6

11.5K 177 2
                                    

Matahari mulai memamerkan cahanya melalui jendela kamar Willo yang tidak tertutup sejak tadi malam. Dia terlalu lelah untuk menutupnya. Jangankan menutup jendela, dia bahkan belum mengganti bajunya dan menghapus make-upnya.

Sinar matahari yang mulai menerpa wajah cantiknya tidak membuatnya terusik sama sekali. Malahan dia sekarang sedang asik mendengkur dengan mulut setengah terbuka.

Tapi kenyamanan itu tidak bertahan lama. Ponselnya tiba-tiba berbunyi hebat sampai-sampai dia loncat dari tempat tidurnya dan langsung mengumpat.

'Jeremy' itu nama yang tertera di layar ponselnya saat ini. Demi Tuhan! Bahkan Lucy saja tidak berani membangunkan tidurnya. Dan manusia keparat ini melakukanya!

Dia melempar ponselnya hingga mencium tembok lalu terurai menjadi beberapa bagian. Dan tidur lagi setelahnya tanpa melihat jam.

Baru beberapa menit matanya terpejam dia langsung membukanya kembali dan melihat jam yang ada di nakas samping tempat tidurnya.

09:00am

"Shit!"

Dia langsung lompat dari tempat tidurnya dan menyambar handuk yang tergeletak di sofa tak jauh dari tempat tidurnya.

Willo mandi dengan kecepatan kilat. Hanya membasuh tubuhnya abstrak lalu menyikat giginya.

Harinya dimulai dengan menggerutu tiada henti.

Tanganya mengambil baju asal di lemari dan pilihannya jatuh pada  kemeja putih dengan lengan panjang dan untuk bawahannya Willo memakai celana panjang  bahan berwarna hitam.

Willo meyisir rambutnya ke belakang dan diikat ekor kuda lalu dia memoleskan sedikit riasan natural diwajahnya.

Ah... Sempurna!

Willo bergegas melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Dia melihat Lucy yang sedang berkutat dengan alat masaknya.

"Pagi nona."

"Hai Lucy. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanyanya sambil menegak segelas susu dengan cepat sampai tak tersisa.

"Baik nona."

Willo hanya mengangguk mendengar jawaban dari asisten rumah tangganya itu. Dan tangannya menyambar roti yang tak jauh dari gelas susunya.

"Aku berangkat Lucy." pamitnya sambil menggigit roti yang ada di tangannya.

"Tadi tuan Jeremy kesini..."

Willo diam, memanti kalimat selanjutnya saja. Karna dia malas mengetahui tentang Jeremy.

"...dia menunggu nona satu setengah jam lalu kemudian pergi."

Lagi-lagi Willo hanya mengangguk mendengar laporan dari asisten rumah tangganya itu. Lalu dia bergegas untuk berangkat ke kantor.

***

"Bacakan jadwalku hari ini, July."

"Kau ada rapat dengan kepala perusahaan dari Nano group 15 menit lagi. Dan setelah makan siang kau harus memeriksa model yang akan melenggang di catwalk Desember nanti.

"Kau boleh pergi July."

July menyerahkan materi rapatnya lalu mengundurkan diri dari hadapan Willo.

Setelah pintu tertutup, mata cantik itu kini fokus menatap sederet kalimat yang ada di hadapannya.

15 menit berlalu.

"Mereka sudah menunggu nona."

"Aku akan segera kesana."

***

Setelah rapat berakhir, dia segera kembali ke ruangannya untuk makan siang.

Dimejanya sudah tertera beberapa makanan dari makanan pembuka hingga penutup.

Ada dua pelayan yang selalu siap untuk melayaninya setiap jam makan siang.

Saat dia sedang mengunyah makanannya seseorang mengetuk pintu.

"Masuk."

Seharusnya July tau kalau makan siangnya tidak boleh diganggu oleh siapapun, hal sepenting apapun, dan dengan alasan apapun.

Pintu terbuka dan menampilkan wajah July yang ketakutan.

"Anu... Nona..."

"Kau tau ini jam berapa July?" tanyanya santai sambil menyuapkan makannya ke dalam mulut dan mengunyahnya pelan.

"Maaf nona, tapi tuan ini memaksa masuk."

Willo menyipitkan matanya melihat 'Tuan' yang dimaksud July.

Matanya menangkap seorang pria yang tingginya kira-kira 170cm dengan kemeja biru tua yang sangat pas di badannya yang atletis. Hidung mancung, mata abu-abu, bibir yang sedikit tebal berwarna pink alami, rahang yang kokoh dan rambut halus tumbuh di sepanjang rahang kokoh tersebut. Wanginya yang maskulin menelisik disegala penjuru ruangan. Dia mendekati sempurna.

Willo hampir tidak berkedip melihat pria yang ada di depannya. Sampai suara bariton itu membuatnya sadar.

"Aku ingin bicara denganmu sebentar."

Willo berdehem sebentar lalu menormalkan kembali raut wajahnya.

"Apa itu sangat penting sampai-sampai kau mengganggu makan siangku?"

"Menurutku, iya."

"Apa menurutku juga 'iya'?"

"Tentu saja."

Dua pelayan dan July menegang melihat pria yang sangat berani dengan bosnya itu.

"Kenapa kau begitu yakin?"

"Karena ini menyangkut penyakit anehmu itu."

Willo membelalakan matanya terkejut. Bagaimana bisa dia tau tentang penyakitnya? Bahkan dia tidak pernah melihat pria ini sebelumnya.

Jantungnya berdebar hebat. Ada tiga orang disini yang mendengar pernyataan itu dan langsung mengerutkan keningnya lalu saling pandang.

Willo menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongannya.

"Kau boleh pergi July. Dan kalian, tolong bawakan makanan tambahan secepatnya karna dia akan makan siang denganku disini."

Semuanya mengangguk mendengar perintah dari Willo dan langsung menjalakannya.

"Silahkan duduk."

Pria itu berjalan ke kursi yang bersebrangan langsung dengan Willo. Dari caranya berjalan, sungguh dia sangat arogan dan sexy.

Tapi bukannya duduk di kursi yang dimaksud oleh Willo. Pria itu malah berhenti dibelakang kursi Willo lalu dia membungkuk sedikit sehingga kini wajahnya ada di samping kiri wajah Willo.

"Kau seorang masokis?" suaranya pelan dan dingin. Membuat Willo membeku ditempatnya.

Willo hanya diam. Tidak mengiyakan juga tidak menyangkal. Dia bertanya dalam hatinya 'bagaimana dia bisa tau?'
Dengan pandangan lurus kedepan dan jantung berdebar tidak karuan. Dia terdiam.

-------------------------------------------------------------------------------------
Hai. Maaf ya kalau part enamnya gak bisa dibuka. Karna emang kepencet publish padahal belum jadi hahaha.

Don't forget to tap star sign and comment comment comment!!

Makasih :))))))

MASOCHISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang