10

22 7 0
                                    

Suasana kantin tampak ramai, namun keadaan Kimi malah sebaliknya. Matanya tampak sendu, seolah sedang mendung di dalam sana. Disekitar matanya pun terdapat lingkaran hitam yang lumayan pudar.

Beberapa kali Kimi menyendokan makanan kemulutnya dengan perlahan. Dia tidak semangat hari ini. Sudah dua hari berlalu kejadian Kimi yang menangis di lapangan futsal dan dengan penuh percaya diri Ardian memeluknya. Hari setelahnya Ardian pun tidak terlihat berkeliaran di sekolah.

Aisyah tiba-tiba datang dengan segelas teh ditangannya. Dia duduk tepat didepan Kimi. Namun kepala Kimi tetap menunduk, seolah orang yang didepannya tidak ada.

Aisyah melambaikan tangannya di depan wajah Kimi, berharap Kimi sadar akan dunia ini. Namun sedikit titik kesadaran itu tidak ada. Dunia lain yang sedang Kimi pikirkan lebih penting daripada kenyataan yang sedang dia alami.

"Kimi?" Panggil Aisyah pelan.

Percuma saja, Kimi tetap tidak sadar. Dia menyendokan makanannya lagi kemulutnya.

"Kimi??" Aisyah menguncang bahu kiri Kimi. Dan saat itu hayalan Kimi tentang masa lalu berakhir.

Atau memang seharusnya berakhir?

F a n g i r l

Hari ini adalah hari Sabtu dan otomatis Kimi tidak harus bersusah payah lagi bangun pagi kemudian bersiap pergi ke sekolah. Dia bisa menghabiskan hari Sabtunya ini dengan damai.

Hingga jam menunjukkan pukul 2 siang, Kimi pun terbangun dengan terkejut. Dia langsung duduk dan mencari jam dinding.

Oh, WHAT?!!

Dia telat pergi kerja. Seharusnya jam 1 siang dia sudah berada di sana, tapi jam 2 ini saja dia masih di tempat tidur. Apa dia harus menerima ocehan panjang lebar bosnya lagi?

Kimi pun bersiap-siap untuk pergi ke tempat kerjanya. Dihari Sabtu, Minggu, dan hari libur Kimi akan masuk kerja jam 1 dan pulang jam 8. Namun kalau dihari biasa Kimi akan datang setelah Maghrib dan pulang jam 11, saat toko sudah tutup.

Setelah dia bersiap-siap, Kimi pun menyandang tasnya dan memakai sepatunya.

Oke, I'm in coming to the hell!!

Sesampainya di tempat kerja, dengan takut-takut Kimi meletakan tasnya di tempat biasa. Kemudian dia bergegas menuju meja kasir, mengambil kertas untuk mencatat pesanan pembeli.

Sudah satu jam berlalu kejadian terlambatnya. Karyawan lain menggeleng mengetahui sikap Kimi yang tidak disiplin itu. Kalau sudah seperti ini, alarm ponselnya lah yang harus disalahkan. Kenapa dia tidak berdering terus kalau tuannya belum bangun?

Tiba-tiba Tina, seorang kasir datang kepadanya.

"Dipanggil bos."

Nurut, Kimi pun menuju ruang bosnya. Kimi takut harus mendengar ocehan yang panjangnya mengalahkan rel kereta api. Padahal masih muda tapi kalau udah ngoceh, beh mirip kek nenek lampir stres. Bahkan sampai muncret. Butuh payung kadang kalau udah berhadapan dengan bosnya satu ini.

"Ibu panggil saya?" Tanya Kimi menunduk. Dia benar-benar takut saat ini.

Bosnya duduk di kursinya. Dia memijat keningnya yang pusing terhadap sikap Kimi. Sudah dua kali Kimi terlambat, dan ini termasuk yang ketiga. Kimi sudah harap-harap cemas bagaimana keputusan akhir bosnya ini.

"Terlambat lagi?" Kimi meremas celananya. Sedangkan bosnya menghembuskan napas berat. "Kamu kapan bisa disiplinnya sih?"

Padahal gue baru tiga kali terlambat.

Iye, tiga kali baru.

Santai aja.

"Kamu tau gak, kalo udah tiga kali berarti kamu udah dipecat?"

"Tau, Bu."

"Kalo kamu tau, kenapa kamu terlambat lagi?" Suara bosnya mulai menaik. Membuat Kimi harus menelan salivanya susah payah. Walaupun selama ini bosnya ngoceh panjang lebar, namun tidak pernah semarah ini.  "Saya sudah capek, Kimi. Saya capek! Saya tau kamu membutuhkan pekerjaan ini. Saya tau latar belakang kamu!" Kimi terkejut. Kimi lantas memandang bosnya dalam diam. "Tapi kalo kamu tidak disiplin seperti ini, saya gak mikir lagi bagaimana kamu hidup di sana."

"Maaf, Bu."

"Saya gak butuh maaf kamu! Saya hanya butuh perubahan. Saya kasih kamu kesempatan satu kali lagi. Kalo kamu terlambat lagi, dengan berat hati kamu saya pecat. Mengerti?!"

"Mengerti, Bu. Terimakasih atas kesempatan keduanya, Bu."

"Camkan baik-baik perkataan saya barusan. Saya gak pernah kayak gini kalo bukan karena kasihan sama kamu. Yasudah, kamu keluar sana!"

"I-i-iya, Bu. Saya permisi dulu,"

Kimi membuka pintu dan kemudian keluar. Setelah menutup pintu tersebut, Kimi diam sejenak. Perkataan bosnya barusan sangat menyayatkan hati Kimi.

Kimi sangat benci kata-kata kasihan! Dia tidak mau dikasihani! Cukup hidupnya yang seperti ini, jangan ada orang yang mengasihaninya. Kimi tidak butuh kata kasihan dari orang-orang teratas seperti bosnya. Kimi hanya mau diakui atas kehebatannya, bukan karena kasihan!

Apa gue semenderita itu? Sampai-sampai gue dikasihani?

Dengan cepat Kimi mengelap air matanya yang mulai jatuh. Dia harus sadar akan dunia yang dia jalani ini. Memang pahit, tapi mau bagaimana lagi?

Apa perlu Kimi kembali menjadi anak-anak seperti dulu lagi?

Apa perlu Kimi menangis saat teman-temannya menjahatinya?

Dan, apa perlu Mamanya hidup kembali dan mencerahkan hari-harinya lagi?

Itu mustahil, namun Kimi sangat ingin itu kembali lagi seperti semula.

F a n g i r l

A/n: apa gue mesti ganti judul? Ini gak menjurus banget bagaimana fangirlingnya Kimi. Atau gue yg suka banget adegan sok dramatis kayak gini?

Ide gue gak ngemunculin Kimi sefanatik itu ㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠ
Mianhe:"

FANGIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang