9. Still Without You

758 104 1
                                    

"Every parting is a form of death, as every reunion is a type of heaven." - Tryon Edwards.

Aku memutuskan untuk melanjutkan kehidupanku dan merelakan kepergian Lando tentu itu bukanlah hal yang mudah. Kadang ada waktu di mana rasa rindu itu lebih besar dan sangat sulit untuk melawannya. Walaupun air mata tak sesering seperti dulu lagi muncul untuk Lando, tapi terkadang ada saat-saat kenangan tentang Lando mengalahkan pertahanan hatiku. Salah satunya mungkin hari ini. Hari ini adalah tepat dua tahun Lando pergi. Walaupun belum ada air mata, tapi aku yakin ini hanya menunggu waktu saja. 

Hari ini aku memutuskan untuk menelusuri kembali jejak langkah yang pernah aku lalui bersama Lando. Aku ingin mengingat lagi hari-hari yang aku habiskan bersama Lando. Aku ingin mengunjungi lagi tempat-tempat yang pernah aku datangi bersama Lando. Hari ini saja, aku ingin di kelilingi oleh memori tentang Lando.

Salah satu tempat yang aku ingin kunjungi adalah tempat yang sering menjadi objek foto untuk Lando. Dan karena itu sekarang aku menelusuri jalan kecil yang di bingkai oleh pepohonan tinggi di kanan dan di kirinya. 
Aku terus berjalan dan berjalan sembari mengingat kapan terakhir kali aku dan Lando melalui jalan ini.

Sepuluh menit  sudah berlalu, di ujung jalan telah terlihat hamparan air danau yang tenang. Melihat danau ini saja sudah membuat emosional dan kini tinggal menunggu waktu saja aku akan mulai mengucurkan air mata. Dan sampai di dekat mulut danau, aku mengalihkan pandanganku ke arah kananku di mana sebuah pohon rimbun berteman dengan sebuah bangku yang terletak di bawah bayangan daun-daunnya.

(Flashback)

Cuaca hari itu berawan, aku menikmati sekali pemandangan hijau dan tenang di tempat yang perdana aku jumpai ini. Itu semua berkat Lando. Lando bilang ini adalah tempat rahasianya dan aku tersentuh ia membaginya denganku. 

Aku melihat Lando yang sedang asik mengarahkan kamera yang baru saja di belinya ke arah danau. Hampir satu jam Lando mengambil gambar danau itu dengan antusias. Aku tentu tidak keberatan, melihat Lando yang begitu bersemangat dengan hobi barunya dan itu malah membawa senyum di wajahku.

Tak ingin mengganggu kesenangan Lando, aku mengeluarkan sebuah novel baru yang belum selesai aku baca dari tasku. Tempat ini adalah tempat sempurna untuk membaca tanpa di ganggu. Bahkan suara alam di sekitar tempat membantu aku konsentrasi dengan bacaanku. Namun baru beberapa paragraf yang ku baca, konsentrasiku di ganggu oleh suara kamera yang semakin lama semakin sangat jelas terdengar dan itu membuatku mengalihkan mataku dari kata-kata yang ada di buku, ke arah asal suara tersebut.

"Lando!" Seruku saat aku tau dari mana asal suara kamera itu. Lando hanya merespon seruanku dengan tawanya dan tetap mengarahkan kameranya kearahku.

"Lando! Ngapain sih foto-fotoooooo.." Rengekku sambil berusaha menutupi wajahku dengan novel yang ada di tanganku.

"Emang kenapa sih?" Tanya Lando masih tertawa lalu menarik novel yang menutupi wajahku itu.

"Ya nggak kenapa-kenapa. Kan masih banyak objek foto yang lain. Danau, pohon, burung, apa kek nggak usah aku." Protesku yang tiba-tiba tak percaya diri karena sama sekali tidak memakai alas apapun di wajahku. Bedak? No. Lipstik? No. 

"Sekarang kan hobi baru aku foto. Jadi kamu sebagai pendamping aku harus jadi modelnya. Itung-itung ini bayaran karena aku udah ngasih tau kamu tempat rahasiaku." Kata Lando dan dengan ucapannya itu aku tak bisa lagi mencoba untuk mengurungkan niatnya dan sore itu, aku Prilly Wintery resmi jadi model selamanya untuk Aliando Howell.

(End of Flashback)

Mengenang memori itu membawa senyum kecil di wajahku. Dan ternyata aku pernah menjadi objek foto untuk Lando walaupun itu cuma sebentar. Kemudian aku melangkahkan kakiku mendekat ke bangku yang menjadi tempat sejarah aku dan Lando itu. Ku pandangi sejenak besinya yang di beberapa sisinya telah mengarat karena terkena panas dan hujan. Namun sebuah kartu yang ada di atas bangku itu menyita perhatianku. Ada namaku di sampulnya.

Ku ambil kartu yang tak bertuan itu, dan sebuah kalimat tertulis di sana.

"Jika rindu, pandangi aku." 

Di balik kartunya terselip sebuah foto danau, bangku dan pohon ini yang di ambil dari samping. Bingung dengan pengirim kartu rahasia yang sudah dua kali terjadi. Aku lihat lagi setiap sudut dari kartunya berharap ada nama pengirimnya tapi tetap tak berbuah. Dan akhirnya aku menyerah untuk berusaha menemukan pengirimnya.

"Siapa sebenarnya kamu?" Tanyaku pada angin.

Setelah menyimpan kartu yang di tujukan untukku ke dalam tas, aku mengeluarkan ponsel dan headset lalu memasang headsetnya di telingaku. Untuk hari ini, aku ingin merasakan kehadiran Lando dan satu-satunya hal yang di tinggalkan Lando untukku adalah lagu ini. Lagu yang bahkan saat aku tidak memiliki memori tentangnya sedikitpun, bisa menyatukan aku dan Lando. 

Ku buka playlist 'With you' yang mungkin ribuan kali ku buka. Jika lagu ini di putar dengan kaset, mungkin kasetnya sudah lama rusak. Melodi lembut yang sertai alunan biola mulai terdengar dan mataku perlahan menutup untuk mengenangnya.

"It’s hard to deal with the pain of losing you everywhere I go.. But I’m doing it.." Ucapku menyanyikan liriknya.

"It’s hard to force that smile when I see our old friends and I’m alone.. Still harder.." Lanjutku merasakan air mata sudah mengepul di setiap sudut mataku dan mengancam akan segera jatuh. Kilasan ingatan tentang Lando masih sangat jelas teringat jelas dan itu membuatku begitu merindukan kehadiran Lando.

"Lando, I miss you." Bisikku kala semua air mata yang ku kira telah habis jatuh membasahi pipiku di iringi dengan isak pelan yang keluar dari mulutku. Untuk hari ini saja, ijinkan aku merindukan Lando. Ijinkan aku menjadi lemah sebentar saja. Karena saat ini aku terlalu merindukannya.

---

Setelah aku menghabiskan seluruh air mata yang ku punya, aku memutuskan untuk pulang. Saat akan menutup tasku, ponselku berbunyi dan sebuah panggilan masuk dengan nama 'Ano' terlihat di layarnya.

"Apaan?" Tanyaku tanpa basa-basi pada Ano sembari menyandang tasku. Ku dengar tawa Ano terdengar dari seberang sana.

"Gue udah ngejemput elo ini. Buruan." Kata Ano lalu menutup telfonnya. Aku tidak perlu tau bagaimana Ano tau di mana aku berada. Lora pasti tau kemana aku pergi dan meminta Ano untuk menjemputku. Karena Lora tau hari apa ini dan dua tahun lalu Lora juga kehilangan sahabatnya.

Dengan langkah yang ringan setelah mencurahkan kerinduanku pada Lando, aku meninggalkan tempat itu. Aku menelusuri pepohonan tinggi yang telah aku lewati puluhan kali. Di sela pepohonan terlihat bunga liar berwarna kuning tumbuh berdampingan. Dan saat itu aku baru teringat sesuatu yang aku lupa lakukan.

"Ya ampun Prill! Bunganya!" Aku berkata pada diriku sendiri sambil menepuk keningku. Dengan cepat aku mengambil setangkai bunga mawar putih dari tasku dan berjalan kembali menuju ke bangku di tepi danau.

Setelah beberapa menit berjalan atau mungkin setengah berlali aku hampir sampai di mulut danau. Tapi langkahku terhenti ketika aku melihat sosok laki-laki duduk di bangku yang tadi aku tempati. Sosok ini terlihat familiar tapi aku tidak yakin jika mataku mengelabuiku. Aku mengambil langkah pelan ke arah pria itu dan semakin dekat semakin terlihat jelas siapa dia. Aku tidak bisa memendam keterkejutanku hingga mulutku mengeluarkan suara dan dengan ekspresi yang sama.

"Elo?!" Seruku entah kalimat itu bermaksud bertanya atau seruan. Tapi sepertinya tak hanya aku saja yang terkejut karena postur badan pria itu langsung membeku saat mendengar suaraku.

Memori LandoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang