Dilema Lagi

4.3K 237 11
                                    

Aku malas berbicara dengan William selama berada di mobil, hingga kami hanya diam membisu. Aku juga malas melihat wajahnya, lebih sering melihat ke sebelah kiriku atau sesekali melihat ke depan.

Thanks ...,” kataku saat William menghentikan mobil di depan rumahku. Ku buka pintu mobil.

“Niel ...” Panggilan William membuatku mengurungkan niat saat hendak turun. Lalu aku menoleh melihat wajahnya.

“Besok aku jemput,” lanjutnya.

Aku hanya mengangguk lalu turun meninggalkan William di mobilnya. Aku seakan bermimpi saat William mengatakan akan menjemputku. Apa ini bagian dari permainannya atau dia sudah masuk perangkapku.

Aku menoleh ke belakang, William tersenyum padaku terlihat dari kaca jendela yang terbuka. William belum menjalankan mobilnya saat aku masuk ke halaman melalui pintu kecil di gerbang.

Aku segera melepaskan seluruh pakaianku ketika sampai di kamar, lalu langsung ke kamar mandi. Aku ingin cepat bersiap-siap lalu ke rumah Denis untuk menyelesaikan masalah di antara kami.

Akhirnya aku telah siap, pukul 17.17 menaiki taksi menuju rumah Denis. Sepanjang jalan perasaanku tak karuan, sampai saat ini aku tak tau seberapa besar kemarahan Denis padaku.

15 menit kemudian, aku pun sampai di rumah Denis. Bi Ijah yang sedang menyirami tanaman mempersilakanku langsung masuk saja.

Perlahan-lahan ku naiki tangga dan berusaha untuk rileks. Aku menarik napas saat sudah berada di depan pintu kamar Denis. Kemudian ku ketok pintu itu.

“Masuk. Nggak dikunci.” Terdengar suara teriakan Denis.

Ku buka pintu secara perlahan dan aku langsung melihat ekspresi Denis yang tidak senang ketika melihatku.

“Ngapain lu?!” Denis berteriak.

“Aku mau minta maaf.”

“Nggak ada yang perlu dibicarain. Gua muak liat muka lu. Pergi!!” Denis mendekatiku dan menunjuk ke arah pintu.

Please, Nis. Aku minta maaf karena kejadian minggu kemaren. Tapi kamu nggak perlu marah-marah kayak gini cuma karna masalah kecil kayak gitu.”

“Apa lu bilang? Kecil?!” Denis melotot, terlihat sangat kesal. Lalu dia membelakangiku. “Lu kejam, Niel. Selama ini lu nggak pernah hargain perasaan gua. Lu nggak pernah mau terima cinta yang tulus dari gua. Lu udah buat gua jadi mainan yang seenaknya bisa lu buang gitu aja.” kata-kata Denis sangat lirih.

“Nggak, Nis. Kamu nggak aku anggap mainan. Kamu sahabat terbaikku, aku sayang banget sama kamu.” Aku menyentuh pundaknya.

“Lepasin!” Denis menyingkirkan tanganku secara kasar. “Lu pikir gua bego bakalan percaya semua kebohongan lu. Selama ini lu selalu bilang nggak bisa terima cinta gua karena lu cinta Leo. Tapi itu semua bohong!” Denis masih membelakangiku.

“Maksud kamu apa, Nis? Aku nggak bohong. Aku memang cinta Kak Leo.” Aku tak mengerti dengan kata-kata Denis.

“Bohong!” Denis membalikkan badannya, kini dia menatapku sinis. “Gua jijik liat homo munafik kayak lu.”

Aku sangat syok saat mendengar kata-kata Denis.

“Dulu lu bilang cinta Leo, tapi mana buktinya? Sekarang lu nggak mau diantar jemput Leo lagi. Karena William, lu jadi tega batalin janji jalan bareng gua. Lu sekarang lebih milih William dari pada gua dan Leo. Kenapa, Niel? Apa karena William lebih keren, lebih tajir dari pada kami?!” Denis masih sangat emosi.

Apa maksudnya? Apa Denis tau kalau aku pergi bareng William minggu kemaren? Tapi, bagaimana dia tau?

Aku tak tau harus berkata apa. Aku hanya menunduk.

KISAHKU [Daniel Sastrawidjaya]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang