Tragedi (2)

4.4K 251 0
                                    

“Yang sabar ya, Niel.” Kak Hadi menepuk-nepuk pundakku.

“Kak, bisa 'kan tinggalin aku sendiri?” pintaku tanpa melihatnya.

“Oke. Kakak keluar ya.” Kak Hadi mengusap rambutku. Lalu terdengar langkahnya yang menjauh dariku.

Malam ini aku tak keluar dari kamar. Makan malam pun ku lakukan di kamar setelah Mbok Minah mengantar makanan ke kamarku. Tak berselera tapi ku paksakan karena aku memang merasa lapar.

Kak Putri sempat menemuiku. Dia terus menasihati agar jangan terlalu sering keluyuran, apalagi sampai tak pulang tanpa pemberitahuan.

Katanya tadi Leo, Denis dan yang lain langsung pulang tak lama setelah Kak Hadi mengatakan kalau aku sedang tak mau diganggu karena ingin sendiri.

Kak Putri juga memintaku agar tak marah pada Bunda karena saat ini Bunda sedang banyak pikiran. Bunda sekarang sedang ada banyak masalah di kantor, semakin dibuat pusing oleh diriku yang membuat banyak orang khawatir.

Yang membuatku kecewa adalah Bunda yang tak datang untuk menenangkanku seperti yang biasa dilakukannya saat aku sedang sedih. Aku sangat membutuhkan belaian kasih sayang seorang ibu yang tulus menyayangiku, tapi saat ini tak ku rasakan.

◾◾◾

Aku duduk menatap awan putih yang menghiasi angkasa. Sore ini aku duduk di taman samping rumah untuk menyegarkan pikiranku yang sangat kacau.

Ditemani kicauan burung, aku duduk menghabiskan waktu dengan termenung. Semilir angin menggodaku, menerpa tubuhku dan memberi kesejukan di tengah udara yang panas.

Haruskah aku terus menangisi nasibku ini? Sampai kapan aku berlarut-larut dalam duka yang tak tau kapan akan berakhir jika aku terus meratapinya?

Aku harus bisa bangkit dan melupakan semua kenangan buruk yang menimpaku. Aku harus menghapus nama William dari ingatanku. Aku tak boleh dendam karena hanya akan membuatku semakin merasa sakit.

Mungkin melupakan adalah jalan yang terbaik yang harus ku tempuh. Mungkin tak akan mudah melakukannya, tapi perlahan-lahan aku pasti bisa.

“Niel ...” Terdengar suara orang yang sangat familiar di telingaku.

Menyadarkanku dari lamunan-lamunanku sendiri. Ku lihat ke arah kaki perlahan-lahan naik ke perut dan akhirnya ke wajah orang yang berada di sampingku.

Rasanya aku sangat kesal melihat wajah orang yang saat ini sangat ku benci. Aku muak melihat wajahnya yang terus muncul dalam mimpi burukku. Dan kini dia kembali muncul di dunia nyata.

Aku mengalihkan pandanganku setelah beberapa saat menatap wajahnya yang terlihat sangat kusut. Rasanya aku tak sudi berlama-lama menatap William yang sudah melukai lahir dan batinku.

Saat ini aku tak siap bertemu dengannya. Bagaimana aku bisa melupakan kejadian itu jika aku harus berhadapan dengan William.

“Maafin aku, Niel. Aku nyesel udah kasar sama kamu, aku khilaf.” William menundukkan badannya.

Aku tak mempedulikannya. Wajahku masih memandang dedaunan pohon yang bergoyang mengikuti arahan angin yang bertiup. Aku juga berusaha meredam emosiku.

“Ngomong, Niel. Please ... Jangan diam aja.” William memegang kedua bahuku dan menatapku. Tapi aku memiringkan wajahku, tak mau melihatnya.

“Aku mohon, Niel. Jangan buat aku makin merasa bersalah. Ngomong, Niel. Apa yang harus aku lakukan supaya kamu bisa maafin aku.” William memohon.

Aku tetap diam. Dan tiba-tiba William memeluk diriku yang masih duduk menatap pepohonan.

“Lepasin!!” Aku berteriak sambil mendorong William dengan sekuat tenagaku.

KISAHKU [Daniel Sastrawidjaya]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang