Leo?

5.1K 278 2
                                    

Selama dua hari ini aku berangkat ke sekolah selalu menggunakan taksi. Aku merasa kurang bersemangat ke sekolah karena harus berangkat sendirian, tidak bersama Denis lagi. Aku turun dari taksi setelah membayar ongkos kepada pak supir.

“Hah ...!” Aku menarik napas agar menenangkan diri dan bertekad harus tetap semangat.

Ku langkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Ku hentikan langkahku untuk memperhatikan gerbang sekolah. Biasanya, aku melihatnya dari atas motor Denis, tapi sekarang aku dapat memperhatikannya dengan jelas berdiri di depannya.

Tin ... tin ... tin ... tin ...

Suara klakson mobil mengejutkanku. Dari suaranya mencerminkan pengemudi yang sedang kesal.

Aku langsung bergeser ke sebelah kiriku. Posisiku tadi memang agak sedikit ke tengah, sehingga menghalangi mobil yang akan masuk.

Ku lihat ke arah sedan sport yang sedang melewatiku. Sekilas dapat ku lihat sorot mata kesal milik William yang mengendarai mobil itu.

William yang sangat tidak suka padaku sudah pasti sangat kesal karena aku telah menghalangi jalannya.

Senang juga melihat William yang kesal pagi-pagi seperti ini. Semoga saja playboy kampung seperti dia jadi bad mood sepanjang hari karena kejadian barusan. Aku pun tersenyum puas.

Ku percepat langkah kakiku memasuki sekolah. Sepertinya semangat sudah kembali menghampiriku. Aku memang aneh. Bisa-bisanya aku menjadi semangat hanya karena melihat William yang kesal padaku.

Sesampainya di tempat parkir, aku memperhatikan deretan motor mencari keberadaan motor Denis. Ternyata motor Ninja Denis sudah parkir cantik berdampingan dengan motor-motor lain yang tak kalah keren.

Kemudian ku alihkan pandangan ke parkiran mobil, aku melihat sosok yang sangat ku kenal. Leo sedang bersandar di samping mobilnya sambil memejamkan mata, dengan kepala sedikit menengadah. Lalu aku dengan cepat menghampirinya.

“Kak Leo!” Aku menegurnya, kira-kira berjarak tiga meter.

Dia agak terkejut dan membuka matanya. Kemudian dia melihat ke arahku yang sedang tersenyum.

Dia masih saja memperlihatkan wajah juteknya itu, tanpa terlihat senyuman sedikit pun. Lalu, aku semakin mendekatinya.

“Kok, pagi-pagi udah ngelamun? Ntar kesambet loh,” kataku bercanda, mencoba mencairkan suasana.

“Nggak kok,” katanya dengan sikap dingin.

“Tuh 'kan ngeles. Ayo ke kelas! Sepuluh menit lagi masuk.” Aku mengajaknya dan melihat ke arah jamku.

Dia hanya diam, tak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Aku semakin mendekatinya, lalu meraih tangan kirinya.

“Ayo, Kak,” kataku sambil menarik pelan tangannya.

Dia tetap tak bereaksi tapi matanya terus menatapku.
Aku hanya sedikit grogi melihat tatapannya yang tajam, tak seperti dulu yang sangat grogi jika ditatap seperti itu.

“Ih ... Cepetan, ah,” kataku memaksa sambil menarik tangannya lebih keras.

“Iya ....,” katanya terlihat terpaksa.

Kami pun mulai melangkah bersama dengan tangan yang masih berpegangan. Leo menghentikan langkahnya kira-kira berjarak lima meter dari tempat kami semula.

“Kenapa, Kak?” Aku bertanya karena heran melihatnya berhenti.

Dia kembali menatapku. “Nih. Mau dipegangin terus?” katanya sambil melihat ke arah tangan kami.

KISAHKU [Daniel Sastrawidjaya]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang