"Selamat pagi nona Willo."
Wanita itu hanya tersenyum singkat menanggapi para karyawannya. Willo terus mengadu sepatu cantiknya dengan lantai kantornya.
"Selamat pagi nona Willo."
"Bacakan jadwalku hari ini July."
"Hari ini ada rapat untuk show akhir bulan Mei jam 07:30. Jam 09:00 kau bertemu dengan client dari Jepang untuk peragaan busana di sana pada bulan July. Dan sesudah makan siang..."
Willo menatap July untuk melanjutkan kata-katanya. "Ini..."
"Go ahead July."
"Mr. Alexandrea ingin menemuimu."
Willo hanya memasang wajah datarnya sementara July sudah keringat dingin dengan tampang bosnya sekarang.
"Kau boleh keluar sekarang July. Terimakasih."
"Permisi nona Willo."
Wanita itu menarik nafasnya dalam-dalam saat pintu tertutup rapat. Otaknya mulai berfikir keras tentang apa yang akan disampaikan pria itu saat menemuinya nanti.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk."
Jeremy muncul dari balik pintu dan membuat sakit kepala Willo bertambah. Demi apapun dia ingin sekali mendepak bokong Jeremy dengan skop agar pindah ke Antartika sekarang juga. Pria ini tidak pernah bosan dengan penolakannya.
"Selamat pagi Willo." sapanya sambil meletakkan sebucket mawar pink kesukaan Willo di meja kerjanya.
Willo hanya memperhatikan Jeremy, menunggunya untuk berbicara.
"Emmm aku mau mengajakmu makan siang, apa kau bisa?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Kau boleh keluar sekarang Jeremy."
"Tapi Willo..."
"Aku yakin kau tidak tuli."
"Okey... Have a nice day!"
Willo memejamkan matanya rapat-rapat. Hhh Jeremy... Dia menyukainya. Tapi dia terlalu lembut. Sedangkan dia sendiri... Willo memijat pelipisnya yang berdenyut.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk."
"Nona Willo, sudah waktunya untuk rapat."
"Ya."
'Apa aku melamun selama itu?' pikirnya dalam hati. Setengah jam dia melamum tentang Jeremy. Dia menatap bunga mawar yang di berikan Jeremy. Indah. Jeremy selalu tau apa yang dia suka. Tapi Jeremy tidak tau apa yang dia sembunyikan darinya selama ini.
***
Willo terlihat mondar-mandir di kaca jendelanya yang besar itu. Dadanya bergemuruh untuk bertemu dengan Mr. Alexandrea yang nota bene adalah Ayahnya.Jamnya terus berlarian di pergelangan tangannya. Setiap detiknya seperti memakan sisa nyawanya sedikit demi sedikit.
"Apa ini waktunya?"
Tok! Tok! Tok!
"Ehem. Masuk!"
"Nona Willo, Mr. Alexadrea sudah menunggu anda di cafe sebrang jalan itu."
Dia menyipitkan matanya melihat cafe yang sekertarisnya maksud.
"Aku akan bersiap 5 menit lagi July. Bilang tuan Jakson untuk menyiapkan mobilku."
"Siap nona."
Willo berjalan ke ruangan pribadinya untuk mengganti pakaiannya dengan yang lebih formal tapi santai.
Setelah siap dengan dirinya, jantungnya semakin berdegup kencang. Dia sudah berusaha untuk tenang tapi tetap saja ini mengganggu pikirannya.
Degup jantungnya selaras dengan langkah kakinya yang tegas dan pasti. Kepalanya di penuhi dengan pertanyaan yang menuntut jawaban.
"Nona Willo?"
"Nona?" sapa Jakson sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Willo.
"A-ah ya?"
"Kita sudah sampai nona."
Dia menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongannya.
"I-iya Jakson. Terimakasih."
Willo menarik nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Dia menggenggam tasnya erat-erat dan berdoa sebelum membuka pintu mobilnya.
Willo menetralkan wajahnya supaya dia tidak ketahuan kalau dia sedang gugup oleh Ayahnya. Dia berjalan penuh percaya diri seperti biasanya. Dengan blouse maroon dan pum shoes beludru senada dengan blousenya. Di tambah kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Dia menawan. Selalu.
Matanya mencari sosok pria awal 50 tahun itu dengan seksama. Dan dia menemukannya di pojok cafe dengan kemeja biru tua yang pas dengan badan atletisnya lalu lengannya di gulung hanya sebatas siku dan dasinya dilonggarkan. Astaga! Apa dia lupa dengan umurnya?
Willo memejamkan matanya rapat-rapat lalu berjalan tegas menuju meja sang Ayah.
"Hi honey."
Willo tidak menjawab sapaan sang Ayah malah langsung menaruh bokongnya di kursi yang berhadapan dengan Ayahnya lalu membuka kacamatanya.
"Kau tidak mau tau keadaan Ayahmu, honey?"
"Kau baik."
Ayahnya terkekeh mendengar jawaban anaknya yang singkat dan dingin itu. Dia sudah hapal betul dengan sifat anak keduanya yang sangat amat dingin dan keras kepala.
"Bagaimana dengan perusahaan fashionmu?"
"Langsung saja ke intinya. Aku tidak suka basa-basi."
"Haha ya Tuhan, aku masih mempertanyakan dari mana kau dapat sifat seperti itu."
Willo hanya menatap lurus ke mata Ayahnya dengan wajah tanpa ekspresinya.
"Kau mau pesan minum dulu?"
"Aku sibuk."
"Okey. Okey. Pergilah ke Dubai. Untuk mengurus perusahaanku di sana."
"Aku tidak mau." jawabnya singkat.
"Tapi, Willo..."
"Aku sudah selesai."
Willo beranjak dari duduknya dan bergegas meninggalkan Ayahnya. Tapi tangannya di tahan oleh Mr. Alexandrea.
"Honey, aku sudah mulai tua."
"Kau bisa menyuruh Daniel untuk mengambil alih perusahaanmu."
"Daniel tidak berguna sama sekali Willo. Kau tidak lupa kan kalau kakakmu itu hanya bisa menghamburkan uang saja?"
"Aku yakin kau punya banyak tangan kanan."
"Aku mau keluarga Alexandrea yang meneruskan perusahanku."
"Aku punya perusahaanku sendiri."
"Menikahlah kalau begitu, suruh suamimu mengurus perusahaanku." ucap Mr. Alexandrea final lalu meninggalkan Willo yang masih mematung di tempatnya.
'Menikah? Lelucon macam apa ini?'

KAMU SEDANG MEMBACA
MASOCHIST
De Todo"Kau berdarah... Dan aku suka." bisik Willo tepat di telinga pria itu dan pria itu hanya bisa meringis sambil mencengkram tangannya sendiri yang terikat.