Pagi ini adalah pagi dimana Jimin harus datang ke tempat yang sangat dia ingin kunjungi. Entah kenapa, ia sangat ingin bertemu dengan temannya yang amat sangat dingin seperti es di antartika. Ternyata benar, kulitnya yang dingin kemarin merupakan tanda bahwa dirinya akan selalu dikenal sebagai orang pwling dingin sampai dengan nafas terakhirnya. Jimin yakin, wajahnya yang datar dan mata yang ditutup akan terlihat sombong dan sinis. Ya, pasti akan seperti itu. Konyol memang, ketika semua orsng akan menggunjing tentang betapa tampannya Guan Lin yang sok cool dan datar namun sekarang mereka semua tidak bisa menahn air mata karena wajah itu akan menjadi wajah terakhir sebelum hilang untuk selamanya dari permukaan bumi ini.
Jimin sudah memakai jas hitam rapih. Matanya yang sembab ia tutup dengan kacamata dan wajahnya ia tutup dengan masker. Sebelumnya Jimin akan mengunjungi Sejeong untuk bimbingan konseling selama 30 menit.
Jimin mengendarai mobilnya cepat. Seperti kaset yang diputar, ia kembali teringat tentang Guan Lin di mobilnya beberapa waktu sebelum Sejeong datang.
"Aku akan menjadi pemenangnya. Kau lihat mobil hitam itu?" Jimin menunjuk kemudian menyisir rmbutnya dari depan menggunakan jari-jari jenjangnya. "Dalam 10 detik sku akan berada di depannya."
"Berisik. Aku tidak bisa konsentrasi."
Jimin melirik tak acuh. Ia muak melihat Guan Lin yang selalu membuka buku dengan judul berbeda. Entah Liver Anatomy atau sejenisnya.
"Kau akan mati muda jika terus-terusan membaca buku itu."
"Aku akan mati jika sudah waktunya mati."
"Aish. Jinjja."
TINN!!!
Jimin kaget dan langsung menancap gas saat lampu lalu lintas berwarna hijau.
Sekali lagi ia menarik nafas. Membelah jalanan dan memarkirkan mobilnya di depan rumah Sejeong. Rumah itu sepi, Jimin menekan bel beberapa kali namun tidak ada yang menjawab atau membukakan pintu untuknya. Yang bisa Jimin dengar dari tempatnya berdiri hanyalah angin yang menyapu dedaunan. Cuitan burung yang terbang bebas di langit dan juga suara tangisan seseorang.
Kepala Jimin yang awalnya menunduk ke bawah langsung tersentak dan lari menuju garasi yang kebetulan sedikit terbuka. Jimin lari dan membuka garasi. Mendapati Sejeong yang duduk di tangga kecil batas antara garasi dan rumahnya. Duduk menutup wajah sambil menangis sesegukan. Jimin berusaha keras menahan air mata yang juga menelusuk keluar kantung matanya.
"Sejeong... " Jimin meraihnya dalam pelukan hangat. Mengelus puncak kepalanya pelan. Ia merasakan Sejeong membalas pelukannya, menangis lebih kencang dan Jimin lega.
"Menangislah. Jangan ditahan. I'm here."
Sejeong masih menangis dan Jimin sama sekali tidak bergerak. Membiarkan Sejeong menangis sepuasnya. Sekaligus mencoba untuk menggantikan posisi Guan Lin saat pria itu sudah tidak ada, meninggalkan seseorang dengan perasaan mendalam. Jimin merupakan teman Guan Lin paling gila, ia sadar itu, sangat. Tapi untuk keadaan yang seperti ini, ia tidak bisa membiarkan Sejeong begitu saja berlarut-larut atas kepergian Guan Lin. Apakah itu yang dilakukan seorang teman? Tentu tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
C.O.L.D [Lai Guan Lin] REVISION
FanfictionDunia itu luas, dengan permukaan tak berujung. Namun disisi lain aku setuju pada ungkapan bahwa dunia itu sempit, suatu alasan utama yang dapat membuatku kembali bertemu dengannya. Dinginnya segala sesuatu yang berbau dengan dirinya selalu berhasil...