Diki termenung di depan meja makan. Apa yang tengah dipikirkannya saat ini adalah kejadian semenjak kemarin sampai pagi tadi. Ia terus memikirkan rentetan peristiwa yang memuat teka-teki besar itu.
"Aku pulang." Suara Karina dari pintu depan membuyarkan renungannya.
"Bagaimana kau tahu kalau aku ada dirumah?"
"Aku selalu salam seperti itu," sahut Karina dengan senyum.
"Oh," angguk Diki. "Kalau begitu cepatlah mandi sementara aku menyiapkan makan malam," jelas laki-laki itu sambil bangkit dari kursinya.
"Eh, tidak biasanya," heran Karina, "Lagian ini belum malam, masih jam setengah lima."
"Kalau kau tidak mau, aku makan sendiri saja."
"Ba-baik." Karina terheran-heran dengan sikap Diki.
Tak lama, kedua saudara itu sudah duduk di kursinya masing-masing. Lalu mereka menyelesaikan hidangan tanpa tergesa-gesa.
"Ah, tentang gerbang yang kau bicarakan tadi pagi..." Karina membuka obrolan.
"Aku akhirnya menemukan jalan untuk menghapus kutukan sialan ini," ucap tiba-tiba Diki.
"Be..benarkah?"
"Ya," jawabnya, "tapi aku sendiri belum tahu bagaimana."
"Lalu, kenapa kau bisa berkata begitu?"
"Aku diberitahu seseorang dan aku akan bertemu dengannya sore ini juga. Aku harus pergi," jawab Diki dengan raut wajah tidak senang. Lelaki itu beranjak dari kursi dan mengambil persiapannya.
"Tapi, kau belum menjelaskan tentang gerbang itu."
"Kita bicarakan lain kali." Diki melangkah pergi.
Sesaat sebelum Diki keluar pintu, Karina menarik tangan Diki. Diki berhenti saat merasakan dinginnya telapak tangannya.
"Lepaskan!" ucap Diki.
"Tidak," tukas gadis itu, "sikapmu aneh sekali, ada masalah apa? Kenapa tidak kau ceritakan saja padaku?"
"Lepaskan!" Diki melepas tangannya dengan paksa.
"Diki!" bentak Karina.
"Kenapa kau sangat ingin tahu? Ini urusanku, lagipula kau bisa bertanya kapanpun," balas Diki membentak.
"Bagaimana aku tidak ingin tahu, apa yang kau lihat kemarin aku juga melihatnya, tapi aku tidak tahu apa-apa. Dari kemarin kau menceritakan banyak hal yang tidak kuketahui sebelumnya, padahal kita sudah tinggal bersama selama tiga tahun, dan dari kecil sudah terbiasa bersama. Aku curiga semua ini mengarah ke keluarga kita. Tolong beritahu aku semua masalah ini, Diki!"
"Jangan menuduh seolah-olah aku tahu segalanya!" geram Diki. "Belum lagi kutukan di mata ini, apakah kau mengerti betapa gerah rasanya itu?"
Karina hanya terdiam.
"Katanya, kata ayahku, kakek memberikan kekuatan kutukan agar aku terlindungi, karena aku merupakan pewaris pimpinan keluarga Milfana. Yah, memang aku terlindungi, namun kutukan ini telah menguasaiku selama ini. Aku ingin menyudahi semua ini."
"Aku tidak menyinggung soal kutukan, aku tidak ada maksud untuk itu."
Untuk sesaat, suasana menjadi canggung. Di tengah-tengah keheningan ini, Diki meraih pintu dan lekas membukanya.
"Kuharap semuanya akan menjadi terang setelah kau kembali!" kata Karina sembari menatap sinis saudaranya itu.
"Ya, kuharap juga begitu," sahut saudaranya tanpa menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimensi 27 #1 END
FantasyDiki Milfana, Seorang swordsman sekaligus magician muda lulusan Akademi terkenal di kotanya, baru saja bergabung ke serikat militer Nevela. Di serikat itulah ia dan saudara sepupunya, Karina Milfana, mendapatkan misi khusus pertama mereka. Dalam per...