Epilog

68 5 4
                                    

Sudah enam hari sejak tubuh Diki dirawat di dalam kristal penyembuh. Tubuhnya sudah lebih membaik. Di hari yang ke tujuh, Diki akhirnya dipindahkan ke kamar perawatan biasa. Hanya membutuhkan sedikit waktu untuknya agar dapat sadar kembali.

Sang Master dan Arika belum kunjung kembali ke markas. Tentunya, hal ini membuat Samuel dan kawan-kawan khawatir.

Di samping itu, walaupun informasi mengenai Diki dan Mira yang bergabung dengan party gelap—party yang sama dengan Arika yang merupakan seorang buronan—belum bocor ke publik, tetapi pihak pemerintah sudah mengetahuinya. Bukan hanya pemerintah, tapi teman-teman Diki yang bergabung dalam organisasi militer Nevela juga.

Meskipun begitu, sebagaian kecil orang membantah apa yang Evlaar Oktavian laporkan karena minimnya bukti.

Reaksi teman-teman Diki sangat beragam. Ada yang perhatian, terkejut, ataupun biasa saja.

Sedangkan Karina sejak tujuh hari yang lalu tidak pernah keluar dari markas Morgenzon. Wajahnya yang biasanya ceria menjadi murung. Ia senantiasa merawat dan menunggu Diki siuman.

Pada sore hari itu, Karina duduk di depan tempat Diki terbaring. Ia menyadari bahwa jari-jari tangan Diki mulai bergerak-gerak.

Tak lama kemudian, lelaki itu membuka matanya dan berusaha bangkit setengah badan. Tentu saja Karina terharu karenanya.

"Syukurlah, kau sudah sadar," kata Karina seraya membantu Diki. Matanya berair seolah ingin menangis.

Tetapi, Diki malah mengangkat kedua tangannya yang gemetaran hebat, bak orang yang sangat terguncang oleh bencana yang menimpanya. Lalu, dia menyandarkan tangan kanannya pada kepalanya. Tatapannya kosong memandang ke bawah serta matanya berkaca-kaca. Dia mulai merintih, diikuti tangisannya yang memilukan. Sungguh memancarkan penyesalan yang dalam.

"Diki, kenapa?" tanya Karina keheranan.

Diki tidak menjawab pertanyaannya dan malah berteriak seperti orang yang trauma.

"Aaarggh," teriaknya sangat keras. Orang-orang yang berada di lantai tiga pasti mendengar suaranya.

"Diki, tenanglah! Diki!" Karina segera mengguncang-guncangkan tubuh saudaranya itu, menggenggam tangannya yang bergetar, dan berusaha menenangkannya. Namun, Diki masih saja berteriak lantang layaknya orang kesetanan.

"Kumohon jangan begini, Diki!" Dengan cepat Karina memeluknya. Air mata tak dapat ia tahan akhirnya mengalir di pipinya.

Diki berhenti berteriak, meskipun masih terus menangis tersedu-sedu. Nampaknya dia belum mampu berbicara.

Wajahnya menunjukkan penyesalan bercampur kesedihan yang dalam. Sorot matanya sangat lemah, berbanding terbalik dengan biasanya.

"Ka... rina," katanya pada akhirnya, masih menangis.

"Ya. Ini aku Karina. Jadi tenanglah!" jawab  Karina juga dengan tangisan kecilnya.

"Berapa banyak...,"

"..."

"Berapa banyak orang yang mati di tanganku?"

"Tolong jangan menanyakan hal seperti itu!" Karina semakin banyak mengeluarkan air mata. Gadis itu juga semakin erat memeluknya.

"Kau masih mau menerimaku, meskipun aku adalah pembunuh?" tanya Diki masih dengan lengan yang gemetaran.

"Jangan bilang begitu," Karina mengelus-elus punggung Diki, berusaha menenangkannya.

Satu menit, dua menit, tiga menit. Waktu terus berlalu. Hanya suara tangis yang menahan keheningan sore itu.

"Maaf, maaf... maafkan aku, Karina. Aku sungguh minta maaf," ujar Diki. Akhirnya dia membalas pelukan itu.

"Untuk apa meminta maaf?"

"Aku minta maaf untuk segalanya." Diki tak kuasa menahan tangis.

"Dasar bodoh, Diki bodoh." Karina melepaskan pelukannya itu. Gadis itu memperlihatkan senyum manisnya kepada saudaranya itu.

"Aku tidak ingin hidup seperti itu lagi! Apa yang harus kulakukan?"

Karina menghapus air matanya sendiri, baru kemudian mengusap air mata saudaranya itu.

"Wajah mereka selalu membayang-bayangi mimpiku. Kenapa? Kenapa aku membunuh mereka!?"

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Mulai sekarang pandanglah ke depan. Jika ada beban yang menghalangi, curahkanlah semuanya padaku," senyum Karina.

"...Terima... kasih."

"Terima kasih kembali."

Tanpa diketahui kedua orang itu, ternyata seorang perempuan berambut hitam tengah duduk bersandar di balik pintu. Wajahnya memancarkan kesedihan sekaligus rasa syukur yang ikhlas.

"Akhirnya engkau terbebas dari kutukanmu," gumamnya cukup pelan.

      VOLUME 1 END

Dimensi 27 #1 ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang