BAB 34 ㅡ Sang Dewi Anjani

1.3K 214 41
                                    

[Note: mungkin disini lebih banyak narasi dan bakalan ngebosenin. Maaf ya, soalnya saya juga bingung gimana cara bikin percakapannya pas di bagian ini]

***

1 Januari 2017, waktu setempat...

Tepat pukul 00.00, Mingyu terbangun karena suara ledakan-ledakan kembang api dan teriakan "HAPPY NEW YEAR!" di luar tenda. Cowok itu melihat ke sekeliling tetapi teman di tendanya nggak ada yang bangun. Karena penasaran, meski di luar angin masih bertiup kencang, Mingyu memberanikan diri untuk keluar. Ternyata asalnya suara-suara berisik itu dari ujung Plawangan Sembalun.

Mingyu bergidik karena udara di luar benera-benar dingin. Apalagi dengan hembusan angin yang cukup kencang. Karena tidak tahan dengan dinginnya udara ia memutuskan untuk masuk kembali ke tenda, lagipula Mingyu juga nggak begitu tertarik dengan perayaan tahun baru.

Yang ada dj pikirannya adalah bagaimana nanti dia sama temen-temennya bisa sampe di puncak Rinjani selamat sentosa?

Pukul 03.00 pagi mereka mulai mendaki dari Plawangan Sembalun menuju puncak. Carrier ditinggal di camp yang dijaga porter. Yakali bawa-bawa carrier ke atas, berat borr :(

Perbekalan yang mereka bawa cuma roti, gula jawa, madu dan doa. Saat itu angin tidak terlalu kuat berhembus, tapi kabut tebal membawa rintikan hujan kecil. Cahaya-cahaya dari senter dan head lamp terlihat berbaris sepanjang jalur naik menandakan antrian para pendaki menuju puncak. Terjal, berbatu, kerikil, pasir basah, akar-akar pohon, semak, pohon tumbang yang menghalangi jalan dihadapi.

Setelah sampai di titik atas bukit yang terjal tadi, kini medan yang harus mereka lalui untuk menuju puncak berupa hamparan pasir, tanah yang ditumbuhi edelweiss, kerikil, batu-batuan dan kanan-kiri langsung jurang yang menganga lebar.

Beruntung bagi mereka yang sudah summit dari jam 12 malam karena pasti sudah di puncak saat sunrise.

Mereka terus mendaki, dan sesekali beristirahat, menikmati pemandangan Segara Anak di sebelah kanan.

Bagi Mingyu medan yang paling berat adalah pasir kerikil yang jika kita melangkah satu kali akan turun lagi setengah bahkan 2 langkah ke bawah, medan ini sama seperti saat summit ke Semeru. Keadaan diperparah dengan hembusan angin yang semakin siang semakin kencang. Angin yang membuat Mingyu dan yang lainnya beristirahat berkali-kali karena membuat dingin dan lemas.

Hiperbolanya, seperti ada helikopter yang mendarat tak jauh dari tempat mereka berada. Anginnya membuai, bahkan si Chanwoo, Deka dan Hoshi sempat tidur 1-2 menit saat itu, dan tersentak bangun kembali setelah sadar. Para pendaki tentu tahu jika banyak diam tak bergerak, tubuh akan kaku dan membuat semakin lemas.

Saat istirahat mereka menghabiskan bekal roti yang tinggal sepotong dan madu serta gula jawa, makanan itu membantu sekali. Puncak Rinjani sudah terlihat dekat namun tak sampai-sampai yang ada di kepala Mingyu saat itu adalah wajah-wajah keluarga dan orang-orang terdekat, seperti menyemangati tubuh lemas dan sakit kepala yang tiba-tiba datang.

Mingyu meringis lalu memejamkan matanya untuk meredakan rasa sakit di kepalanya.

Matanya menerawang menembus awan di sekitar, dalam hati terus berdoa,

Gue harus sampe puncak dengan selamat. Nggak mungkin gue balik ke Jakarta terus bawa cerita gue gagal sampe puncak. Semeru aja bisa masa Rinjani nggak bisa? -mingyu

Tak lama setelah itu doanya didengar, deru angin kencang berkurang hembusannya, Mingyu melihat ke bagian kiri gunung, di atas Danau Segara Anak yang ditutupi kabut dan awan, ada pelangi kecil, seperti simbol harapan bagi mereka, semua pendaki.

Simple 🍃 Kim Mingyu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang