Chapter 7 : Mengundang Secara Kasar (Part 3)

58 4 5
                                    

Arika terus berlari seraya mengamati sisi gelap kemana bocah itu melarikan diri. Sampai akhirnya pria itu menemukan bayangan mungil yang bergerak cepat. Bayangan itu pun perlahan-lahan menjadi jelas. Arika terus mengejar bocah pemanah yang menyerang temannya itu.

Di dalam kegelapan, bocah berjaket tebal bertudung dengan celana pendek selutut itu tengah bersusah payah memilih pijakan yang terdapat batu dan kerikil di mana-mana. Dia berlari sekencang mungkin. Apa daya dia hanya seorang anak kecil. Meskipun telah berusaha sekuat tenaga, kecepatannya jelas kalah dibandingkan dengan orang dewasa, apalagi pemakai obat-obatan. Pada akhirnya, dia tertangkap.

Arika langsung menutup mulut si bocah dan mengambil busur panahnya. Sontak anak kecil itu berontak. Pria berjubah itu pun mengambil sebuah botol kecil berisi cairan—Nampak seperti parfum, tetapi sebenarnya adalah obat bius. Arika mendekatkannya pada hidung bocah yang malang itu, sehingga dia tertidur lemas. Dia sempat terkejut ketika membuka tudung jaket bocah itu yang ternyata seorang gadis kecil.

"Sekarang aku harus segera kembali ke tempat Diki," gumamnya pelan.

Lelaki itu pun beranjak sambil membopong gadis kecil itu.

Sementara di tempat Diki bertarung. Mira mengincar Erik yang tengah beradu pedang dengan Diki. Erik langsung menghindar ketika tebasan pedang itu hampir mengenai pundaknya. Dengan instingnya, Erik menjauh mundur.

Diki dalam mode membunuh merasa terganggu karena ulah Mira yang tiba-tiba saja datang. Tanpa pertimbangan lebih lanjut, Lelaki itu malah menyerang Mira. Akibatnya, gadis itu harus menahan ayunan demi ayunan yang dilancarkan Diki.

"Sadarlah, Diki!" kata Mira sambil terus menangkis buaian pedang Diki.

"Menjauhlah dariku, Mira!" pekik Diki. "Aku tidak mau kau mengganggu."

Dalam kondisi seperti ini, Diki terus memaksa Mira menjauh dengan serangan seperti dia menyerang lawannya. Hasilnya, empat kali Mira terkena sayatan di lengan bawah dan atasnya. Karena terus ditekan dengan serangan yang bertubi-tubi, Mira terpaksa mundur. Dia melompat menjauh. Tidak ada satu menit ia menahan Diki.

Rupanya hal ini sudah diperkirakan oleh Erik. Ketika dirinya mundur tadi, Erik memikirkan kesempatan untuk memukul mundur pemuda itu.

Sesudah lengan kanan Diki melambaikan serangannya yang terakhir kepada Mira, maka akan sedikit melemas karena gaya yang ditimbulkan berada dalam angka rendah. Erik langsung mengayunkan pedangnya ke pedang lawannya sekeras mungkin. Diki sempat terjaga akan serangan tiba-tiba itu. Dia berusaha menangkisnya, tapi ayunan itu terlalu kuat, sehingga pedangnya terlempar jauh ke samping kirinya. Karena besarnya tekanan yang diterimanya pula Diki terpental sampai terjatuh.

"Diki!" teriak Mira khawatir.

"Heh, apa kau sudah menyerah?" tanya Erik dengan nada merendahkan, meskipun terengah-engah.

Tanpa menjawab, Diki mencoba berdiri kembali. Namun sebelum itu ,Erik telah mengacungkan pedangnya ke leher Diki.

"Kutegaskan sekali lagi, aku ini bukan pembunuh. Tetapi kalau kau bergerak, kepalamu akan terlepas dari tubuhmu. Kau juga diam, gadis yang disana!" ancam Erik.

"Nah, sekarang bisa jelaskan semuanya, Diki?" lanjutnya.

Diki terdiam seraya menatap beberapa tetesan darah yang terjatuh dari pedang di depannya. Matanya tajam dan berbinar-binar, berubah-ubah warnanya dengan sangat cepat; sesekali merah, lalu hitam, kemudian kembali merah lagi. Dia sedang mencoba mengendalikan emosinya.

"Jelaskan semuanya tentang kelompok gelap ini, Diki Milfana!" ulang Erik.

Tidak ada jawaban dari Diki. Suasana semakin menegang saat Diki malah meludahi pedang yang jelas sedang mengancam nyawanya. Erik dan Mira dibuat terkejut karenanya.

Dimensi 27 #1 ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang