Mereka, Kai, Bora dan kawan-kawan memilih untuk pamit lebih dulu dari Jimin dan Guan Lin. Mereka tersenyum sopan pada Guan Lin dan Jimin di ruang tamu kecuali Kai. Pria itu berdiri dengan wajah jengah dan dingin. Ketika semua keluar dari dalam rumah, Kai menatap tajam Guan Lin sambil bergumam kecil.
"Fuck yourself Guan Lin."
Jimin terbelalak mendengarnya meski samar. Sebelum Kai menjauh, Guan Lin hanya bisa tersenyum miring percaya diri. Tak peduli Jimin yang sudah memberi kode menyenggol tangan Guan Lin.
"I cant fuck myself, Mr. Kim. So sorry."
Detik berikutnya Guan Lin memutar balik tubuhnya hendak menuju kamar Sejeong, namun nampaknya semesta tidak mengizinkan Guan Lin untuk bertemu lagi dengan Sejeong.
^^^
"Bagaimana keadaan mu? Apa Jimin-uisa baik?" Ibu membuka jendela sedikit dan mematikan AC kamar Sejeong. "Guan Lin datang bersama Jimin-uisa hari ini."
Sejeong menengok pada Ibunya dengan ekspresi tertarik tanpa berbicara apa-apa. Tapi perlu diketahui, seorang ibu pasti mengerti bahasa tubuh dan ekspresi anaknya meski tanpa suara sekalipun.
"Dia sedang di depan bersama Jimin-uisa untuk memberi salam pada rekan-rekan kerja mu."
Sejeong menitikkan air mata. Ia ingin bertemu Guan Lin. Ini bukan waktunya untuk berlagak kuat. Namun juga bukan waktu untuk memulai adegan romansa. Sejeong menyukai Guan Lin sampai detik ini, tapi apa yang telah dilakukannya (membuka luka lama) membuat Sejeong harus terpukul lagi seperti ini. Dirinya sekarang berada di atas kebimbangan.
Haruskah ia senang bertemu Guan Lin?
Atau
Merasa sakit kembali seolah gambaran masa lalunya diputar paksa di depan mata?
"Eomma. Guan Lin akan kesini?"
DUARR!!!
"Astaga!!!" ibu Sejeong terperenjat dan Sejeong terkesiap seketika dengan dentuman kencang itu. "Apa yang terjadi?" gumam ibu Sejeong langsung sedikit lari ke ruang tengah.
Dengan sangat kesulitan Sejeong berusaha untuk bangkit dari posisi tidurnya untuk menghampiri ruang depan. Ia sudah dalam posisi duduk hendak memasang sandal hello kittynya ketika tiba-tiba tangannya menyenggol gelas kaca dan jatuh ke permukaan lantai sampai kacanya berceceran ke kakinya. Ia meringis kesakitan melihat darah yang mulai merembes keluar permukaan kulit kakinya.
Belum juga ia jalan, Jimin datang ke kamarnya dengan wajah pucat yang ia sembunyikan dalam senyuman kikuk terpaksa. Jimin menutup pintu dan menguncinya.
"Se-Sejeong. Aku punya metode baru relaksasi. Sekarang--- ommo!! Kau kenapa? Apa ini sakit?" Jimin membungkuk meraih kaki kanan Sejeong. Ia kebetulan membawa waistbag berisi p3k dan disimpan di sofa kecil kamar Sejeong. "Akan aku obati."
"Nde.." Sejeong mau tak mau harus kembali ke atas ranjang dan melihat gerak gerik Jimin yang terkesan dipenuhi getaran kecil. Wajahnya tidak sepucat saat datang namun jelas menampakkan suatu rasa khawatir dan juga bingung.
Jimin duduk di sisi ranjang sambil membersihkan pecahan kecil serta darah dari kulit Sejeong. Sejeong mempertanyakan kenapa tingkah lakunya berubah drastis seperti itu. Dengan nada datar dan suara yang super kecil Sejeong bertanya.
"Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"N-ne? Aniyo. Aniyo. Tidak ada apa-apa." Jimin menutup luka Sejeong yang cukup dalam dengan plester dan mengeluarkan ponselnya keluar. "Kau butuh media relaksasi. Dengarkan lagu yang membuat mu nyaman. Aku suka lagu Dean. Suaranya membuat ku tenang. Mau dengar?"
Sejeong mengangguk. Jimin memasangkan earphone di kedua telinga Sejeong dan mulai memutar lagu.
Dean - D (half moon)
Gadis itu mendengarkan sambil memainkan jarinya diatas selimut tebal. Wajahnya terlihat murung dan sesekali melihat ke arah pintu kamar.
"Sejeong. Kau sangat menyukai Guan Lin?"
Kali ini, Sejeong menampilkan senyumannya meski terkesan asing bagi Jimin. "Ini sungguh memalukan. Aku menyukainya namun membencinya."
"Waeyo?" Jimin menopang dagunya dengan kedua tangan yang bertumpu di bagian sisi kiri ranjang Sejeong.
"Aku menyukainya tanpa alasan. Namun aku membencinya karena satu alasan." Sejeong melepas sebelah earphonenya. "Dia membuka kembali luka lama yang nyaris tertutup secara permanen."
Jimin mengusap tangan Sejeong seolah memberinya semangat dan dukungan.
"Tapi aku tidak bisa bohong kalau sekarang aku merindukannya. Jack, aku akan memanggilnya seperti itu sekarang seperti permintaannya."
Jimin memalingkan wajah ke arah jendela dan mengusap cairan bening di sudut matanya.
"Oh iya, eomma bilang Guan Lin datang. Kemana dia sekarang? Ku kira dia akan memberikan selamat tinggal pada Kai sunbae dan yang lain."
"Dia sedang tidur. Dia kelelahan karena semalaman bahkan sampai tadi siang memikirkan seseorang."
Sejeong mengangguk paham. "Ah~~." Ia sebenarnya sedikit penasaran dan cemburu siapa yang bisa memenuhi pikiran pria itu sampai membuat pria itu kelelahan dan butuh tambahan waktu tidur.
Hening selama beberapa menit. Semuanya terjadi seolah telah disetting sedemikian rupa. Jimin merasa Sejeong jadi lebih sering membicarakan Guan Lin sore ini. Jimin mencoba untuk kuat mendengar celotehan Sejeong tentang Guan Lin yang katanya sudah menyelamatkan Sejeong remaja dari pencuri gila di apartment saudaranya dulu. Atau tentang Sejeong yang menyukai Guan Lin tiba-tiba saat melihat Guan Lin di restaurant tepat saat Guan Lin menempelkan plester di dahinya yang berdarah.
"By the way, aku sudah tau kalau kau menyukai Bora sunbae."
"Eh?!" Jimin tersadar. Suaranya sedikit tersendat.
"Bukankah bagus? Kita bisa makan malam bersama dilain waktu. Kau ajak Guan Lin dan aku ajak Bora sunbae."
Ada seperti jarum yang menancap di ulu hati Jimin. Ia tak mengira Sejeong akan sesuka itu pada rekannya yang sangat dingin itu. Ya, Guan Lin selalu identik dengan kata dingin. Es. Antartika. Apapun itu.
"Kau lebih baik tidur. Aku akan berbicara dengan eomma mu."
"Ne, gamsahamnida uisa-nim."
Jimin tersenyum tipis. "Panggil aku Jimin. Seperti kau memanggil Guan Lin."
"Ne." Sejeong tersenyum.
Jimin sangat menyayangkan hari ini. Sejeong tampak lebih baik ketika nama Guan Lin terselip di beberapa pecakapan kecil mereka. Namanya membawa semangat untuk Sejeong. Namun, sampai waktu yang tidak bisa ditentukan, Jimin berharap bahwa kenyataannya nanti ia tidak ingin jika orang itu tega hanya meninggalkan namanya saja diantara para teman-temannya. Jimin tidak siap ditinggal pergi Lai Guan Lin si dingin dari Antartika.
KAMU SEDANG MEMBACA
C.O.L.D [Lai Guan Lin] REVISION
FanfictionDunia itu luas, dengan permukaan tak berujung. Namun disisi lain aku setuju pada ungkapan bahwa dunia itu sempit, suatu alasan utama yang dapat membuatku kembali bertemu dengannya. Dinginnya segala sesuatu yang berbau dengan dirinya selalu berhasil...