagipula siapa yang kau sebut bocah miskin, bodoh!"
Dengan entengnya dia melangkahi mayat preman tersebut. Diki berjalan kembali dengan tempo seperti semula. Matanya dipejamkan beberapa saat, lalu dibuka kembali. Dia melipat pisaunya dan dimasukkan ke saku celananya, berjalan seperti semula seolah tak terjadi apa-apa. Dia menuju rumahnya yang berjarak kurang dari satu kilometer lagi.
Baru beberapa langkah berjalan, dia mendengar suara ledakan yang berasal dari desanya. Suara yang menyebabkan ia menghentikan langkahnya sejenak. Matanya memandang asap hitam yang terlihat samar di kegelapan. Tidak salah lagi berasal dari desa tersebut. Lelaki berambut cokelat tersebut segera berlari, khawatir jika terjadi sesuatu di desa.
Tidak. Jika terjadi suara ledakan yang cukup keras artinya tidak dapat disangkal lagi telah terjadi sesuatu. "Apakah hal yang sama yang terjadi tiga tahun lalu?" Batinnya menanyakan hal tersebut tapi dia berharap jawabannya bukan.
Dengan ekspresi yang jelas terlihat khawatir, dia mulai mengingat apa yang terjadi di masa lalu. Sebuah bencana yang mengerikan baginya. Cukup sekali saja mengalami hal itu. Mungkin bukan begitu. Alangkah lebih baik jika dirinya tidak mengalaminya sama sekali.
Beberapa menit kemudian, dia sampai di lokasi dimana suara itu berasal. Pemandangan tepat di depan matanya saat ini hampir sama dengan yang terjadi tiga tahun lalu. Empat atau lima rumah penduduk hancur dan terbakar. Tentu saja dia gelisah, tapi juga sedikit bersyukur karena tidak separah dulu. Dilihat dari kejauhan, rumahnya juga aman dari api.
Berdesakan di kerumunan, Lelaki tersebut kembali dan pergi menuju kerumahnya. Meninggalkan kerumunan yang sedang menonton dan beberapa yang berusaha memadamkan api.
"Sial, Aku tidak suka mendengar jeritan dan teriakan seperti ini."
Baginya, teriakan dan tangisan orang yang kehilangan rumahnya,bahkan mungkin keluarganya, hanya akan mengingatkan kepada masa lalu. Dia putuskan untuk meninggalkan keramaian.
Dari reaksi orang-orang, sudah pasti ada korban tewas dalam bencana ini. Tapi ia malah memutuskan untuk pergi.
Lelaki bermata tajam itu memutuskan dirinya tidak perlu memikirkan apa penyebab bencana ini, siapa pelakunya, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. Cukup dengan mempertimbangkan: banyak orang di sekeliling, atau banyak rumah yang masih berdiri kokoh, maka tidak masalah. Jika hal serupa seperti tiga tahun yang lalu terjadi disini, mungkin dia akan menjadi satu-satunya manusia yang masih hidup di desa Serafal ini. Lagipula, dia dapat menanyakan apa yang terjadi pada Karina di rumah nanti. Tentu saja dia akan bertanya nanti.
Melihat kondisi, Karina sudah pasti berada di antara kerumunan orang itu. Mungkin juga ia sedang mengevakuasi, memadamkan api, atau semacamnya. Persetan, aku butuh istirahat. Batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimensi 27 #1 END
FantasyDiki Milfana, Seorang swordsman sekaligus magician muda lulusan Akademi terkenal di kotanya, baru saja bergabung ke serikat militer Nevela. Di serikat itulah ia dan saudara sepupunya, Karina Milfana, mendapatkan misi khusus pertama mereka. Dalam per...