Kimi menangis sejadi-jadinya di depan wastafel kamar ganti perempuan. Air di kran wastafel tetap mengalir menambah suara dan membuat suara tangisan Kimi merendap. Kimi menatap cermin di depannya. Matanya sudah bengkak. Hidung memerah menahan ingus sejak tadi. Rambutnya sudah berantakan. Dan juga bajunya basah akibat keringat.
Kimi mencuci mukanya berkali-kali, hingga di rasanya mukanya sudah terasa bersih. Dia mencoba menghapus bekas ciuman Ardian tadi di bibirnya. Kimi mengelap kasar bagian bibirnya.
Sakit. Begitulah yang Kimi rasakan. Dia butuh sandaran saat ini. Tapi kedua temannya sedang tidak berada di sampingnya.
Bagaimana bisa Ardian menciumnya dengan mudah dan berkata itu adalah sebuah kesalahan? Apa dia berpikir tindakannya adalah main-main? Apa dia tidak memikirkan perasaan Kimi saat ini?
Kejadi kemarin hingga tadi kembali tergiang di kepalanya. Dia tidak bisa memikirkannya lagi. Kepalanya sudah terasa pusing. Dia menghapus air matanya dengan kasar, kemudian meraih ponsel. Sederat angka yang sudah di hafalnya tampil di layar ponselnya, tanpa berpikir panjang Kimi langsung mengangkat panggilan tersebut.
* * *
"Kamu kenapa, Kim? Mata sama idung kamu merah. Kamu nangisin apaan sih? Itu rambut juga acak-acakan. Beresin sekarang, ah!" Sederet kalimat dengan penuh kekhawatiran itu keluar dari mulut Dafa. Cowok yang menghampiri Kimi kemaren.
Dia adalah Dafa, teman Kimi yang sejak kecil hingga mulai beranjak dewasa ini. Tapi sayang, setelah mama Kimi meninggal, Kimi harus ikut pindah bersama papanya dan meninggalkan Dafa juga. Dafa merasa sedih karena tidak ada satu katapun keluar dari mulut Kimi pada saat itu. Bahkan ucapan perpisahan pun tidak.
Kimi merapikan kembali rambutnya. Dia mengikat ulang rambutnya dengan ikatan rambutnya tersebut. Dafa yang memperhatikan Kimi dari samping merasa terkejut. Begitu banyak perubahan Kimi sejak mereka tak bertemu lagi.
"Sejak kapan rambut kamu itu diikat kayak begitu?" Tanya Dafa penasaran.
Kimi hanya diam terpaku. "Jangan kamu ikat lagi rambut kamu kayak gitu. Sekali pun.""Dafa, please—"
"Aku mohon, saat denganku, rambut kamu jangan di ikat seperti itu."
Kimi hanya menurut saja. Dafa memang seperti itu dari dulu. Tidak akan pernah berubah. Dafa yang selalu membenci Kimi kalau mengikat rambutnya. Sedangkan Kimi selalu penasaran apa alasannya.
"Sisir kamu masih ada di dasboard. Kamu bisa rapiin rambut kamu pake sisir."
Karena Kimi sudah terbiasa pergi dengan Dafa kemanapun, jadi Kimi meletakkan sisirnya di dasboard mobil Dafa. Jadi kalau Kimi telat pergi, jika sisiran Kimi bisa di dalam mobil. Sebenarnya itu adalah idenya Dafa. Dafa paling tidak suka yang namanya terlambat. Biar mereka berua tidak terlambat kesekolah, Dafa mengusulkan ide tersebut.
Kimi terdiam ditempat saat membuka dasboard mobil Dafa. Semua yang ada di dasboard masih tetap sama. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Mulai dari sisir, gelang persahabatan mereka, hingga coklat yang pernah Dafa kasih dan tidak sempat Kimi makan.
Kimi melihat ke arah sampingnya. Tepat Dafa sedang menyetir mobilnya. Kemudian Dafa menoleh sekilas dengan senyum manisnya.
Daf, kapan sih kamu bisa lupain aku?
* * *
"Daf, kita kok berhenti di sini, sih?"
"Aku pikir ada yang perlu kamu omongin sama aku." Kemudian Dafa memarkirkan mobilnya.
Setelahnya, mereka berdua keluar dari mobil dengan serentak. Di dalam kafe, Dafa sengaja memilih tempat duduk di samping jendela, agar pikiran Kimi dapat berpikir jernih untuk saat ini. Emang sedari dulu Kimi seperti itu, untuk bisa menjernihkan pikirannya, Kimi harus melihat ke arah luar yang lebih terang.
Bahkan hal sekecil ini saja Dafa tidak melupakannya.
Setelah keduanya duduk, pelayan memberikan daftar menu.
"Saya cappucino," Dafa melirik Kimi. "Pesan aja, masalah bayar-membayar urusan belakang."
"Lemon tea nya satu."
"Oke." Kemudian pelayan tersebut pergi memberikan pesanan tersebut.
"Mungkin kamu bisa mulai dari awal."
"Awal apaan, Daf?" Kimi tanpak kebingungan.
"Awal sejak kenapa kamu pindah, trus gak kasih aku penjelasan bahkan salam perpisahan aja gak ada."
Kimi menghembus nafas beratnya. Kimi mengalihkan pandangannya ke luar. Sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuknya memberi tahukan semuanya. Mungkin dengan tahu segalanya, Dafa dapat pergi dari kehidupannya dan melupakan semua tentangnya lagi.
"Sory, buat aku yang gak pamitan sama kamu. Atau aku yang gak ada ngomong apapun sama kamu. Jujur, aku waktu itu terkejut dengar kabar kalo aku sama papa harus pindah. Dan perlu kamu tahu, itu karena perusahaan papa bangkrut. Atau mungkin papa terlalu stres pikirin mama yang udah gak ada. Aku gak tahu pasti." Kimi menghirup nafas pelan-pelan. Detik kemudian pelayan datang membawakan pesan mereka.
"Makasih, mas."
"Aku cuman tau, malam itu papa bilang kalo aku harus pindah besok. Papa udah dapat rumah kontrakan yang pas untuk kami tinggalin berdua. Papa gak ada ngomong apa-apa lagi. Aku gak mau tanya-tanya, muka papa udah cukup menderita kehilangan mama. Aku gak mau nambah beban papa dengan pertanyaanku yang konyol ini."
"Kalo mau nangis, nangis aja, Kim. Kalo kamu gak mau terusin, jangan diterusin. Jangan pura-pura kuat, Kimi. Aku mohon," ucap Dafa mengelus lengan atas Kimi.
"Enggak, Daf. Aku harus cerita ini sama kamu, Daf. Aku gak mau kamu kayak gini. Aku mau kamu lupain aku, Daf." Kemudian Kimi terisak.
"Bertahun-tahun kita sahabatan, dengan gampangnya kamu pengin aku lupain kamu? Gak akan pernah, Kim! Gak akan pernah!"
"Tapi, Daf, sekarang aku udah beda. Aku bukan Kimi yang dulu lagi. Aku bukan Kimi yang bisa minta ini itu—"
"Kamu masih bisa minta ini itu kalo sama aku. Asal kamu tau, aku masih sayang sama kamu. Aku masih peduli sama kamu. Sampai beberapa bulan ini aku cari kamu."
Kimi berdiri. Dia menyeka air matanya. "Mulai sekarang, lupain aja aku. Lupain semua tentang aku. Lupain kebiasaan-kebiasaan aku. Jangan pernah hubungi aku. Kalo kita bertemu, tolong hiraukan aku."
Kemudian Kimi pergi meninggalkan Dafa sendirian di kafe tersebut. Dafa terdiam ditempat. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia termenung beberapa saat.
Saat dia tersadar, dia baru menyadari bahwa Kimi telah pergi jauh dari kehidupannya.
"Argh!!!"
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
FANGIRL
Teen Fiction[Cover by WritersID] "Alay!" Tandas Ardian. "Apaan sih! Lo gak tau jadi fangirl, jadi jangan sok-sok bilang orang alay!" "Karena gue tau makanya gue bilang lo alay! Semua fangirl emang alay!" "Dih! Banner gue yang lo rusakin mana gantinya?!" Kimi pu...