12

5.6K 122 8
                                    

Sudah hampir satu bulan Willo berada disini. Pikirannya tetap saja berkecamuk dan tentu saja itu membuat bibi Julia ikut khawatir. Willo menghabiskan hari-harinya dengan melamun.

"Kau tidak kembali?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Willo. Gemercik air dari pancuran kolam yang sangat dominan disini.

"Kau harus menyelesaikannya, Willo."

"Aku tahu, bi. Mungkin besok aku akan kembali. Kantorku pasti sangat berantakan sekarang, dan aku harus bekerja ekstra untuk merapikannya lagi saat aku kembali."

"Aku selalu berdoa yang terbaik untukmu, sayangku." ucap bibi Julia sambil tangan kananya mengelus kedua pipi Willo.

"Terimakasih, bi."

Besok dia harus kembali dan sebenarnya dia tidak ingin melakukannya.

Willo membereskan pakaiannya lalu memejamkan matanya rapat-rapat berharap hari esok lebih baik.

Dia membuka matanya dan melihat jam dinding bulat menunjukan pada angka 8. Willo menarik nafasnya dalam-dalam.

"Astaga. Sebenarnya aku ini kenapa? Dia kenapa?"

Willo belum pernah se-menyedihkan ini selama hidupnya. Dari saat itu ia tidak berhenti untuk menyumpahi Raymond. Laki-laki itu sudah membuat hidupnya kacau balau.

Dia bangkit dari dari tempat tidurnya dan berjalan gontai ke arah kamar mandi. Willo meringis mendapati dirinya sangat berantakan. Tangan kananya mulai menyalakan keran dan kedua tangannya membasuh wajahnya sebentar. Lalu, tangan kirinya mengambil pasta gigi dan tangan kananya mengambil sikat gigi. Dia mulai membersihkan giginya dengan setengah hati.

Otaknya berpikir keras. 'Apa yang harus aku lakukan kalau aku bertemu dengannya di kantor nanti?'. Willo mengambil gelas dan mengisinya setengah lalu berkumur dengan air yang mengisi gelas itu. Kini air itu pindah ke dalam mulutnya hingga pipinya mengembung dan kemudian dia membuang air itu ke wastafel.

"Ya Tuhan, bisakah kau lenyapkan aku saja? Ah tidak. Bisakah kau lenyapkan dia saja? Aku bisa gila kalau melihatnya lagi."

Kini tangannya mulai mengaplikasikan make-up ke wajahnya. Dia menerapkan foundation yang tidak terlalu tebal, kemudian concealer untuk menyamarkan mata pandanya. Willo juga menarik garis tipis di kelopak matanya dengan eyeliner lalu dia menyapukan bulu matanya agar terlihat sedikit lentik dengan mascara. Terakhir, dia mewarnai bibirnya dengan lipstick yang merah menyala.

Untuk pakaiannya, dia hanya menggunakan kemeja putih dengan lengan yang sedikit digulung sampai siku dan dipasangkan dengan rok pensil hitam ketat yang panjangnya 10cm diatas lutut. Willo memilih heels hitam untuk alas kakinya.

Dia menguncir rambutnya ponytail ala Ariana Grande. Lalu dia menyemprotkan sedikit parfum beraroma segar di pergelangan tangannya dan tengkuknya untuk menyempurnakan penampilannya.

Dia menarik nafasnya dalam dalan dan mengehembuskannya perlahan. Okey. Sekarang dia siap untuk kembali ke kantornya.

Dia menggunakan Lamborghini Veneno Roadster merah menyala asal Italia yang harganya selangit. Mobil yang mempunyai kecepatan yang luar biasa itu pun hanya dalam hitungan menit membawa Willo untuk sampai di kantornya.

Mobil Willo masuk ke area lobby kantor dan langsung disambut oleh valet yang ada di sana. Pria itu membukakan pintu untuknya dan Willo mulai menurunkan kakinya. Sambil mengenakan kacamata Bvlgari dan menjinjing tas Hermes kesayangannya, Willo mampu membuat orang-orang menatap dirinya tanpa berkedip.

Dia jalan dengan percaya diri menuju ruangannya. Lift khusus dirinya-pun membawanya menuju tempat paling atas di gedung ini. Ketika lift terbuka, sekertarisnya pun terkejut dan langsung membungkuk hormat padanya.

"Selamat pagi nona Willo."

"Pagi, Jully. Tolong antarkan berkas - berkas yang belum aku baca dan tandatangani ke ruanganku, dan siapkan dirimu untuk presentasi apa saja yang terjadi pada perusahaan selama aku tidak ada."

"Baik nona Willo."

Setelah mengatakan itu, tangan kanan Willo meraih handle pintu dan mulai mendorongnya. Sesuatu yang ditangkap oleh matanya, membuatnya membeku di tempat.

MASOCHISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang