Malam itu adalah kali pertama Guan Lin pulang dengan keadaan yang berantakan. Ya, Jennie bertemu dengan Guan Lin di jalan menuju rumah sakit yang alamatnya dikirimkan Guan Lin. Tidak terlalu jauh dari tempat Guan Lin bekerja sebagai seorang dokter. Ketika itu Guan Lin benar-benar mabuk sepertinya sampai jalannya sempoyongan nyaris menerobos lampu merah pejalan kaki jika Jennie tidak menariknya dengan brutal.
"Ya!!!" Jennie berteriak otomatis ketika pintu apartment Guan Lin terbuka lebar. Karena Guan Lin tiba-tiba terjatuh tidak sadarkan diri. "Pabboya! Wake up!!"
Guan Lin tidak bergeming, ia tetap menutup matanya yang sedikit merah. Jennie berfirasat buruk akan hal itu.
Dengan susah payah akhirnya Guan Lin berhasil diseret ke karpet berbulu hangat dekat sofa. Tubuhnya sedikit bau alkohol dan rokok. Jennie yang sudah tinggal belasan atau bahkan puluh tahun tentu mengenal kepribadian Guan Lin dengan baik. Pria itu type orang yang akan menghabiskan waktunya dalam kamar yang hening sambil membaca buku. Pria yang melampiaskan kekesalannya dengan pergi ke rumah sakit serta diskusi dengan temannya, Park Jimin sampai tidak pulang ke rumah.
Setelah lelah menyeret Guan Lin dan berpikir keras, Jennie terpaku pada lukisan besar yang ada di dekat kaca besar. Lukisan itu menunjukkan wajah seorang perempuan. Jennie pernah melihat orang itu sepertinya, tapi sudah terduga kalau Jennie tidak tau namanya.
Ting.
Suara tanda pintu apartment terbuka mengagetkan Jennie. Ia langsung berdiri menghampiri seseorang disana.
Ternyata si bodoh Jimin.
"Ya! Kenapa kau tidak pernah memberitahu kalau Guan Lin memiliki apartment pribadi sebagus ini?!" Jennie dengan mudahnya menjitak kepala Jimin. Reflex. Jika Jennie sadar pun ia tidak akan bisa atau tega memukul pria yang ia kagumi itu.
"Aish. Biarkan aku masuk, Jennie yang manis." Jimin melewati Jennie begitu saja dan melihat kondisi Guan Lin. Jennie mengekor dibelakangnya.
"Jimin, apa kau tau siapa dia?" Jari telunjuk Jennie mengarah pada lukisan yang sempat membuatnya bingung setengah mati itu.
Jimin menengok dan mengernyit. "Oh? Sejak kapan ada lukisan itu di sini?"
"Aish. Aku bertanya kenapa kau balik bertanya?"
Jimin belagak seperti berpikir keras mencermati lukisan mendetail sambil mengetuk dagu dengan jari telunjuk. "Aku rasa aku pernah bertemu dengannya. Dimana ya? Oh, sial! Aku mati penasaran!"
Jennie diam.
"Kau ingat tidak saat kita bertemu di restaurant!?"
"Aniyo." Jennie menggeleng polos.
"Ternyata kau yang bodoh diantara kita bertiga!" Jimin melirik sinis. "Kau ingat saat kau mengajak ku bertemu di restaurant untuk mengingatkan ulang tahun Guan Lin pada ku?"
"Ommo!"
"Wae?"
"Kau benar! Whoa... ternyata si dingin Guan Lin bisa suka pada seseorang juga. Dae.bak." Jennie memberikan ekspresi berlebihan pada Jimin.
Mereka pun tidak melanjutkan percakapan karena melihat pergerakan Guan Lin di atas karpet memukul kepalanya sambil menggeleng pelan. Jennie mengerti, efek dari alkohol akan membuat Guan Lin seperti itu. Pusing dan mual. Lagi pula mana bisa orang bernama Guan Lin rela membuang waktunya untuk meminum alkohol? Untuk makan saja kadang ia lupa saking rajinnya membaca buku.
"Guan Lin, kau harus istirahat sebentar. Aku akan membuatkan makanan pereda mabuk. Aish jinjja, kau mau kemana?!" Jennie menggertakkan giginya mengikuti langkah Guan Lin yang lunglai.
KAMU SEDANG MEMBACA
C.O.L.D [Lai Guan Lin] REVISION
FanfictionDunia itu luas, dengan permukaan tak berujung. Namun disisi lain aku setuju pada ungkapan bahwa dunia itu sempit, suatu alasan utama yang dapat membuatku kembali bertemu dengannya. Dinginnya segala sesuatu yang berbau dengan dirinya selalu berhasil...