"Iya?" jawabku ragu-ragu.
"Kamu ikut saya," ucapnya datar, terkesan memaksa.
Aku cukup kebingungan, namun melihat ekspresi Aster. Aku beranjak dari dudukku, dan mengekorinya.
"Kamu, yang ditunjuk jadi perwakilan sekolah untuk duta Sosial dan Budaya?" tanya Aster, nama dia Aster.
"Iya?" jawabanku malah terkesan seperti pertanyaan.
"Saya perwakilan putra yang ditunjuk sekolah."
Secara refleks pangkal alisku bertautan, hingga menimbulkan gelobang di jidatku.
"Iya?" jawabku asal dan tanpa sadar.
"Istirahat jam makan siang, nanti temui saya, di ruang OSIS . Saya harap tidak sulit bekerja sama dengan mu."
"Ya, I hope too."
Setelah mendengar perkataanku, Aster berlalu tanpa tersenyum. Tak ada kesan ramah sama sekali.
Namun, ada satu yang membuatku tertegun. Dia menepuk bahuku sebelum berlalu. Memang tidak berefek apa-apa untukku, tapi bukankah itu aneh.
Setelah itu aku memutuskan untuk ke kelas saja.
Koridor kelas sepuluh yang langsung menghadap ke taman dan lapangan. Di sana aku tak sengaja melihat Aster yang sedang memunguti sampah disalah satu sudut dekat kursi taman.
Mungkin itulah alasan mengapa dia di tunjuk menjadi duta, tapi mengapa Aster tidak menjadi duta kebersihan dan lingkungan saja?
Menurutku sikapnya tadi, sungguh bagus. Walaupun, terkesan sederhana, dan dia hanya melakukan hal kecil.
Tapi, tidak semua orang mau memungut sampah yang jelas ada di depan mata mereka. Mungkin ada, tapi mereka hanya akan memungut sampah tersebut bila diperintah, atau hanya melakukannya saat ada guru atau orang lain yang melihatnya, agar mendapatkan pujian ,mungkin(?). Bahkan, 'mereka' lah yang membuang sampah sembarangan.
Sedangkan, saat Aster melakukannya keadaan taman sekolah sedang sepi, mungkin yang melihatnya hanya diriku, ya... mungkin.