Laju kereta akhirnya berhenti stasiun terakhir, ya.. Stasiun Kota Baru Malang. Malang masih terlelap ketika kami datang. Beberapa orang nampak berhamburan keluar kereta menapaki sekitar stasiun kemudian berpencar ke beberapa arah, lalu bersiul panjang menggunakan hidung. Sedang Yudhis masih loyo, wajahnya kaku, matanya sedikit sipit dengan beberapa lapis bekas air ludah di pipinya. Ia masih berusaha memahami keadaan sekitar.
"Ternyata monyetnya sudah bangun" Niko memicingkan mata.
"Kita dimana?" tanya Yudhis polos.
Semua tertawa tanpa ada yang menjawab, kecuali Reno-anak buah Arnold. Sedari berangkat ia tidak tidur sama sekali, matanya memerah bergelinang air. Mungkin ada beberapa hal teramat penting yang harus ia pikirkan.
Tanpa istirahat kita harus segera berangkat ke Terminal Arjosari. "Mobil kita sudah menunggu" kata Kak Shinta.
"Baiklah, dari sini kita akan menuju ke Ranu Pani, waktu tempuh kurang lebih 3 jam. Kalian bisa menggunakannya untuk beristirahat sejenak" ucap kak Pandhu.
Tak ada yang menjawab, kelelahan adalah faktor utamanya. Mobil mulai berjalan menyusuri kota yang masih terlelap. Tak banyak yang bisa dilihat selain kawasan pertokoan yang masih tutup. Kami berhenti sebentar di dekat Pasar Tumpang. Tak banyak orang disana, hanya beberapa kuli yang terlihat melakukan bongkar muat barang pasar. Aroma bawang, buah dan sayur segar semerbak menggoda tiap pedagang kelontong agar membelinya.
Komoditas utama Tumpang memang hasil pertanian karena hampir 60% penduduknya berprofesi sebagai petani. Pasar ini juga merupakan salah satu tempat transit untuk menuju ke Ranu Pani, bisa dengan menaiki mobil sayur, mobil jeep dan kendaraan carter lainnya. Beberapa pendaki lain juga sudah mulai terlihat. Tujuan mereka satu, mengibarkan Sang Saka Dwi Warna ketika Negeri ini kalut dalam Dirgahayunya.
Selang beberapa waktu kemudian.. Akhirnya Adzan Subuh berkumandang, menandakan tak lama lagi Sang Surya memercikkan bunga api pada lentera besarnya. Rombongan mulai bergerak pelan tapi pasti, tegas tapi tak angkuh, menyusuri jalan hitam bergaris putih. Terus menyempit, berkelok-kelok, semakin menanjak. Batu-batu kecil bergemeletuk terlindas benda melingkar dari serat karet. Seperti tumbukan pada reaksi kimia ketika ditambahkan katalisator.
*Arga POV*
Di atas mobil Jeep, Kak Pandhu terus melihat Arga tajam, bak sepasang mata elang yang mengincar sekawanan burung gereja. Darah akan tergenang di pucuk-pucuk ilalang, daging akan dikoyak, perang terbuka akan dimulai. Arga merasa sedikit risih.
"Kak Pandhu?, ada apa?" akhirnya Arga membuka kebisuan.
"Oh tidak..tidak ada apa-apa, aku hanya merasa pernah melihatmu" menjauhkan bola matanya.
"Kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Oh bukan, maksudku kau mirip dengan orang yang aku kenal, entah kenapa.. Sekarang aku jadi memikirkannya" ia tertawa.
Obrolan mereka berdua berlangsung lama, matahari semakin meninggi. Mobil terhenti di sebuah tempat berhawa dingin. Sopir keluar dari bangku kemudi. Ia mengelap wajah berusaha menghilangkan kantuk.
"Wes tekan mas!" Serunya sedikit keras, sengaja, untuk membangunkan penumpangnya yang pulas tertidur. Segera Kak Pandhu melunasi sisa pembayaran tumpangan tersebut. Tak berapa lama, sang sopir pergi seraya menunjukkan deretan gigi pada senyumnya yang sulit dimengerti itu.
*****
Ranu Pani, tempat berketinggian kurang lebih 2100 mdpl ini masih bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) . Desa terakhir yang mereka singgahi sebelum mengawali pendakian ini. Beberapa warga desa mengarahkan mereka menuju Resort Ranu Pani untuk mengisi data diri.
"Baiklah, kalian tunggu disini, Kami akan mengurusi data-data kalian dulu" ucap Kak Shinta.
"Semoga saja kalian tidak pingsan di perjalanan" Arnold sarcastic.
"Kita lihat saja nanti, siapa yang pingsan" balas Arga tenang.
"Semoga selamat sampai tujuan kawan" Reno menepuk pundak Arga sembari tertawa.
"Apa maksudmu hah! Kita selesaikan saja disini!" Ilham menarik kerah baju Reno.
"Boleh saja" Arnold berbalik badan dan menyeringai.
"Cukup! Ada apa dengan kalian? Tak bisakah berdamai untuk kali ini saja? Kalian dikirim kesini untuk saling memahami satu sama lain! Kalian pikir ini sebuah tour sehingga bisa seenaknya? Ini hukuman!" Reya berusaha melerai
"Tunggu, siapa gadis lancang ini? Sehingga kau berani mengaturku nona? " tukas Arnold.
"Tak penting siapa aku, tugasku disini hanyalah membantu orang lemah sepertimu yang hanya berani pada seorang wanita!" Nada Reya meninggi.
"Jaga mulutmu bodoh!" Arnold membentak kasar seraya mengepalkan tangan.
"Kau mau apa? Memukulku? Kepalan tangan lemahmu itu bahkan tak cukup untuk sekedar melukaiku!" hardik Reya.
Tiba-tiba Arnold sudah siap melayangkan pukulan pada gadis jelita dihadapannya.
*Yudhis POV*
"It's enough!" Bentak Arga keras sekali.
"Jika sampai kau memukulnya!... ... ... ... " Arga tak melanjutkan kata-katanya.
Bola matanya tegas, wajahnya merah padam. Nafasnya memburu, seperti deru angin yang berhembus cepat dari dua lembah lalu mengalir landai saling bertemu, bertabrakan, berputar kemudian menjadi Beliung Besar yang siap memporak-porandakan dunia.
Aku ingat betul ekspresinya ini, terakhir kali aku melihatnya adalah ketika Arga berusaha menemui dokter yang menyerah untuk menangani Tiffany, memberontak membabi buta, berkelahi dengan 4 Satpam rumah sakit, dan menerobos masuk ke Ruang Dokter. Hal itu membuatnya hampir diusung ke Kantor Polisi. Gejolak emosi yang sungguh "Mengerikan" , tentu aku tak mau hal itu terjadi lagi disini.
"Sudah Ar, tak usah ditanggapi lagi" pintaku padanya, berharap emosinya akan mereda.
Matanya terus melihat Arnold. Tangannya mengepal kuat, seperti cambuk baja yang siap melecut tajam. Arnold tersenyum senang. Tentu saja, karena usahanya berhasil.
"Sudah Arga, jangan ladeni orang ini, cukup!" Reya menarik Arga menjauh dari Arnold.
Reya sepertinya juga ikut merasa bersalah karena malah memperkeruh suasana. Beruntung ia bisa menurunkan sedikit ketegangan ini. Karena jika "dibumbui" hinaan sedikit lagi, tentunya Beliung Besar ini akan langsung lepas kendali.
Satu kata untuk kejadian setelah ini adalah.. "Hening" .
############################
Untuk part kali ini sekian dulu yaa.. Jangan lupa klik tombol bintang di bawah.. 😂😂😂
Ditunggu vote-mmentya 😍😍
############################
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahameru
AdventureKami terus mendaki hingga muncul kabut putih yang sangat pekat dari atas. Kabut itu seperti mengeluarkan halusinogen dari tiap partikelnya. Aku merasa sedikit pusing dan tiba di jalur yang berbeda, hutannya lebih rindang dan banyak ranting pohon yan...