Siang itu terasa seperti malam. Ah tidak, bukan begitu. Aku rasa hanya aku saja yang merasakannya setelah menghabiskan jam tidur ku di dalam ruang operasi bersama scalpel serta alat-alat lainnya dibalik jubah biru dan maskernya. Operasi dimulai dari pukul setengah satu pagi hingga pukul lima, proses yang mendadak terasa sangat amat panjang.
Malam sebelum itu, aku rasa memang sungguh panjang tidak seperti malam-malam sebelumnya yang selalu terlewati dengan mudah. Bayang-bayang wajah perempuan dalam lift itu seolah berusaha keras membuat ku ikut mati. Aku tidak terlalu memusingkan hal itu awalnya, tapi tetap saja sosoknya terus melintas di pikiran ku.
Bagai dejavoo, kini aku merasa seseorang berdiri di depan pintu ruang kerja. Itu dia. Perempuan yang sempat ku usir dari dalam lift yang kemudian berakhir tragis. Jari-jari ku menyisir rambut dengan gusar. Aku masih ingin hidup tenang. Setidaknya walau terus diusik oleh bakteriofage Jennie itu seumur hidup asal jangan menjerumuskan ku pada hal berbau mistis seperti ini.
Secercah keputusasaan mulai memenuhi dada ku. Ini sudah keterlaluan, aku membuka laptop untuk mencoba kembali membaca artikel tentang operasi pencangkokkan jantung. Tapi tetap saja, hasilnya benar-benar nihil tanpa hasil. Mata ku mengeluarkan air, terasa panas tak tidur seharian. Aku kemudian melirik pada sudut layar laptop untuk melihat jam. Lantas menghela nafas berat ketika melihat kini jam menunjukkan pukul sepuluh lewat empatpuluh lima.
Knock.
Terdengar samar suara pintu terbuka. Oh, halusinasi ku begitu besar tentang perempuan itu. Sepertinya aku benar-benar butuh tidur sekarang meski hanya beberapa jam sebelum jam makan siang.
"J-jeo-jeogiyo."
"Damn it." Aku mendengus sambil menutup wajah menggunakan kedua tangan dan menyenderkan punggung di kursi. Ini sungguh keterlaluan.
"Nuguya?"
Emosi ku terpancing, dengan satu gerakan pasti aku jalan menuju pintu untuk mendapati perempuan itu pucat pasi. Penampilannya berbeda dengan terakhir kali kami bertemu. Ia menautkan alisnya dengan mata berlapis air. Aku memperlambat langkah untuk memastikan perempuan itu tidak berbahaya. Lantas, betapa sangat mengejutkannya saat tubuh mungil itu terhempas tak berdaya diatas lantai ruangan ku.
Bukankah dia mati?
Aku yang kelewat panik mencoba untuk meraih ponsel di meja kerja ku dekat pintu. Sebisa mungkin menelfon seseorang diluar sana.
"Yeoboseyo."
"..."
"Datang ke ruangan ku sekarang."
Tanpa mendengar jawaban dari seseorang diujung sana, aku langsung memutuskan sambungan telfon. Memberanikan diri untuk memeriksa keadaannya dengan tanpa sentuhan. Oh, tapi tetap saja tak bisa. Ia terlalu rendah, punggung ku sakit jika harus memeriksanya sambil membungkuk.
Kedua tangan ku tanpa diinginkan meraih tubuhnya yang sehampang kapas ke sofa. Bibirnya pucat, kulitnya yang tertimpa lampu putih di ruangan ku semakin terlihat putih pucat. Tak perlu menunggu lama, dokter Park datang dan kemudian melakukan pertolongan pertama.
"Lai guan lin, are you hear me?"
Seketika aku mengerjap berulang kali. Sadar dari bayang-bayang kelam siang tadi atas suara mengejutkan dari bagian depan ruangan. Aku mendapati sekarang semua orang menujukan pandangannya pada ku.
Sekarang ini, tepat pukul tiga sore aku sedang mengikuti rapat antar para dokter dengan tujuan menyusun strategi meraih penghargaan Rumah Sakit terbaik di Korea Selatan. Sayangnya, mata ku sangat sulit untuk diajak bekerja sama. Aku sangat mengantuk. Alhasil, akan sebagaimana besarnya suara orang di depan berujar sampai lelah tapi kepala ku akan tetap terasa benar-benar berat sebelum mereka memberikan ku toleransi untuk tidur beberapa jam setelah kejadian mengerikan siang tadi terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
C.O.L.D [Lai Guan Lin] REVISION
FanfictionDunia itu luas, dengan permukaan tak berujung. Namun disisi lain aku setuju pada ungkapan bahwa dunia itu sempit, suatu alasan utama yang dapat membuatku kembali bertemu dengannya. Dinginnya segala sesuatu yang berbau dengan dirinya selalu berhasil...