13

3.5K 75 7
                                    

Willo menyipitkan matanya, lalu berbalik untuk meninggalkan ruangan tersebut.

"Kenapa kau tidak bilang ada seseorang di dalam ruanganku, Jully?"

Jully membelalakan matanya terkejut. Jantungnya berdegup sangat kencang sekarang. Seluruh tubuhnya bergetar dan keringat dingin mulai membajiri tubuhnya.

"A-anu nona... Dia... Itu..."

"Bicara yang jelas Jully." Bentak Willo.

"Dia mengancam akan memecat saya kalau saya memberitahu dia ada diruangan anda, nona. Tolong maafkan saya."

"Kau tau kan kalau boss mu itu aku, Jully."

Willo memejamkan matanya rapat-rapat dan menarik nafasnya dalam-dalam agar amarahnya tidak memuncak.

'tenang Willo. Hindari apapun yang membuatmu sakit untuk saat ini.'

"Tolong carikan ruangan untuk saya secepatnya. Masih banyak yang harus saya selesaikan. Jangan beritahu dia dimana saya berada. Kamu mengerti?"

"B-baik n-nona W-willo. S-saya p-permisi d-dulu."

Jully menghilang secepat kilat dari pandangan Willo. Sambil menunggu kabar dari Jully, dia turun ke lantai dasar dan menuju ke cafeteria yang tak jauh dari kantornya.

Willo menunggu lift naik ke atas untuk menjemputnya. Bunyi khas lift yang menandakan lift itu datang dan pintunya terbuka untuknya. Kaki jenjang Willo melangkah masuk ke dalam lift dan jari telunjuknya menekan lantai tujuannya, yaitu satu.

Siluet laki-laki gagah datang menghampirinya dan sebelum pintu itu tertutup laki-laki itu ikut masuk bersama Willo. Detak jantuk Willo mulai tak beraturan, dan dirinya merasa terancam hanya berdua dengan laki-laki yang sangat tidak ingin dia temui.

'Sial. Sial. Sial. Sial. Sial. Sial. Sial.' Dia terus mengumpat laki-laki itu di dalam hatinya. Sementara laki-laki itu kini masih diam tidak berbicara.

"Maaf." Ucap laki-laki itu pelan, hampir seperti berbisik pada Willo. Untung saja ini lift khusus dirinya, jadi hanya dia yang bisa mendengar suara laki-laki itu.

Willo masih diam. Dia rasa dia sudah tidak punya urusan lagi dengan laki-laki itu. "aku... Minta maaf kalau sikapku itu malah membuatmu marah. Aku..."

Belum sempat laki-laki itu menyelesaikan kalimatnya, pintu lift terbuka dan Willo langsung melangkahkan kakinya keluar dari ruangan yang membuatnya sesak.

Willo keluar dari gedung kantornya dan seperti tujuan pertamanya turun adalah untuk pergi ke caffetaria terdekat. Mungkin saja aroma kopi dapat membuat pikirannya tenang, begitu pikirnya.

Sesampainya di café yang tidak jauh dari gedung kantornya, Willo langsung memesan secangkir kopi espresso dan waffle. Willo memilih duduk di lantai dua caffe ini dan dia juga memilih kursi yang menghadap langsung ke luar, sehingga dia bisa melihat orang-orang yang berlalu lalang dari balik kaca besar transparan yang ada di café ini.

"Aku juga suka melihat keramaian dari lantai dua café ini. Sangat bagus bukan?"

"Sial. Bagaimana bisa? Kenapa manusia ini selalu mengikuti ku? Sebenarnya ada masalah apa aku dengannya? Ya Tuhan!"

Willo hanya mematung. Sambil matanya disibukan dengan orang-orang yang berlalu lalang di depannya.

"Kau menghindariku?" Tanya Raymomd. Tapi Willo tetap memilih untuk diam.

"Aku tidak bisa telepati denganmu, Willo. Jadi sebaiknya kau jawab pertanyaanku. Atau..."

"Bisakah kau enyah saja dari hidupku, Raymond?" balas Willo cepat.

"Tentu tidak semudah itu, Willo".

Willo menghembuskan nafasnya kasar. "Kenapa kau menghindariku?" tanyanya lagi. Laki-laki yang di sampingnya kini bukan tipe laki-laki yang mudah menyerah rupanya.

"Apa yang kau inginkan dariku?"

"Tentu saja. Aku ingin kau."

"Brengsek!"

"Memang begitu laki-laki. Brengsek."

"Aku bukan wanita yang mau untuk dimiliki."

"Aku bisa merubah itu."

"Wah. Ternyata kau pantang menyerah ya." ucap Willo dengan senyum sinisnya.

"Memang aku orang yang seperti itu. Terimakasih pujiannya."

Willo langsung berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Raymond sendirian.

Raymond yang masih duduk manis di lantai dua café terus memperhatikan wanita yang dia suka sedang berjalan menuju gedung tempat dimana wanita itu berkuasa.

Senyum simpulnya terbit di wajahnya. Lalu dia menyesap kopi yang sudah dingin dihadapannya.

MASOCHISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang