Hari ini Jennie sengaja untuk pergi dari rumah lebih awal. Mengawali Guan Lin yang biasanya selalu menjadi orang pertama yang pergi dari rumah. Jennie memang orang yang tidak sempurna seperti Guan Lin yang kata kebanyakan orang sebagai laki-laki yang menuju kesempurnaan. Dia terlalu perfeksionis, terlalu disiplin, terlalu mendetail sampai membuat Jennie kadang berprasangka buruk terhadap otak adiknya yang nyaris seperti robot buatan Jepang.
Ibu sendiri pernah memutar otak untuk kembali mengingat-ngingat apa kesalahan yang pernah beliau lakukan sampai menyebabkan anaknya menjadi seperti manusia yang terprogram.
Pada suatu hari ketika Guan Lin hendak melakukan ujian kelulusan di SMA, Jennie menyembunyikan soal latihan Guan Lin dibawah karpet bulu sudut ruang kamar Guan Lin. Sayangnya, Guan Lin sempat melihat Jennie lari keluar dari kamar Guan Lin sehingga perempuan itu jadi salah satu tersangka utama dalam kejahatan tersebut. Guan Lin tidak langsung menegur, justru saat itu ia sedang disuru ibu memberikan teh hangat disertai cemilan ke kamar Jennie. Amarah Guan Lin mulai tercium ketika malam tiba. Ia mengacak-acak seluruh meja belajar dan tasnya. Tak ditemukan sama sekali. Mata Guan Lin memerah marah, ia teringat ketika sosok Jennie melesat dari kamarnya dan ketika itu juga pintu Jennie di dobrak, mereka cekcok panjang lebar sebab Jennie lupa menyembunyikannya dimana dan akhirnya buku itu ditemukan ibu dua hari setelahnya. Mulai saat itu, hubungan kakak-beradik tersebut berantakan. Tak saling akur. Sampai detik ini.
"Selamat pagi." Seorang pelayan di sebuah restaurant datang membawa buku menu bersampul kulit asli. Namanya Sejeong. Jennie membalas tersenyum sembari menerima buku itu sebelum memilih makanan.
"Aku ingin Stroop wafel satu, Churros satu dan juga hot chocolate satu." Matanya mengarah pada sorot pelayan tersebut yang mengikuti arah pandang Jennie semula pada buku menu.
"Tolong tunggu sebentar." Pelayan itu berbalik dan jalan menaruh buku menu di atas meja kasir yang terbuat dari marmer tanpa menyimpan catatan pesanan Jennie dan juga pelayan itu terlihat memakai celemek sebelum masuk ke dalam ruang dimana chef berkumpul dalam satu tempat.
Sementara itu, Jennie segera membuka ponsel untuk menghubungi rekan seperjuangannya ketika kuliah dulu. Hari ini Jennie meminta bantuannya untuk memilih kado spesial yang cocok dihari ulang tahun Guan Lin. Dia pria, tentu saja dan begitu familiar.
"Kau dimana, eoh?"
"..."
"Oh shit." Jennie mendengus pada diri sendiri setelah dikerjai oleh pria dibalik telfon. Oh tidak, pria itu sebenarnya duduk di meja belakang Jennie. "Park Jimin, come here!"
Jimin tertawa konyol sampai matanya menyipit seperti garis. Ia duduk dihadapan Jennie dengan tegap. Wajahnya terlihat mengantuk, rambutnya sedikit berantakan dan bajunya sedikit kusut.
Meski begitu, Jennie akan menjadi orang termunafik di dunia jika berkata Jimin jelek. Jennie akan selalu mengatakan bahwa Jimin pria tertampan dan mulia karena hatinya tak ingin berkata lain. Jennie sudah melihat foto Jimin yang tertidur dengan mulut sedikit terbuka, foto saat Jimin terlihat bodoh, foto saat Jimin memakai pakaian wanita karena kalah taruhan, pokoknya Jennie sudah melihat foto-foto aib Jimin dari box kecil di kamar Guan Lin. Percaya atau tidak, Jennie akan tetap berkata Jimin pria paling tampan setelah Ayahnya.
"Tumben kau cantik, Noona." Jimin membuka suara.
"Sialan."
"Jadi, ada apa kau memanggil ku kesini? Apa kau akan memberi ku kepastian dari hubungan kita? Ouww." Jimin berhasil membuat Jennie blushing. Namun detik berikutnya Jennie memukul kepala Jimin.
Pesanan Jennie datang diantar oleh orang yang berbeda. Ia terlihat manis dengan kulit coklat dan rambut hitamnya.
"Bora. Nama yang manis."
"Ya! Bisakah kau diam? Dasar gila!"
"Ne, noona. Mianhaeyo."
Pelayan itu pergi tak acuh pada Jimin lalu Jennie menatap Jimin dengan tatapan sedikit menyorot kecewa. Jimin asik pada Churros dan saus coklat miliknya.
"Antar aku membeli kado untuk Jack."
Spontan Jimin terbatuk-batuk sampai churros coklatnya muncrat serupa shower. "Jack? Guan Lin?"
Jennie mengangguk mantap tapi matanya terlihat sedikit rasa sesal.
"Hari ini? Kau bercanda? Oh, sial. Aku melupakannya." Jimin mencubit ujung hidungnya cepat. "Baiklah. Ayo."
[][][][][]
Guan Lin datang ke rumah sakit ketika keadaan tidak terlalu ramai. Mayoritas dari pegawai di rumah sakit ini diwajibkan pergi ke sebuah tempat ruangan besar untuk beribadah bersama. Kaki jenjang Guan Lin bergerak semampai menguras jarak. Wajahnya terlalu cerah untuk ukuran pria di pagi hari. Matanya menangkap beberapa orang yang tersenyum ramah, tersenyum malu dan terkikuk kaku. Tubuhnya berhenti dalam ruangan penuh orang berjubah putih. Dengan khusyuk Guan Lin terdiam di tempat pojok ruangan. Memohon singkat.
Please come back. Say something about us. About our memories. Stop thinking about stupid things. Call out my name as your bestie, Jack.
"Pfftt---" suara familiar yang terdengar sedikit tidak manusiawi itu menghentikan doa Guan Lin. Perlahan kelopak matanya terbuka. Iris yang hitam menghujam mata seseorang di ujung pintu masuk.
Park Jimin. Pria itu menahan tawa di ujung pintu dengan rambut acak dan jubah kusut. Sangat tidak pantas. Jauh dari kata perfeksionis.
Guan Lin terpaksa memaksakan diri untuk keluar dan belajar tentang Liver Anatomy yang belum dituntaskan daripada melayani dokter psikolog yang mulai gila.
"Pikyeo. Park Jimin."
"Wajah menawan mu begitu konyol dipagi buta. Aisb jinjja." Jimin kembali tertawa. Menyusuri jalan dibelakang tubuh Guan Lin menuju cafe rumah sakit.
Disana Guan Lin dan Jimin memesan masing-masing satu Croissant dan teh organik serta sandwich tuna.
"Happy Birthday." Suara perempuan berkumandang dalam gendang telinga Guan Lin. Wajahnya otomatis menengok ke samping untuk melihat siapa orang itu. "Dongsaeng ku yang paling cantik sudah mulai besar."
Guan Lin harus menelan pil pahit karena perempuan yang mengucapkan kalimat itu bukan dari orang yang ia harapkan. Wajah Guan Lin yang kembali pada sandwich tuna membuat Jimin sadar bahwa Guan Lin bukan orang tanpa perasaan dan tanpa ekspresi. Hatinya bisa saja terlihat lemah di waktu tertentu, ekspresinya bisa saja terlihat jelas menerangkan betapa besar perasaannya memberi pengaruh.
"Waeyo?" Jimin bertanya pura-pura tak tahu. "Kau suka pada perempuan itu?"
"Aniyo. Hanya saja, ini hari terpenting. Mungkin kau juga tak akan tau. Semua orang tidak pernah tau."
"Aku tau."
Kali ini, tak hanya Guan Lin yang menengok. Jimin juga ikut menengok dengan kecepatan serupa flash sampai otot lehernya terqsa sakit.
"Happy Born day, my lovely little brother!" Jennie datang membawa Cheese Cake berbalut strawberry dengan madu yang terlihat menggugah selera. Perhatian publik pun serentak terarah pada Guan Lin. Dokter cerdas yang begitu tampan.
Jennie tersenyum bahagia dengan rentetan gigi yang terlihat. Jimin juga ikut tersenyum sombong karena bagaimana pun juga Jimin telah membantu Jennie dalam memilih hadiah.
"Make your wish come true. God bless you. Just believe it. Kau perlu menyampaikan harapan mu sebelum api pada lilin mati." Jennie berujar. Matanya begitu bening menyentuh iris Guan Lin sampai berhasil membuat Guan Lin menurut untuk yang kesekian kalinya.
She will come back to me. I believe it.
×××
https://my.w.tt/oCFlkpEuC5
KAMU SEDANG MEMBACA
C.O.L.D [Lai Guan Lin] REVISION
FanfictionDunia itu luas, dengan permukaan tak berujung. Namun disisi lain aku setuju pada ungkapan bahwa dunia itu sempit, suatu alasan utama yang dapat membuatku kembali bertemu dengannya. Dinginnya segala sesuatu yang berbau dengan dirinya selalu berhasil...