Chapter 7 : Mengundang Secara Kasar (Part 1)

58 7 6
                                    

Cahaya remang-remang bulan yang bersembunyi di balik awan mengantarkan Diki dan kawan-kawan ke blok A Distrik Aman. Perumahan di tempat itu sangat sedikit jika dibandingkan sebuah desa. Tidak ada Lika-liku dan gang di kiri kanan perumahan. Hanya ada perumahan yang saling berjejer di kedua sisi jalan, membentang sangat panjang sampai ke blok B.

Di belakang salah satu sisi tempat asrama yang ditinggali Erik, terdapat hutan yang terhampar luas. Hutan ini pula merupakan jalan pintas dari Han menuju Distrik Aman. Di situ lah mereka berkumpul saat ini.

Diki telah siap untuk bertindak, tapi sebelum itu—

"Jangan remehkan aku, Mira!" bisiknya.

"Kalau begitu," sanggah Mira, "berjuanglah!"

Dengan itu, lelaki berambut cokelat itu bergegas ke asrama. Sebelumnya, dia menanggalkan topeng dan jubahnya terlebih dahulu dan menitipkannya pada tiga rekannya.

Kini, posisinya dia membelakangi asrama. Diki berdiri seraya mengamati perumahan besar dihadapannya, walaupun lebih cocok disebut rumah susun. Jendela-jendela yang memancarkan cahaya tidak memberi banyak petunjuk tentang misi yang sedang dilaksanakannya. Ada beberapa jendela yang belum ditutup korden, yang menandakan pemilik kamarnya seorang laki-laki, biasanya. Tapi dia tidak tahu mana yang merupakan kamar Erik dan mana yang bukan.

Kenapa juga harus berpikir sampai sejauh itu? Diki mencoba menegur dirinya sendiri. Dia keluar dari hutan jarang itu lewat jalan setapak menuju ke jalan besar. Lalu berjalan ke arah pintu gerbang yang tidak dikunci. Dengan mudah dia membuka pintu itu dan mendapati dua orang petugas keamanan yang sedang bermain catur di teras.

"Heh, ada pendatang. Siapa kau, datang malam-malam begini? Aku belum pernah melihatmu disini!" solot pria berkumis tebal.

Dengan santainya Diki menyahut, "Aku temannya Erik, sama-sama dari Nevela. Aku ada urusan dengannya, tapi tidak tahu dimana letak kamarnya. Boleh Paman memberitahuku di mana?"

"Em, Erik Chain ya? Seingatku kamarnya ada di lantai satu, tapi aku tidak tahu nomer berapa," tukas pria satunya lagi yang bertubuh gempal.

"Tapi, kalau waktu begini biasanya mereka sedang main kartu di kantin," lanjutnya.

"Oh, begitu ya. Terima kasih, Paman."

Diki melewati lorong asrama dan mencari tempat yang dimaksud. Tidak sulit baginya untuk menemukan kantin tersebut. Benar apa yang dikatakan kedua penjaga tadi, para penghuni asrama biasanya berkumpul di kantin pada saat ini. Sekelompok remaja terlihat sedang bermain kartu di karpet halaman kantin. Langsung saja Diki mendekati kelompok itu.

"Maaf mengganggu sebentar," ujar Diki, "ada yang ingin kubicarakan dengan Erik."

Empat pemuda yang tengah bermain kartu itu mengalihkan pandangan ke pemuda yang tampak asing.

"Bocah Diki?" celetuk Erik. "Ada urusan apa denganku?"

"Ini urusan penting," tukas lelaki bermata hitam itu, "jadi mari kita bicarakan di luar!"

"Heh, beraninya kau mengganggu waktu santaiku. Awas saja kalau ternyata urusan ini tidak penting!" Erik mendengus kesal sembari bangkit.

Ternyata tidak sulit juga untuk mendapat timbal balik positif darinya. Diki telah salah mengira.

Lelaki dengan penutup mata itu mengambil pedangnya dan beranjak mendekati si tamu. Diki kemudian mengajaknya pergi dari tempat itu.

Sesampainya di lorong yang remang-remang, Diki langsung saja melontarkan maksudnya.

"Sebenarnya, ini tentang kutukan di mata kananmu," katanya dengan nada datar, tapi matanya melirik orang yang sedang berjalan mengikutinya dari belakang.

Dimensi 27 #1 ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang