22

69 1 0
                                    

  "Nggak semua orang yang minim ekspresi nggak bisa ngelakuin hal yang orang normal lakuin."

~Rangga Muhammad S

¤¤¤

   Rumah sakit Jiwa Hasanudin. Terlihat beberapa orang yang lewat dibeberapa koridor dirumah sakit itu. Terlihat dua orang remaja yang berjalan kearah sebuah ruangan yang berada diujung koridor.

   Didalam ruangan itu terlihat seorang laki-laki yang sudah berumur memakai jas berwarna putih dan tak luput disampingnya ada seorang perawat yang setia berdiri disampingnya. Dan terlihat juga seorang perempuan dengan pandangan kosong menatap keluar jendela dan ia duduk diatas bangkar miliknya.

   Terlihat dokter dan perawat itu sedang membujuknya untuk makan. Namun, tak ada reaksinya sama sekali. Ia masih diam dan memandang keluar jendela.

   "Bagaimana kondisinya, dok?" Tanya remaja lelaki itu.
   "Masih sama seperti tahun lalu." Rangga membuang nafas lelah.
   "Biar saya saja yang membujuknya untuk makan, dok." Lalu, segera dokter itu memberikan piring itu.
   "Baiklah. Kalau begitu saya mau mengecek kondisi pasien yang lain." Rangga hanya bisa mengangguk.

   Via yang sedari tadi hanya bisa diam dan memandangi perempuan itu. Wajahnya sungguh cantik pantas saja jika Rangga bisa menaruh hati padanya. Rambutnya yang panjang, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang tipis.

   Via masih diam ditempat saat ia melihat Rangga membujuk Aya dengan cara apapun agar Aya mau membuka mulutnya untuk makan.

   "Hai." Aya masih diam memandang keluar jendela.
   "Makan." Ujar Rangga sambil menyodorkan piring ke Aya.
   "Gue nyerah." Ucap Rangga sambil menjauh dari bangkar dan berjalan mendekati Via yang masih diam.

   Rangga menaruh piring itu diatas lantai dan dia duduk dipojok ruangan dan menenggelamkan wajahnya ditekukan kakinya. Ia menangis dalam diam. Lalu, Via yang mulai sadar dari lamunannya ia melihat Rangga yang duduk dibawah. Ia seketika sadar.

   Ternyata orang yang minim ekspresi juga bisa nangis ya, Ga. Gue baru tau. Ucap Via dalam hati.

   Seseorang yang mendengar kata hati Via mulai mengulum senyumnya disana. Ia sadar bahwa ia berubah terlalu jauh. Ia terlalu tertutup kepada semua orang. Apalagi orang tuanya maupun kembarannya. Namun, kenapa ia dengan lantang menceritakan semua rahasianya kepada perempuan yang satu ini. Aneh.

   Via perlahan mulai jongkok dan mengambil piring itu lalu segera ia berjalan mendekati perempuan yang masih setia melihat kearah luar jendela. Via tak tau ia menunggu siapa disana. Yang pasti perempuan disebelahnya ini sangat terpukul. Via tau itu.

   "Kehidupan itu berputar bak roda. Kadang ia diatas dan kadang ia dibawah." Ucap Via sambil mengikuti arah pandangan Aya.
   "Kadang kala kalo kita diatas kita lupa sama yang namanya dunia dan tuhan. Sementara, kalo kita ada dibawah tuhan yang selalu dipojokkan. Kita selalu meminta dan memohon kepada tuhan supaya rencana yang kita susun lebih indah dari rencana-Nya. Tapi, kita nggak seutuhnya ngerubah nasib kita." Via mengambil nafas bentar.
   "Gue. Natasya Olivia Vanangel Alvaro. Sosok cewek yang dulunya punya beribu kebahagiaan karna hadirnya sosok laki-laki yang bisa disebut sebagai sahabat gue sejak kecil. Kita main bareng sampek pada suatu hari dia ninggalin gue sendirian disini. Gue yang waktu itu masih kecil gue nggak ngerti apa-apa. Gue hanya diem." Via mengambil nafas lagi.
   "10 tahun dia hilang nggak ada kabar. Dan lo tau kemarin gue ketemu dia disebuah kafe diatas tebing. Dia berubah. Dia hancur sejadi-jadinya. Gue ngerasa gagal jadi sahabat. Dan kalo bisa gue minta sama lo. Tolong, lo sembuh dan buat Rangga tersenyum kembali. Karna hanya lo sumber kebahagiaannya. Gue harap lo ngerti. Meski lo dari tadi nggak nanggepin sepenuhnya omongan gue. Tapi, seenggaknya lo denger." Via mulai menaruh piring itu diatas tangan Aya.

   Tanpa siapapun duga, Aya menggenggam tepi piring itu. Ia mulai tertunduk dan terlihat sebuah cairan bening meluncur bebas membasahi pipinya. Ia menangis. Aya menoleh ke arah Via.

   Sepertinya ekspetasi tidak sesuai dengan realita. Via pikir Aya bakal menatap tajam ke arahnya. Namun, Aya malah menaruh piring itu diatas bankarnya dan memeluk Via sangat erat. Ternyata berhasil. Ucapan Via yang bisa dikatakan curhat tadi menyentuh relung hati Aya yang paling dalam.

   "M--m--ma--maaf." Ucap Aya terbata-bata dan sangat pelan seperti berbisik.
   "Hmm.."
   "A--a--ak--aku ba--bakal be--ber--u--us--saha bu--buat se--sem--buh." Ucap Aya melepas pelukannya.
   "Gue pegang janji lo. Lo lihat dia terpukul banget dengan lo seperti ini. Gue harap lo segera balik jadi sahabat kecilnya dia seperti dulu." Sedangkan yang diajak berbicara hanya bisa mengangguk pelan sambil tersenyum.
   "Sekarang lo makan dan setelah selesai makan lo samperin dia." Aya hanya menggeleng pelan.
   "Kenapa? Lo takut dia benci sama lo?" Aya mengangguk lemah.
   "Lo salah besar. Dia nunggu kehadiran lo lagi. Dia nunggu lo. Makanya cepet samperin dia." Aya mengangguk pasti.

   5 menit kemudian makanan yang ada diatas piring itu masih ada setengah dan terlihat Aya yang menaruh piring itu diatas nakas dan ia mengambil gelas yang ada disana lalu meneguknya. Ia mulai menatap Rangga dengan tatapan sendu.

   Mereka harusnya tau kalau Rangga sedari tadi mendengar percakapan mereka berdua. Namun, ia masih enggan untuk melihat keduanya bersedih. Entah mengapa ia takut sekali akan hal itu. Sebenarnya Rangga sesikit tersentak saat Via menyuruh Aya untuk menghampirinya. Degupan jantung Rangga mulai tak karuan. Apa mungkin rasa itu hadir lagi? Entahlah.

   Dengan tatapan yakin Via menyuruh Aya untuk menemui Rangga disudut ruangan. Aya jalan dengan gemetar dan sedikit tergeret. Apa mungkin kakinya luka? Entahlah.

   Aya semakin menghapus jarak diantara mereka berdua. Aya yang dengan berat harus menahan air matanya agar tidak jatuh saat ini juga. Dan Rangga yang disana sedang menetralkan degupan jantungnya.

   Lalu, tanpa disangka Aya duduk didepan Rangga lalu memeluk lelaki itu seerat mungkin. Seperti mengisyaratkan bahwa ia tak mau lepas dari sosok laki-laki itu. Tetapi, Rangga hanya diam saja. Ia tak membalas pelukan itu. Otaknya menyuruhnya untuk membalas pelukan itu. Namun, hatinya memilih enggan untuk membalas pelukan itu.

   Terlihat seorang perempuan yang sedang duduk diatas bangkar melihat kejadian yang berlalu begitu cepat dihadapannya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Tatapan yang sendu namun dengan senyum manis yang tercetak dibibirnya. Apa mungkin ia cemburu?

   Tunggu, apa?

   Via cemburu? Ia segera menepis jauh perasaan itu. Ia harusnya senang jika ada sepasang sahabat yang sedang senang ketika mereka bertemu. Via mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela.

   Ternyata pemandangan diluar lebih baik dari pemandangan didalam. Makannya Aya lebih milih buat mandangin keluar jendela. Tapi, kenapa gue jadi melow begini ya? Aneh. Gue harusnya seneng. Masa iya gue cemburu. Aish.. apaan deh lo ini Via. Rangga bukan tipe cowok lo. Batin Via berteriak.

   Pikirannya berkecamuk tak beraturan. Ia kembali memandangi dua sejoli yang masih asik berpelukan ia teringat pada suatu hal. Ia mulai merasakan nyeri dibagian dadanya. Lalu, tak sengaja ia memegang kalung pemberian sahabatnya.

   Radit, gue kangen sama lo. Batin Via sendu.

   Via tak sadar bahwa ada seseorang yang mendengar batin Via. Seseorang itu hanya bisa tersenyum pahit mendengar batin Via berucap seperti itu. Mengapa bisa? Entahlah. Hanya dirinya sendiri yang tau.
 

¤¤¤
Yollooo...
Apakah masih ada yang menunggu cerita saya?
Hehew :v
  

Do You Miss Me? [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang