"Guan Lin?!" Jennie memekik tidak percaya ketika melihat adiknya duduk sangat mengundang rasa prihatin di kursi lipat yang posisinya menghadap keluar apartment di balkon. Hal yang tidak biasa dari Guan Lin adalah ketika sosoknya duduk bersama 2 bungkus kotak rokok yang terbuka serta rambutnya yang berantakan. Jimin sama kagetnya melihat kondisi sahabatnya seperti itu.
"Wae?"
Jimin meraih dua kotak rokok itu dan membuangnya begitu saja terjun dari balkon Guan Lin ke area parkir lantai bawah. "What the fuck are you doing?!"
"Wae???" Guan Lin terdengar menaikkan intonasinya.
Keadaan begitu asing. Angin jadi terasa begitu mengganggu ketiganya di balkon yang cukup luas. Tapi Jennie merasa situasi itu seharusnya tidak ada. Ia melipat kedua tangan di depan dada.
"Kau seperti ini karena wanita itu? Ck, yang benar saja Lai Guan Lin!" Jennie ikut menaikkan nada bicaranya sambil memasang raut wajah menantang pada adiknya. "Jangan hancurkan kehidupan mu demi orang lain. Aku tidak akan tinggal diam. Kau keterlaluan. Kau... Bukan Guan Lin yang ku kenal."
"Jennie, kau sebaiknya pulang dan berbicara pada orang tuamu."
Jennie melirik Jimin sekilas. "Jaga dia untuk ku."
Tak lama setelah kepergian Jennie, Jimin ikut duduk disebelah Guan Lin. Ia menyenggol telapak tangan Guan Lin sampai sedikit terhempas. "Hey, apa yang terjadi?"
Guan Lin membuang muka. "Bukan urusan mu."
"Kau sakit, eoh? Kenapa telapak tanganmu terasa lebih dingin hari ini. Aku yakin kekasihmu tidak akan suka melihatnya."
Tidak ada respon
Guan Lin hanya menatap lurus pada awan yang seolah terus berjalan membentuk sosok yang sedang memenuhi otaknya saat ini. Guan Lin masih terus memandang pada awan itu jika perkataan Jimin tidak semenarik itu untuk didengar.
"Sejeong. Perempuan itukan?" Jimin terkekeh. "Sudah ku duga. Kau menghabiskan waktu disini seolah membodohi dirimu sendiri. Laki-laki harus penuh aksi, bukan belas kasih seperti kau sekarang ini. Kau laki-laki? Ck. Aku jadi meragukannya."
"Tau dari mana kalau dia dan aku---"
"Gadis itu dirawat karena terjadi sesuatu. Berhubungan dengan masa lalunya." Jimin tampak serius membicarakan Sejeong lebih jauh. Berniat sombong pada Guan Lin karena Sejeong adalah pasiennya waktu dulu dan bertemu dengannya di restaurant saat merencanakan ulang tahun Guan Lin. Jimin tidak tau kalau saat Sejeong sakit Guan Lin berada tidak lebih satu meter di dekatnya. "Kau harus menjenguknya di rumah. Aku tau alamatnya, kau mau?"
"Aku sudah pernah kesana jauh sebelum kau mendapatkan alamatnya Park Jimin."
"Wow! Kau sudah beraksi lebih cepat ternyata." Jimin merasa aneh karena ekspresi Guan Lin biasa saja. Hanya menarik satu sudut bibirnya lalu memandang awan yang berbentuk acak. "Tunggu apa lagi? Ayo datangi kekasihmu."
"Seseorang sudah bergerak lebih cepat dariku." Suaranya terdengar pasrah dan benar-benar tidak seperti Guan Lin yang Jimin kenal. "Dia mendapatkan Sejeong sebelum aku sadar Sejeong adalah orang yang sama di masa laluku."
Jimin hanya mengangguk seolah ikut merasakan apa yang Guan Lin rasa."By the way, aku mendapat alamat rumahnya dari seorang pria. Namanya Kai, senior Sejeong di tempatnya bekerja. Oh, Aku harus ke rumah Sejeong sekarang. Sampai jumpa Guan Lin Lin."
"Untuk apa kau kesana?!"
Sambil meraih parka dan weistbag di sofa, Jimin berujar santai. "Sejeong harus mendapat bimbingan konseling seminggu dua kali. Aku yang diberi kepercayaan oleh Byun Baekhyun. Kau lupa itu?"
^^^
"Halo Sejeong. Bagaimana kabar mu?" Jimin tersenyum lebar ketika masuk ke dalam kamar Sejeong dan mendapati ada beberapa orang disana termasuk Bora dan Kai.
Mereka yang ada di dalam kamar Sejeong tertegun melihat bagaimana sosok Jimin masuk dan menjadi perhatian penuh di situ.
Sementara itu Guan Lin lebih memilih menemui ibu Sejeong terlebih dahulu di ruang tamu sebelum ikut melihat kondisi terkini Sejeong. Membicarakan sesuatu mengenai masa lalu yang pernah terjadi.
"Eommonim. Jeongmal mianhaeyo. Kurasa ini semua terjadi karena aku."
"Anieyo. Kau justru sudah bekerja banyak untuk Sejeong." Ibu Sejeong menyentuh telapak tangan Guan Lin dan itu membuat Guan Lin menegang. Ia mendadak kaku.
"Se-sebenarnya dulu saat aku memiliki apartment yang berdekatan dengan Sejeong, aku telat menyelamatkannya." Guan Lin terlihat menyesal dan sedikit terusik.
"Menyelamatkannya?" Ibu Sejeong penasaran dengan apa yang dibicarakan Guan Lin.
Guan Lin menceritakannya dari awal dimana ia keluar dari kamar apartmentnya sampai pada dirinya yang mungkin saja membuat Sejeong sakit lagi sampai detik ini karena teringat masa lalunya yang tak sengaja terbuka waktu itu. Dengan berat hati Guan Lin mencoba untuk menjelaskan. Kala mereka berbincang, tak mereka sadari seseorang telah menggeram kesal dengan kepalan tangan kuat sampai memutih.
"I see you Guan Lin."
^^^
"Ya! Kau membuntuti ku?! Pergi dari sini!" Bora bereaksi ganas melihat Jimin. Berbeda dengan beberapa perempuan disitu yang malah terpana. Bora meraih payung kecil di nakas dan memukul Jimin sampai kesakitan. Sejeong hanya menghela nafas pelan. Ia bertanya dalam hati kemana sosok Guan Lin yang kemarin-kemarin memberinya kejutan dari masa lalu.
"Hajima! Appoyo! Ya! Hajimayo jaebal!" Jimin mengaduh seraya mencoba menangkap pukulan Bora dan ternyata berhasil. Tangannya menangkap payung lalu dengan sangat cepat Jimin menarik payung yang masih digenggam erat oleh Bora sampai wajaah Bora kini berada dekat dengan wajaah Jimin.
Jimin tersenyum manis. "Bora-ssi. Aku adalah seorang psikolog dan aku datang kesini untuk mengisi jadwalku. Sekarang waktunya bimbingan konseling untuk Sejeong. Kau mengerti?"
Heejung, Junseo, Jennifer dan Eunbi yang berada disitu mendelik iri pada Bora selaku seniornya. Mereka memilih untuk mengajak Sejeong bicara bersana Kai.
"Kau ingin minum? Biar aku ambilkan untukmu." Kai mengusap ujung rambut Sejeong dan pergi untuk mengambil minum di dapur.
Mereka para teman dan senior Sejeong mencoba mengajak Sejeong bicara. Gadis yang biasa bawel dan ceria itu kini jadi pendiam. Hal ini membuat Kai bersumpah jika saja ia bertemu dengan pelaku yang membuat Sejeong seperti ini, ia tak akan berpikir dua kali untuk menghabisinya dengan kedua tangannya.
"Itu semua salah ku. Sejeong sakit karena aku yang lambat. Seharusnya Sejeong tidak berakhir seperti ini jik saja aku bergerak lebih cepat dan berhati-hati dalam berbicara."
Kai menghantikan langkah menuju dapur. Ia jalan menuju lemari kaca besar untuk melihat siapa yang berbicara di ruang tamu. Ekspresinya sedikit terkejut melihat pria yang berbicara dengan Ibu Sejeong adalah pria yang cukup dikenalinya.
"Kurang ajar." gumam Kai.
KAMU SEDANG MEMBACA
C.O.L.D [Lai Guan Lin] REVISION
FanfictionDunia itu luas, dengan permukaan tak berujung. Namun disisi lain aku setuju pada ungkapan bahwa dunia itu sempit, suatu alasan utama yang dapat membuatku kembali bertemu dengannya. Dinginnya segala sesuatu yang berbau dengan dirinya selalu berhasil...