Enam belas

4.2K 365 15
                                    

seribu wajah goda aku
yang ku ingat hanya wajah kamu
janjiku tak pernah main-main
sekali kamu tetap kamu
Melly Goeslaw - Promise


*****

Sepanjang perjalanan aku hanya diam dan menatap keramaian kota ini. Bahkan jalanan macet saja tidak membuatku kesal untuk pertama kalinya. Aku saja tidak terlalu penasaran kemana mobil ini akan berhenti. Malam ini seakan menjadi malam yang berbeda bagi diriku.

Apalagi ketika mengingat apa yang dia lakukan tadi dan mengingat setiap perkataan orang mengenai dia. Rasanya hati ini semakin remuk dan hari ini semakin menjadi hari yang berbeda dari biasanya. Jujur, aku hanya ingin ketenangan dan tidak ingin rasa marah menguasai diriku. Aku hanya ingin berdamai dengan perasaan ini dan mencoba untuk berpikir positif, bukan berpikir negatif.

Kita berdua sudah berakhir, maka dari itu, apa yang dia lakukan seharusnya tidak membuat aku sakit lagi. Aku pikir, aku hanya perlu mengingat kata-kata itu, maka aku tidak akan merasakan sakitnya lagi. Nyatanya, aku tetap merasakan sakit ini.

"Ini di mana?" Suaraku bahkan tiba-tiba terdengar serak.

Bryan tersenyum, senyuman yang samar. "Ini di hotel. Ortu gue mau ketemu sama lo. Gue tahu ini hotel nggak bagus sama sekali, bahkan lo mungkin nggak sudi ke tempat ini. Tapi, demi ortu gue, gue mohon untuk bersedia turun dan temui ortu gue."

Mataku menyipit mendengar ucapannya. Aku tidak ingin marah, tapi kalau sudah begini ingin rasanya marah. "Jangan membuat sebuah kemungkinan yang lo pikir itu sebagai tolak ukur untuk menilai orang. Sesuatu yang mungkin, belum tentu itu yang menjadi sesuatu yang benar."

"Eh? Maaf, Kay." Bryan terlihat salah tingkah.

"Orang mandang gue anak orang kaya, selalu terlihat elit, tapi itu nggak menjamin gue nggak mau untuk pergi ke tempat kayak gini," Aku menghela napas, "jangan pernah berpikir kalau orang kaya selalu meninggi dan nggak mau merendah sama sekali. Nggak semua orang kaya itu sombong dan mau meninggi terus-terusan."

"Maaf, Kay. Bukan itu maksud gue tadi." Bryan menggaruk belakang lehernya

Satu alisku terangkat melihat sifat Bryan yang berbeda dari biasanya, "Lo nggak mau turun? Kalau lo nggak mau turun sekarang, mendingan gue turun sendirian dan temuin ortu lo itu sendiri. Soalnya, gue juga punya jam malam, yang berarti gue itu juga nggak bebas. Gue juga punya ortu yang selalu merhatiin gue, bukan hanya kerjaannya."

Bryan langsung membuka kunci pintu mobilnya, "Ayo turun, sorry tadi gue nggak bermaksud gitu."

"It's okay, gue juga terlalu emosi tadi."
Aku berusaha kembali tenang, ini semua karena masalah tadi. Sesuatu yang kecil bisa menjadi besar, kalau aku bersikap seperti ini. Ini kenapa perasaan yang aku rasakan terlalu menyakitkan? Kenapa perasaan ini membuat aku menjadi seseorang yang emosian?

Ah, tanpa rasa sakit ini juga, aku sudah sering menjadi seseorang yang selalu emosian.

Hanya kesunyian yang ada dalam pikiranku. Pikiranku kosong dan kakiku hanya melangkah mengikuti Bryan tanpa protes atau bertanya seperti biasnya. Rasa penasaran yang seharusnya ada tiba-tiba menghilang. Seharusnya, aku bertanya mengapa orang tuanya ingin bertemu denganku. Seharusnya, aku bertanya kenapa makan malam ini diadakan secara mendadak. Apa aku pantas menghadiri makan malam dengan baju sekolah yang masih melekat di tubuhku? Lalu, kenapa mereka memilih hotel yang jauh dari kota? Ah, seharusnya aku bertanya seperti itu sebelum kami berdua sampai di ruangan yang mungkin sudah di pesan keluarga Bryan. Selain kedua orang tua Bryan, ternyata ada Billa juga.

Sebelum aku di pinta untuk duduk, Bryan mengunci ruangan ini dan menyimpan kuncinya. Membuat keningku berkerut dan fungsi otak ini kembali berfungsi seperti biasanya. Jantung ini tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya, darahku berdesir dan pori-pori kulitku mengeluarkan keringat.

Be My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang