2

24.9K 266 1
                                    

"Aw!!!"

Bunga plastik itu mendarat mulus di dada bidangnya. Tangannya yang lain mencekik leher pria itu sampai wajahnya memerah.

"To-toloonggg..."

"Sstttt aku tidak akan menyakitimu. Kita akan bersenang-senang."

Plak! Plak!

Wajah tampan pria itu mendapat cetakan dari tangan cantik Willo di kedua pipinya.

"Kau gila! Lepaskan aku!"

Pria itu menggeliat di kasur dan meronta untuk dilepaskan tapi Willo tidak mengindahkan kata-kata dari pria itu malah dia semakin gencar memukul tubuh pria itu dengan bunga plastik yang ada di tangan kanannya.

"Lepas!"

"Diam!"

"T-to..."

Sebelum dia meminta tolong, Willo mencium bibirnya dengan kasar dan lagi-lagi bibirnya berdarah.

"Aku sudah bilang, kan? Mendesah saja."

"Kau wanita gila!"

"Yes, i am." ucapnya dengan smirk di akhir katanya.

Willo mengambil kemeja pria itu di lantai dan menggunakanya untuk menutup mulut pria itu. Dan dia melanjutkan untuk memukuli tubuh pria itu dengan bunga plastik yang masih digenggamnya.

"Ssshhhh..."

Mendengar pria itu merintih, Willo semakin gencar untuk melukai pria itu. Tubuh pria itu kini terdapat banyak garis merah karna bunga plastik yang terus menerus menghantam tubuhnya.

Willo yang masih belum puas langsung berlari ke arah dapur dan menemukan beberapa balok es batu dan membawanya ke kamar.

Dia meletakan es batu itu di atas tubuh pria itu yang penuh dengan luka. Lalu menjilati air dari es batu yang mencair tersebut. Pria itu mengelinjang menerima dingin yang tiba-tiba.

Perih, dingin dan sakit semuanya jadi satu. Tapi dia tidak bisa apa-apa. Berteriak pun percuma, karna mulutnya di sumpal dengan kemejanya sendiri.

Dia memejamkan matanya rapat-rapat berharap sakitnya reda. Tapi wanita yang di atasnya sekarang malah menambah rasa sakitnya. Lalu semuanya gelap.

Sampai akhirnya sinar matahari menusuk indra pengelihatanya dengan amat sangat. Pria itu mengerjapkan matanya. Tangannya mati rasa di dalam selimut. Ikatan di tangannya sudah lepas. Dasi yang menutup matanya juga tidak ada.

Dia menolehkan kepalanya kesamping dan... Kosong. Tidak ada siapapun diruangan ini, tidak juga dia mendengar tanda-tanda kehidupan di dalam sini kecuali dirinya.

Kepalanya bedenyut hebat. Tubuhnya sulit untuk di ajak bangun. Wanita gila itu pergi. Sial!

Bahkan dia tidak tau namanya. Dan sekarang tubuhnya benar-benar seperti dikeroyok preman berbadan besar. Tapi nyatanya dia babak belur karna wanita cantik yang anggun.

Dengan susah payah dia bangun dan kemudian duduk di tepi ranjang. Dia melihat sekeliling kamar ini sebentar. Rapih. Kemejanya juga tergantung rapih di depan lemari dengan dasi yang dikalungkan di kerahnya.

Celananya juga masih dia pakai. Hanya saja beltnya tidak ada dan dia menemukan ikat pinggangnya di atas nakas di samping tempat tidur dengan 2 potong sandwich isi ikan tuna dan segelas besar susu putih. Oh, dan selembar note berwarna kuning yang di tempel di gelasnya.

"Thx for last and i'm sorry for your body. Ini uang untuk beli obat dan biaya rumah sakit."

Pria itu menyipitkan matanya dan benar saja dia melihat sejumlah uang di sebelah gelas susunya.

"Wow dia sangat bertanggung jawab. Ck, tetap saja tubuhku sakit semua."

Sementara itu di kediaman Willo. Dia masih bergerumul dengan seperangkat alat tidurnya yang nyaman. Untung saja hari ini hari minggu jadi, dia tidak perlu buru-buru berangkat ke kantornya.

"Nona?"

Tok! Tok! Tok!

"Nona? Anda belum bangun?"

"Hmmm"

"Ada yang mencari anda di bawah."

"Siapa?" dengan suara yang serak dan mata tertutup dia bertanya pada asisten rumah tangganya yang sudah separuh baya. 

"Jeremy."

"10 menit lagi Lucy."

Willo mengerjapkan matanya dan merenggangkan tubuhnya sejenak, lalu menuju kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi.

Dia melangkahkan kakinya dengan santai menuruni anak tangga untuk menemui tamunya.

"Hai Willo." senyum sumringah terpancar di wajah tampan Jeremy.

"Tidak usah basa-basi Jeremy." ucap Willo sambil meletakkan bokongnya di sofa.

"Aku mau mengajakmu makan malam."

"Aku menolak."

"Tapi..."

"Kau boleh pergi sekarang."

Willo langsung bangkit dari duduknya lalu meninggalkan Jeremy yang masih mematung di sofa. Jeremy tidak terkejut dengan sikap Willo yang seperti itu. Dia sudah lama kenal dengan Willo. Tapi tetap saja rasanya sakit ditolak berkali-kali.

"Bi..." Jeremy menatap mengiba pada Lucy saat melihat Lucy yang berdiri tidak jauh dari ruang tamu. Sementara Lucy hanya meringis melihat Jeremy yang sudah sering ditolak mentah-mentah tapi tetap berusaha.

"Aku pulang dulu bi."

"Ya, hati-hati di jalan Jeremy."

Mobil Jeremy meninggalkan halaman rumah Willo yang sangat luas. Sementara Willo sedang ada di ruang kerjanya di lantai 2.

Dia sedang asik mendesign baju yang akan di pamerkan akhir bulan Maret nanti dengan di iringi musik klasik tahun 90an.

MASOCHISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang