Cumolonimbus

179 13 1
                                    

Kami terus berjalan ke atas, awan cumolonimbus menggulung mendung ke arah kami. Cahaya - cahaya pijar melesat entah menuju ujung bumi yang mana. Kupikir mencari kayu bakar di hutan adalah perkara mudah. Hanya dengan bermodalkan senter di tangan, kami mengais-ngais tumbuhan berharap ada kayu yang bisa kami bawa ke perkemahan. Tak terasa sudah setengah jam kami mencari, setumpuk kayu dikumpulkan dan diikat kuat-kuat. Tiba-tiba angin bertiup kencang, kabut tebal turun dari atas.

"Bau apa ini?" Ilham mengendus.

"Lo kentut ya dhis? Ngaku lo!"

"Kentut gue ngga sewangi ini kalik coy" Yudhis memicingkan mata.

"Udah ngaku aja, kentut lo emang baunya wangi-wangi busuk kek gini" Ilham terus mendesak Yudhis.

"Tunggu," sergahku.

Yudhis dan Ilham langsung diam mendengarkan.

"Aroma ini.. " aku tak melanjutkan kata-kataku.

"Aroma apa?" Ilham bertanya padaku

"Iya nih, lo kentut ya? Ngaku lo dhis! Mana bau banget lagi"

"Yaaaah" Yudhis menabok jidatnya.

"Duh bangs*d, mana bau banget any*ng, minggat sono lu kebo!" Ilham menyumpah serapah.

"Anjirr lu kuda arab, guee kaga kentut bego! Lagian bau kentut gue gabakal mirip bakaran menyan kayak gini dasar setan! " Yudhis tetap tidak mau mengaku.

"Wait, apa lu bilang?" aku kembali berucap.

"Menyan" Ilham mengulanginya.

'Srekk-sreekk'

"Apa itu?" Yudhis terkejut.

"Ssst... diam, kita cek bareng-bareng" ajakku.

"Lu aja ahh, gue disini" pinta Yudhis

"Alah pengecut lo, cupu" ejek Ilham.

'Sreek-srek!'

Seketika bulu kuduk kami bertiga berdiri, langkah kami merapat. Aroma itu kembali menusuk, sekarang ditambah lagi aroma kembang melati yang muncul entah dari mana. Kabut semakin pekat, gerimis mulai turun. Jangkauan cahaya senter semakin pendek karena rintik air semakin deras. Kami bertiga melangkah bersama menuju sumber suara, suara berasal dari sebuah pohon besar yang daunnya rimbun. Setapak demi setapak kami mendekat, Yudhis menguatkan pegangan pada tumpukan kayu bakar yang dibawanya. Keringat menetes dari daguku, jantungku berdegup kencang. Aku membias semak dibalik pohon besar itu, dan... Nihil tak ada apapun. Aromanya pun menghilang bersamaan dengan turunnya air hujan. Aku mengatur nafasku, kuhirup dalam-dalam.

"Bikin spot jantung tau ngga, ahahah" Ilham tertawa lepas.

"Hadeehh," Yudhis melemaskan genggamannya sambil terduduk.

"Yaudah ayo balik, hujan nih. Gue kira tadi ada macan kemayoran, beruang, atau se.."

"Se- apa?" Tanyaku.

"SETAAAAAANNNN!!!" Yudhis berteriak kencang.

Kami melihatnya, itu memang benar. Mata merah menyala, dan baju putih usang bertengger diatas pohon. Ia tertawa menyeringai, kami lari kocar-kacir. Dibuangnya kayu bakar yang sedari tadi kami cari susah payah. Langkah tak berarah, apapun yang ada didepanku kuterjang sekali terjang. Lampu senter kami tak ada gunanya.

Yudhis terus berteriak sepanjang jalan. Setelah dirasa berlari cukup jauh, kami berhenti sejenak. Ilham terus menampar pipinya untuk memastikan ini adalah nyata, dan dia tidak sedang bermimpi di dalam tenda. Hujan semakin deras, dan jaket kami basah. Dan kami tersadar jika sudah keluar trek pendakian. Kami tersesat, begitu jauh . Dingin semakin menusuk. Lampu senter milik Ilham mati kemasukan air, wajahku berdarah tergores ranting pohon. Yudhis menggigil, takut dan kedinginan.

"Ayo cari tempat berteduh," ujarku.

"Dimana? Dibawah pohon besar seperti tadi?" Yudhis menyela ketus.

Aku diam tak bisa menjawab,

"Tapi benar kata Arga, jika tetap disini kita akan mati kedinginan" Ilham mengangkat tubuhnya. Yudhis juga segera berdiri mengikuti kami berdua.

"Sekarang kemana?" Tanya Yudhis.

"Gue gatau, kita lari terlalu jauh" ucap Ilham seraya menggelengkan kepala.

"Balik aja ke rute yang tadi, kita ambil jalur kiri" usulku

"Ide bagus" ujar Ilham.

"Ide buruk" ujar Yudhis berkebalikan.

Kami saling bertatapan lama dan akhirnya sepakat mencari jalan memutar ketempat awal tadi, asal tidak melewati pohon besar yang satu itu. Karena yudhis sudah parno tingkat tinggi, jadi diputuskan aku di depan sebagai navigator, yudhis middle¹, dan Ilham sebagai sweeper².

Setelah hampir 2 jam kami berkutat menembus semak belukar, akhirnya kami menemukan jalan utama. Jam sudah menunjukkan tepat pukul 12 malam, dan langit telah menghentikan tangisnya. Kami terus berjalan menuruni trek hingga muncul kabut putih yang sangat pekat dari atas. Kabut itu seperti mengeluarkan halusinogen dari tiap partikelnya. Aku merasa sedikit pusing dan tiba di jalur yang berbeda, hutannya lebih rindang dan banyak ranting pohon yang menjuntai ke bawah menutupi jalur.

"Kenapa medannya tertutup seperti ini? Seharusnya kita sudah di jalur utama" Tanyaku pada Ilham dan Yudhis, tapi tak ada jawaban.

Aku melihat kebelakang dan mulai panik karena tidak ada siapapun selain diriku. Alih-alih mencari teman-temanku yang lain, aku malah terperosok belasan meter ke bawah karena menginjak tumbuhan paku andam. Kakiku terkilir dan tanganku lecet. Vegetasi yang terlalu pekat membuat tumbuhan paku merambat itu tertutupi humus dan terlihat seperti tanah pijakan. Dahiku berbau amis, setelah itu tiba-tiba dunia menjadi gelap setelahnya.




######################################

1. Navigator¹ : Tugas utama seorang navigator adalah menunjukan arah didalam suatu rute pendakian agar tidak tersesat dan tetap berada didalam jalur pendakian yang seharusnya. Navigator akan selalu berkoordinasi dengan leader sebagai pengambil keputusan.

2. Middle² : Posisi tengah dalam suatu pendakian.

3. Sweeper : Sweeper merupakan orang yang bertugas sebagai "penyapu" anggota pendakian agar tidak ada barang dan pendaki yang tertinggal. Sweeper biasanya berada di posisi paling belakang dalam rombongan. Kriteria menjadi seorang sweeper haruslah sabar, karena harus menahan langkah dari ambisi pribadi.

######################################

Hi gaes, gimana yang part ini? 😂
...

Kalian pasti kaget karena tiba-tiba ceritanya jadi horor, wkwkwk
But, next part bakalan seru kok.. tunggu aja yaa..😘

.
.
.
.
.

Happy Readings🤗

MahameruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang