15

1.1K 92 1
                                    

"Maaf, saya permisi," Nata membeku. Suara itu, suara merdu yang menjadi favorit Nata dari dulu. Gadis dihadapannya mulai berjalan meninggalkan Nata, namun dengan segera Nata menggenggam pergelangan tangan gadis itu.

Gadis itu terkejut, ia melepaskan tangan Nata lalu memegang tangannya sendiri.

"Alfa?" Lirih Nata. Gadis itu menggeleng pelan.

"Maaf, S-saya bukan Alfa. Saya sedang terburu-buru, permisi," ucap gadis itu lalu kembali berjalan.

Gadis itu meninggalkan Nata yang masih berdiri kaku di tempatnya, ia berjalan seraya menunduk, menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga.

"Nata.. "

***

Dentingan-dentingan sendok yang menyentuh piring di meja makan itu, mengiri kesunyian yang ada di dalam rumah itu. Selain aturan yang tidak boleh berbicara saat makan, rasa canggung lah yang membuat suasana semakin mencekam. Seakan mereka adalah musuh yang saling membenci.

Namun bedanya, mereka adalah sebuah keluarga. Keluarga tanpa Ayah. Tidak bagi Rena. Mungkin Bunda adalah keluarganya, tapi tidak dua gadis kecil asing itu. Dia tidak mengenal mereka. Sedari tadi, sebelum makan, Quenna berusaha mengajak Rena berbicara, bermain, namun Rena sama sekali tidak memberi respond. Berbeda Kinnia, ia terlihat santai saja.

"Selesai. Permisi," ucap Rena begitu makanan di piringnya telah habis. Ia segera meneguk minumnya, lalu berdiri dan segera beranjak dari sana.

"Rena," gadis itu menghentikan langkahnya begitu Mama memanggilnya, ia tidak berbalik, tetap pada posisinya.

"Sebentar Mama mau ke mall, sama Kinnia, sama Quenna juga. Kamu mau ikut?" Tanya Mama. Rena berdecak pelan, ia menghela napas.

"Ga, makasih," jawab Rena singkat, ia segera berlalu dari sana. Ia sadar, perilakunya sangat tidak sopan dan tidak patut di contohi. Namun rasa kecewanya mengahlahkan semua. Semua rasa rindu pada sang Mama.

Nita menghela napas, ia menatap Quenna dan Kinnia seraya tersenyum sendu. Berharap mereka mengerti sifat kakaknya.

"Mama, kaka Rena ikut ga?" Tanya Quenna begitu semangat. Nita tersenyum sendu, ia mengusap lembut kepala Quenna.

"Kak Rena sibuk sayang, dia banyak Pr jadi ga bisa ikut," alibi Nita. Mulut Quenna berbentuk O kecil seraya manggut-manggut.

"Ma," suara datar Kinnia terdengar. Nita menolehkan kepalanya.

"Iya, sayang?"

"Kinnia gamau ikut," Nita menatap putrinya bingung.

"Kenapa?"

"Gapapa, males," jawab Kinnia singkat. Lagi, Nita menghela napas. Ia mengangguk singat.

"Yaudah, kamu disini aja ya sama kak Rena, jangan bandel," peringat Kinnia. Kinnia tersenyum miring, Nita tau arti senyuman itu, makanya ia memperingati putrinya.

"Ya,"

Di dalam kamar Rena berusaha menelfon Nata, seraya memegang kepalanya yang terbalut perban, ia merasa pusing. Namun Nata tidak menjawab telfon itu, membuat Rena berdecak, ia membanting hpnya ke atas tempat tidurnya.

"Nata kemana, sih?!" Gerutu gadis itu. Ia duduk di ujung kasurnya, memijit pelan kepalanya yang terasa pusing.

Beberapa menit ia menunggu, Nata masih tidak menghubunginya. Dengan kesal ia meraih hpnya kembali. Baru saja ia ingin menelfon Nata kembali, pintu kamarnya terbuka.

Rena menoleh, menunggu siapa yang akan masuk, namun beberapa detik tidak ada kedatangan-kedatangan orang yang membuka pintu kamarnya. Gadis itu berdiri, hendak menutup pintunya.

ReNataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang