*Arga POV*
Setelah kejadian tadi, mood-ku tiba-tiba menjadi sangat buruk. Apalagi menunggu lama disini karena banyak yang mesti diurus, seperti biodata, jumlah barang bawaan, asuransi, surat sehat, dan surat ijin mendaki. Sangat membosankan, mengingat semuanya aku diam membisu. Aku jadi menyesal telah menciptakan suasana ini.
"Aku harus menyelesaikan pendakian ini dengan cepat, kemudian segera pulang, aku sudah tak betah berada di tempat yang sungguh terasing ini. Apalagi bersama Arnold." batinku dalam hati.
"Baiklah, semuanya harap berkumpul!" Kak Pandhu berteriak dari bawah pohon cemara yang diameter kambiumnya lumayan besar.
"Oke, kita akan memulai perjalanan tepat pukul 12 siang. Ingat tiga hal ini baik-baik" Wajahnya serius.
"Jangan tinggalkan apapun kecuali jejak, Jangan ambil apapun kecuali foto, dan jangan membunuh apapun kecuali.. " Kak Pandhu tak melanjutkan kata-katanya.
"Kecuali?" Ilham mengangkat bahunya.
"Kecuali waktu,"
Aku tahu ada sedikit keraguan pada nada bicaranya.
Semua hanya mengangguk tanda sudah paham. Kak Shinta menyuruh kami mengecek peralatan
Aku mulai mengecek isi tas kemudian merogoh lebih dalam berharap menemukan Slayer biru pemberian Ayah. Slayer berwarna biru tua dengan corak abstrak berbentuk cipratan fluida yang susah dipahami. Tanganku merasa menyentuh benda berbentuk kotak, dengan tekstur halus berbulu. Aku tersentak kebelakang, terkejut dengan apa yang kulihat sekarang. Ternyata benda itu merupakan buku tua yang diberikan oleh nenek pemilik toko antik misterius itu. Entah kenapa buku ini bisa berada di dalam tasku.
"Arga? Kau baik saja?" Kak Pandhu membuyarkan lamunanku.
"Oh.. Ti..tidak, tidak ada yang perlu dikhawatirkan" Aku berusaha berkelit.
Segera kumasukkan kembali buku itu ke dalam tas. Kemudian aku ikat Slayer biru Ayah, melintang menutupi dahi.
"Kau yakin?"
Kak Pandhu memperlihatkan raut menginterogasi, aku berusaha bersikap tenang seolah tak ada apapun yang terjadi.
"Sure, I'm fine." jawabku meyakinkannya.
"Baiklah, aku tidak memaksa, tapi sebaiknya kau mengatakannya." Kemudian ia kembali fokus menghafal rute yang sedari tadi ia baca.
*Pandhu Triwindhanu POV*
Sejak bertemu dengannya-Arga, aku tau ada yang berbeda. Seperti aku pernah melihatnya sebelum ini, jujur ia mirip sekali dengan Seniorku. Orang yang telah menumbuhkan ketertarikanku pada hobi semacam ini. Tapi entah mengapa Arga terlihat mirip sekali dengannya. Bahkan aku tak sanggup mengatakan dimana letak kemiripannya. Apalagi setelah memakai Slayer biru itu. Ia semakin mirip dengan Seniorku yang sekarang entah kemana perginya. Terakhir kali aku mendaki bersamanya...
Ah.. Itu buruk sekali.. Aku tak mau mengingatnya lagi. Semoga hal itu semacam itu tak kembali terulang disini.
"Hei!" Shinta menepuk pundakku.
"Oh, maaf sedang tidak konsen" aku tertawa kecil.
"Kok malah ngelamun sih, ayo semangat! Sudah waktunya nih" ia menyemangatiku.
"Rute yang kita lewati berbeda dengan jalur biasanya, untuk itu jaga satu sama lain, jangan sekali-sekali mengeluh karena kelelahan. Jika memang kalian lelah bilang saja Break, atau istirahat sebentar." rekanku Shinta menerangkan panjang lebar.
"Oke semuanya bersiap" teriakku lantang.
Mendengar isyarat itu semangat kami berkobar, layaknya kuda pada lintasan pacu ketika mendengar tembakan menggelegar dari sepucuk Revolver.
****
Terik matahari dengan setia terus menemani 4 jam perjalanan, merangkul hangat, lama-kelamaan membakar kulit. Dedaunan trembesi bergerak mengawasi, rantingnya melambai -kemayu, bak penari drama teatrikal ketika mendengar sorak sorai penonton. Hawa panas itu sungguh menyiksa, persediaan minum hampir habis. Aku kira perjalanan ini akan terasa mudah, ternyata sebaliknya.
"Break!" Niko berusaha berteriak dengan sisa suara yang ada di tenggorokannya. Ia tampak kelelahan. Sorot matanya sayu, bibirnya mengering seperti savana saat kemarau panjang datang bertandang. Nafasnya tersengal-sengal kemudian meregang satu persatu. Ia keluarkan botol minumnya, dan menenggak air yang tersisa dengan tak sabar.
"Iya break dulu" Reya menimpali.
"Oke, semuanya break 15 menit" kata Kak Pandhu.
Reya seperti diberi lampu hijau untuk melemaskan tiap sendi lutut yang mulai kaku. Merobohkan diri dengan kasar dan terkulai lemas tak berdaya. Aku memandanginya lama, gadis manis dengan mata biru ditengah wajah yang lelah, bersandar canggung dengan bertumpu pada sebuah pohon Pinus.
"Rey?" aku mendekatinya- ragu.
"Emm.. Iya Ar? Ada apa" tanyanya.
"Haus ngga?" tanyaku."Gue haus banget sumpah, mana minum gue abis lagi" ia merengut kesal.
Aku menyodorkan sebotol air minum.
"Thanks ya.. " ucapnya singkat. Aku hanya mengangguk meng-iya-kan.
"Emm.. Rey, sebenarnya aku- "
"Ayo semuanya bersiap, kita harus sampai di Ranu Kumbolo sebelum matahari tenggelam" Kak Shinta mengingatkan.
"Sebenarnya aku- .. Apa Ar?" Reya berharap aku melanjutkannya.
"Oh tidak.. Lupakan.. Ayo jalan lagi" aku mengulurkan tangan membantunya berdiri.
"Sebenarnya aku- apa? Tadi kamu mau bilang apa?" ia mendengus kesal.
Aku hanya tertawa melihat tingkahnya itu.
" Kepo " ucapku seraya menjentikkan jari pada hidungnya.
"Yaudah week" ia menjulurkan lidahnya kemudian berlalu pergi.
"Ciee ngambek" aku tertawa.
"Nikmati waktumu yang tersisa" ucap Arnold dengan mendahuluiku.
Aku terhenti sebentar, tanganku secara refleks mengepal. Ingin sekali ku pukul wajah flamboyan itu dengan satu hantaman keras di pipinya. Tapi Niko dan Yudhis segera menurunkan tensiku dengan candaannya.
"Demi Sang Maina¹. Kudoakan Arnold tersesat, dimakan binatang buas, atau mati karena tiupan asap belerang Jonggring Saloka."
Perjalanan ini terasa sangat memuakkan. Mau tidak mau, aku harus kembali bersabar, berpikir jernih untuk menghadapi manusia setengah iblis semacam Arnold.
############################
Sang Maina : Nama lain "Tuhan" dalam bahasa Sansekerta Kuno
############################
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahameru
AdventureKami terus mendaki hingga muncul kabut putih yang sangat pekat dari atas. Kabut itu seperti mengeluarkan halusinogen dari tiap partikelnya. Aku merasa sedikit pusing dan tiba di jalur yang berbeda, hutannya lebih rindang dan banyak ranting pohon yan...